Dari semua yang pernah tampil di harian Kompas, Kompas.id, dan akun-kun @hariankompas sepanjang tahun 2018, ada lima sosok yang paling favorit. Favorit di sini berarti mereka banyak dibaca dan—ketika diunggah di media sosial—mengundang ketertarikan tinggi dari warga internet.
Oleh
Ilham Khoiri & Cecilia Gandes Purbandini Wiharsi
·6 menit baca
Lama sudah harian Kompas punya tradisi untuk memanggungkan sosok-sosok inspiratif. Sebagian dari mereka bekerja di kota-kota besar, tak sedikit yang berjibaku di wilayah pelosok di Nusantara dengan segala keterbatasannya. Lewat bidang masing-masing, mereka semua bekerja nyata untuk mengatasi persoalan lokal, menawarkan solusi, memberdayakan masyarakat, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan Indonesia.
Rubrik “Sosok” hadir tiap hari, kecuali hari Minggu, di koran Kompas dan di versi digitalnya di Kompas.id. Dalam sebulan ada sekitar 22-26 sosok, dan dalam setahun sekitar 300 orang. Biasanya, sosok itu kemudian juga dikemas dan ditampilkan lagi dengan pendekatan visual yang lebih ringkas di akun Instagram, Facebook, dan Twitter @hariankompas.
Dari semua yang pernah tampil di harian Kompas, Kompas.id, dan akun-kun @hariankompas sepanjang tahun 2018, ada lima sosok yang paling favorit. Favorit di sini berarti mereka banyak dibaca dan—ketika diunggah di media sosial—mengundang ketertarikan tinggi dari warga internet. Lewat akun Instagram khususnya, kami mengetahui lebih rinci bagaimana respons warnaget terhadap sosok tersebut.
Di tengah berbagai masalah yang merundung negeri ini, kiprah mereka menumbuhkan optimisme bahwa kita, bangsa Indonesia, tetap bisa bertahan, bahkan maju pada masa mendatang.
Dari lima tokoh itu, beberapa di antaranya adalah tokoh yang memang populer, beberapa lagi kurang dikenal tetapi kisahnya sungguh menggugah publik. Semoga kelima sosok pilihan Kompas ini memberikan inspirasi pada khalayak luas. Di tengah berbagai masalah yang meruncung negeri ini, kiprah mereka menumbuhkan optimisme bahwa kita, bangsa Indonesia, tetap bisa bertahan, bahkan terus tumbuh maju pada masa mendatang. Berikut lima sosok tersebut.
1. Sutopo Purwo Nugroho: Penerus Informasi Bencana
”Sekarang saya sudah ikhlas. Ingin menggunakan waktu agar bermanfaat kepada sesama, terutama dalam hal kebencanaan.”
Begitu kata Sutopo Purwo Nugroho, salah satu sosok paling populer di negeri ini. Jika tidak percaya, ketik namanya di mesin pencari. Dalam waktu 0,4 detik, tersedia sekitar 2,81 juta informasi terkait Sutopo. Angka ini terus bertambah, apalagi ketika terjadi bencana, seperti gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah.
Hampir tiap hari ini Sutopo tampil media massa, baik elektronik, daring, hingga cetak. Telepon genggamnya pun nyaris tak berhenti, menerima pertanyaan masyarakat maupun dari berbagai instansi pemerintah.
“Telepon wartawan sementara saya batasi, tetapi saya bikin konferensi pers tiap pukul 13.00 WIB di kantor. Untuk masyarakat saya usahakan untuk tetap layani,” ujarnya.
Sebagai Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo menjadi tumpuan pertanyaan masyarakat. Apa saja ditanyakan, mulai dari permintaan mencarikan anggota keluarga yang hilang, hingga keluhan soal listrik yang padam dan kesulitan makanan. Permintaan-permintaan ini biasanya dicatat Sutopo dan kemudian disampaikan ke para relawan dan berbagai instansi di lapangan. (AHMAD ARIF)
“Kepergian ayah membuat saya berjanji untuk membuat beliau bangga. Hal itu membuat saya berlatih lebih keras,” kata Defia Rosmaniar.
Mata dia berkaca-kaca seusai merebut medali emas yang pertama bagi Indonesia pada Asian Games 2018. Atlet taekwondo pada disiplin poomsae itu membuktikan semua duka, kegagalan, dan rasa sakit pasti terbayar lunas saat gelar juara sudah diraih.
“Medali emas ini saya persembahkan bagi almarhum ayah saya, bagi ibu, para pelatih, dan seluruh rakyat Indonesia,” kata Defia, sebelum menerima pengalungan medali emas.
