Bernadete Deram, Memastikan Lumbung Pangan Terisi
Bersama para perempuan kepala keluarga, Bernadete Deram alias Dete (48), berupaya mengembalikan bahan pangan lokal sebagai makanan pokok masyarakat Desa Waiburak, Kecamatan Adonara Timur, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Ketika segenap upayanya yang didukung para janda itu terwujud, Dete pun mendapat gelar ‘Bos Janda’.
“Kalau lewat di jalan, anak-anak muda ngeledek saya, ah bos janda yang urus janda berkebun, yang urus janda simpan utang-utang,” kata Dete, Rabu (19/12/2018) di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dia bersama enam perempuan lain menerima penghargaan ‘Perempuan Pejuang Pangan 2018’ dari Oxfam Indonesia, Kamis (20/12/2018) di Mataram.
Dete dekat dengan para janda karena sebagai fasilitator lapangan Serikat Pekka (Perempuan Kepala Keluarga) yang beranggotakan perempuan tanpa suami itu. Sejak tahun 2002, dia melakukan pendampingan dalam program pertanian organik terpadu, dengan menanam kembali produk pangan lokal seperti jagung merah, jagung putih, sorgum, kacang merah, umbi-umbian dan lainnya.
Komoditi pangan lokal itu bukan lagi makanan pokok, karena warga mengonsumsi jagung hibrida dan beras. Kehadiran makanan pokok "baru" itu mengancam stabilitas ketahanan pangan bagi hampir seluruh penduduk di NTT. Jagung hibrida unggul secara kuantitas dibanding jagung lokal.
Begitu pun beras, dengan curah hujan rendah, warga hanya bertanam padi gogo sekali setahun. Produksinya pun belum menjawab kebutuhan warga. Malah beras disuplai dari Surabaya dan Makassar untuk memenuhi kebutuhan warga NTT. Beras yang diangkut kapal laut ke NTT, tidak bisa tiba tepat waktu manakala musim pancaroba, mengakibatkan harga beras relatif mahal, Rp 15.000-Rp 20.000 per kilogram di musim kemarau.
Akumulasi dari persoalan itu, acapkali menimbulkan krisis pangan dan gizi buruk di NTT. Lumbung-lumbung adat kosong oleh produksi pangan lokal karena warga membeli beras buat konsumsi saban hari. Kebun warga pun disesaki tanaman umur panjang: kakao dan mete, yang hasil penjualannya kebanyakan untuk membeli beras.
Padahal dengan sumber pangan lokal, warga di Flores Timur memiliki kearifan lokal dalam menyiasati kebutuhan pangan sepanjang tahun. Ketika musim panen padi, makanan pokok warga adalah jagung titi,yakni, makanan berbahan baku jagung lokal, ditumbuk sampai pipih (mirip emping), lalu disangrai atau digoreng. Selain itu mereka juga makan jagung bose yang merupakan bubur jagung lokal divariasikan dengan kacang merah, kacang tanah, kacang hijau dan santan kelapa. Saat persediaan jagung habis, makanan pokok berganti dengan beras (dalam porsi sedikit) dipadukan sorgum dan jenis serelia lainnya.
Realitas sosial itulah yang mendorong Dete menghidupkan kembali menanam jenis tanaman lokal yang tahan simpan, dan menjadi konsumsi leluhur. Langkah itu untuk menyiasati kebutuhan makanan sepanjang tahun. Untuk itu Dete blusukan ke dusun-desa melakukan pendekatan dan edukasi kepada ibu rumah tangga. Dia mengajak mereka agar mau bercocok tanam bahan pangan lokal itu.
Dete tidak segan berbaur dengan para perempuan pedagang berjualan ke pasar. Dia merekam ‘curhat’ dan keluh-kesah mereka sebagai pertimbangan sebelum menggelar program pemberdayaan.
