JAKARTA, KOMPAS - Kasus dugaan pemerkosaan RA, pekerja kontrak, oleh bekas atasannya, anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan, mencerminkan perlindungan perempuan pekerja lemah.
Kasus dugaan pemerkosaan yang dialami RA (27), karyawan kontrak, oleh bekas atasannya, SAB, anggota Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, mencerminkan lemahnya perlindungan perempuan di tempat kerja. Perusahaan harus memiliki perspektif jender atau antikekerasan seksual dalam menangani pelecehan seksual atau pemerkosaan.
Ketua Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan Azriana R Manalu, Minggu (30/12/2018), di Jakarta, mengatakan, hal itu bertujuan menguatkan mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Mekanisme pencegahan bisa berupa kode etik karyawan.
Mekanisme penanganan berbentuk unit pelayanan dan prosedur operasional standar penanganan korban kekerasan seksual. ”Dua mekanisme ini harus berperspektif pada korban,” ujarnya.
Sebelumnya, RA, karyawan kontrak, Jumat lalu, mengungkapkan kepada publik kasus pelecehan seksual dirinya oleh bekas atasannya, SAB, anggota Dewan pengawas BPJS Ketenagakerjaan (TK). SAB memerkosanya 4 kali sejak ia bekerja sebagai asisten pribadi SAB pada 2016 sampai November 2018.
Sejak awal mengalami kekerasan seksual, RA melaporkan itu kepada seorang anggota Dewan Pengawas, tetapi tak digubris. Akhirnya RA mengungkap kasus itu kepada Ade Armando, dosen di tempatnya menempuh pendidikan S-2. (Kompas, 28/12/2018)
Gugat balik
Kemarin, di Jakarta, SAB menyampaikan pengunduran diri sebagai anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan. Ia menganggap kesaksian RA ialah fitnah. ”Kami menempuh jalur hukum untuk mengungkapkan keadilan dan kebenaran,” ujarnya dalam jumpa pers.
SAB, ditemani kuasa hukum Memed Adiwinata dan anggota lain Dewan Pengawas BPJS TK, mengatakan telah mengajukan somasi kepada RA. Mereka juga akan menyomasi Ade Armando yang dinilai mencemarkan nama baik kliennya.
”Klien kami akan melaporkan ini ke polisi dengan gugatan pencemaran nama baik, seperti diatur Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik),” ujarnya.
Anggota Dewan Pengawas BPJS TK Poempida Hidayatulloh mendukung SAB dengan dalih tiap Dewan Pengawas menandatangani pakta integritas untuk menjunjung tinggi pemerintahan yang baik.
Menurut Azriana, dalam banyak kasus, korban kekerasan seksual terikat relasi kuasa sulit melapor karena mengancam masa depan. ”Masyarakat jangan memojokkan pihak yang mengungkap kekerasan seksual. Pandangan bias berdampak pada pemulihan korban,” ujarnya.
Ketua Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati menilai ketimpangan relasi kuasa dan bias jender membuat korban kekerasan seksual disalahkan balik. ”Relasi kuasa membuat pelaku ingin mempertahankan posisi dengan menyalahkan korban,” ujarnya. (E02)