Keberhasilan Defia merebut emas mengakhiri penantian taekwondo Indonesia selama 32 tahun pada ajang Asian Games. Sejak taekwondo dipertandingkan pada Asian Games Seoul 1986, Indonesia belum pernah merebut medali emas dan Defia mengakhiri dahaga itu. (EMILIUS CAESAR ALEXEY)
3. Lastri Berry Wijaya: Perempuan Pewarta Foto di Medan Perang
”Lewat foto, saya ingin mengisahkan bahwa perang itu membuat seluruh negara sakit,” kata Lastri Berry Wijaya.
Dua dekade lalu, perempuan ini mengikuti “jeritan hati” untuk berbuat lebih lewat cinta pertamanya; fotografi. Dengan mata, pikiran, dan perasaannya, dia memindahkan potongan peristiwa ke benak yang melihatnya. Serupa buah stroberi yang menawarkan beragam rasa, dari belakang kamera Lastri Berry Wijaya menyajikan ribuan rasa kehidupan dan makna kemanusiaan.
Kabul, Afganishtan, medio 2011. Meski musim dingin dan kota dihujani salju, atmosfer jauh berbeda. Kecamuk perang masih menggantung di negara itu. Rentet senjata terdengar tak kenal waktu. Adek Berry, panggilannya, berada di dalam mobil bersama orang yang baru di kenalnya di tengah kota Kabul. Mobil yang ditumpangi tersebut berputar-putar beberapa waktu, sengaja membuatnya tidak menghapal lokasi. Mobil berhenti dan tiba di rumah tujuannya.
Seorang diri, tanpa boleh ditemani sopir dan rekan, dia berusaha memotret kasus bakar diri yang marak dilakukan perempuan di negara itu. Dia ingin mengisahkan cerita para penyintas kasus yang susah diterima akal sehat ini. (SAIFUL RIJAL YUNUS)
“Kami juga dituding gila. Namun, ada juga yang mau menyekolahkan anaknya asalkan gratis dan diantar jemput setiap hari. Itulah mengapa saya harus menjemput dan mengantar siswa,” ujar Syafrizal.
Janji bertemu dengan Syafrizal di Pulau Rangsang, pulau terluar di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, Sabtu (13/1) pagi, ternyata tidak mudah. Jalan di tengah pulau itu memiliki banyak percabangan dan tidak memiliki petunjuk arah. Rumahrumah penduduk berjauhan. Setelah beberapa kali tersesat dan bertanya, akhirnya kami bertemu juga dengan laki-laki berperawakan tegap itu di persimpangan dekat gedung SMP Negeri Rangsang Barat.
Syafrizal, Kepala Sekolah Luar Biasa Sekar Meranti, Desa Anak Setatah, Kecamatan Rangsang Barat, itu berada di atas sepeda motor bebek yang menggandeng gerobak kayu berukuran 60 x 200 cm. Di atas sarana transportasi darurat itu ada dua muridnya duduk memakai baju seragam olahraga berwarna hijau-hitam.
Syafrizal hadir menjadi pembela anak-anak yang berkebutuhan khusus. Kegigihannya mengajar mereka dilakoninya meski tidak jarang ia tidak mendapat dukungan dari keluarga mereka sendiri. (SYAHNAN RANGKUTI)
5. Ranomi Kromowidjojo: Pencarian Jejak Leluhur Sang Juara Dunia
“Sejak kecil, saya sudah tahu ada darah Indonesia dalam diri saya,” kata Ranomi Kromowidjojo.
Sejak kecil dia sudah mengetahui bahwa sebagian darahnya adalah dari Indonesia. Akan tetapi, atlet peraih tiga medali emas Olimpiade itu belum berkesempatan mencari jejak leluhurnya yang berasal dari Jawa Tengah. Baru pada pertengahan Agustus 2018, Ranomi menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Indonesia. Dia pun merasakan soto ayam yang rasanya jauh lebih nikmat ketimbang di negeri tempatnya tinggal, Belanda.
” Tinggi saya mungkin lebih dari kebanyakan orang Indonesia, tetapi ayah saya sangat tinggi. Nenek saya juga terbilang tinggi untuk ukuran orang Indonesia. Ayah saya bahkan suka berbicara bahasa Jawa, tetapi saya sendiri tidak bisa. Saya suka makan nasi goreng, soto ayam,” papar perenang kelahiran Sauwerd, Belanda, 20 Agustus 1990, itu.
Bersama keluarganya, Ranomi sudah berusaha mencari tahu dari mana asal-usul nenek moyangnya. Belum lama ini mereka mengetahui nenek moyangnya berasal dari Probolinggo, Jawa Timur, dan Banyumas, Jawa Tengah. (RAKARYAN SUKARJAPUTRA)
Pada tahun 2019, Kompas bakal meneruskan tradisi memanggungkan sosok-sosok inspiratif dari berbagai wilayah di Nusantara. Kita optimistis, masih banyak orang yang bekerja sungguh-sungguh membangun negeri ini, meski sebagia benar-benar harus mengatasi bermacam keterbatasan.