Porsi jagung
Menanam jagung lokal menjadi pilihan Dete, sebab komoditi itu adalah makanan pokok warga secara turun-temurun. Ia berburu dan membeli benih jagung lokal ke petani yang masih membudidayakannya. Benih itu lalu ditanam secara tumpang sari di kebun milik ayahandanya seluas 1 hektar. Belakangan Dete menanam padi gogo, jagung, singkong, ubi jalar, pohon kelor, kemangi dan lainnya, di kebun contoh seluas 30 meter x 50 meter milik komunitasnya.
Mereka mengurangi porsi beras sebagai makan pokok
Dengan perlakuan yang baik, tanaman jagung itu tumbuh subur dan bisa dipetik hasilnya. Hal itu menarik perhatian ibu rumah tangga, bahkan minta benih jagung lokal untuk ditanam dalam skala kecil di lahan masing-masing. Tradisi gemohin (gotong-royong membersihkan rumput sebelum lahan ditanami jagung dan kacang) dihidupkan. Lambat-laun banyak yang mengikuti jejaknya.
Kini tercatat ada 339 perempuan kepala keluarga membudidayakan jagung lokal di 10 desa kecamatan Adonara Timur. Hasil panen jagung itu masih sebatas untuk konsumsi domestik keluarga. "Namun kesadaran warga akan ketahanan pangan lokal mulai tampak. Mereka mengurangi porsi beras sebagai makan pokok, juga adanya perubahan penghasilan," ujarnya.
Contohnya, hampir 75 persen upah menenun yang biasanya dipakai untuk membeli beras dan air, kini biaya itu bisa ditekan. Mereka memperbanyak porsi jagung dalam mengolah makanan pokok.
Yang menggembirakan, kata Dete, muncul ide kreatif dan inisiatif kalangan perempuan seperti menanam kemangi dan pohon kelor di pekarangan rumah. Atau adanya kesepakatan: seusai panen jagung, tiap orang wajib menyetor lima tongkol jagung, yang disimpan di lumbung untuk dijadikan benih.
Atas kesadarannya sendiri, perempuan kepala keluarga ini membentuk koperasi simpan-pinjam tahun 2002, dengan simpanan wajib Rp 250 dan simpanan pokok Rp 2.000 per orang. Karena menguntungkan, para anggota menaikkan simpanan pokok menjadi Rp 100.000. Sistem pinjam juga diatur atas kesepakatan bersama.
Keberadaan koperasi menjadi kehidupan ekonomi warga lebih baik seperti kepemilikan sepeda motor, menyekolahkan anaknya sampai lepas perguruan tinggi. Kebun Contoh tadi berfungsi sebagai sentra pendidikan dan latihan pertanian dan peternakan, usaha budi daya ikan nila, sarana belajar untuk mendapatkan ijazah paket A, B dan C bagi anak-anak putus sekolah.
Dete juga memelopori berdirinya Pasar Senja, yang melibatkan ibu rumah tangga yang berjualan pisang goreng dan kopi, lalu melengkapi Kebun Contoh dengan Taman Baca yang menyediakan buku bacaan, surat kabar dan majalah.
Perubahan sosial yang kini dirasakan perempuan kepala keluarga, mendapat tantangan. Turun ke desa, Dete disambut cibiran dan dipandang sebelah mata.
Aktivitasnya pun bersingungan dengan kebijakan pemerintah di bidang pangan, juga kiprahnya memperjuangkan hak perempuan, telah ‘mengusik’ kalangan tertentu yang taat pada sistem patriarki dalam sistem sosial di desanya.
“Semakin banyak perempuan kepala keluarga bergerak, pasti terjadi perubahan nyata ke depan, sehingga kedaulatan pangan bisa terwujud, tidak ada lagi sejarah gizi buruk di NTT,” ujarnya.
Bernadete Deram
Lahir: Flores Timur, NTT, 17 November 1970
Orangtua: Klemens Kewaman – Elisabeth Bengang
Pendidikan
- SDK Lewotolok II lulus tahun 1983
- SMPN Lewoleba lulus tahun 1986
- SMA PGRI Larantuka lulus tahun 1989
- Diploma III Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang (1992)