Gerakan Merajut Toleransi Terus Bersemi
MALANG, KOMPAS–Dari pelosok kampung, sumber-sumber toleransi mengalir deras memberi keteduhan batin. Warga terus merajut temali toleransi yang terus tumbuh hingga anak-cucu.
Gerakan itu tidak hanya berbentuk dialog antarumat beragama dan suku, tetapi juga perjumpaan harian di desa hingga kemasan wisata Desa yang di dalamnya terdiri dari keluarga-keluarga menjadi basis utama membangun toleransi dan kebhinekaan itu.
Di Dusun Kajar di Desa Wirotaman, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang, Jawa Timur, perjumpaan warga berbeda agama sudah menjadi bagian hidup. Desa di lereng selatan Gunung Semeru itu, berpenduduk sekitar 4.100 jiwa. Dari jumlah itu, sebanyak 75 persen bergama Islam, sisanya sekitar 25 persen beragama Kristen dan Hindu.
Mereka tinggal di tiga dusun yakni Kajar, Sukodadi, dan Sukoanyar. Lokasi tempat ibadah mereka saling berdekatan. Di Kajar, misalnya, lokasi GKJ hanya berjarak sekitar 100 meter dengan pura dan 100 meter dengan masjid.
Kepala Desa Wirotaman, Ahmad Sholeh, mengatakan, di wilayahnya terdapat 5 buah masjid, 16 musalla, 3 gereja, dan 3 pura. “Toleransi di sini sudah terjadi sejak dulu. Selama 20 tahun terakhir, atau selama saya di sini, tidak pernah ada gesekan antarwarga yang berbeda keyakinan,” ucap Ahmad.
Dua hari sebelum Natal, Kompas berkunjung ke Desa Wirotaman. Alunan suara ayat suci Al Quran dalam rangka Kataman terdengar dari salah satu rumah warga yang ada di dekat balai desa. Lokasinya hanya berjarak sekitar 300 meter dari Gereja Kristen Jawa (GJK). Pagi itu GJK dihadiri sekitar 50 warga yang tengah menjalankan peribadatan. Suasana damai begitu terasa.
Tak ada kegiatan mencolok di GJK selain pemerian santunan kepada warga kristen kurang mampu. Persiapan menyambut Natal baru terlihat di rumah-rumah warga yang merayakan. Salah satunya menyediakan makanan kecil untuk tetangga dan sanak saudara, baik kristen maupun islam, yang berkunjung pada Hari Natal hinga sepekan sesudahnya. Mereka datang untuk memberikan ucapan selamat kepada warga yang merayakan.
Suasananya mirip saat Lebaran tiba. “Ya, sama seperti saat Idul Fitri. Makanan itu untuk suguhan,” ujar Sumiati (55), salah satu warga Dusun Kajar yang beragama Kristen.
Gerakan menjaga harmoni kebhinekaan itu juga terlihat di Kelurahan Bangetayu Wetan, Genuk, Kota Semarang, Jawa Tengah. Rumah Pendeta emeritus Eka Laksa Purwibawapendeta yang juga Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia Wilayah Jawa Tengah, hanya berjarak 50 meter dari masjid.
Setiap Natal, para tetangga Eka, yang mayoritas Muslim, sibuk membantu secara sukarela menyiapkan sejumlah hidangan. Sebaliknya, saat halal bihalal Idul Fitri, warga Kristen dan Katolik pun terlibat.
Ketua RT 01/RW 07 Kelurahan Bangetayu Wetan Kartono mengatakan, itu merupakan potret kerukunan dan kebhinekaan, yang sudah terjalin sejak lama. Dalam kehidupan sosial, warga saling mengisi dan membantu. Warga menjaga harmonisasi sosial secara sederhana dalam perjumpaan atau “srawung” hidup sehari-hari.
Wisata kebhinekaan
Di tingkat pemerintah daerah dan pusat, gerakan membangun toleransi dan kebhinekaan di sejumlah daerah dikemas dalam wajah pariwisata. Kegiatan-kegiatan promosi wisata itu melibatkan pelaku jasa periwisata, serta komunitas-komunitas lintas etnis dan agama.
Di Singkawang, Kalimantan Barat, pemerintah daerah bersama sejumlah komunitas lintas etnis dan agama menggelar Christmas Day. Mereka menghias kota dengan pernak-pernik Natal, terutama di kawasan Jalan Diponegoro, dan turut mengamankan ibadah Natal di sejumlah gereja.
Kawasan Jalan Diponegoro menjadi semacam ruang dialog antar-umat beragama dan etalase toleransi di Singkawang. Tak hanya saat Natal. Tatkala Lebaran dan Imlek, beragam simbol agama dan pernak-pernik lainnya juga meramaikan kawasan ini.
Penduduk di Singkawang memang beragam. Dari 215.296 penduduknya, sekitar 40 persen merupakan warga Tionghoa, diikuti warga Melayu sekitar 29 persen, Dayak sekitar 9 persen, dan sisanya etnis lain, seperti Madura dan Jawa. Perbedaan, selain sebagai kekuatan juga rentan perpecahan, maka warga Singkawang tak lelah membangun komunikasi antaragama dan suku untuk mengukuhkan pemahaman dan menguatkan irisan persamaan.
Saat Natal, Lebaran, dan Imlek, warga bekerja sama membantu membuat pernak-pernik hari raya. Energi persaudaraan mendorong tangan-tangan mereka muda bekerja sama.
Di Toraja Sulawesi Selatan, masyarakat dari berbagai suku dan agama terlibat bersama dalam penyelenggaraan Lovely Desecember. Kegiatan itu menampilkan aneka potensi Tana Toraja yagn berbalut budaya setempat..
Lovely December diawali dengan acara Getaran Sukma Ilahi pada 1-9 Desember 2018. Acara itu merupakan panggilan beribadah bagi seluruh pemeluk agama dengan cara membunyikan lonceng, bedug, dan gendang di rumah-rumah ibadah. Kegiatan itu masuk dalam daftar \'100 Wonderful Event Indonesia 2018\' karena selain mengandung kearifan lokal juga menarik pelancong.
Kabupaten Toraja, berpenduduk sebanyak 268.588 jiwa. Sebagian besar masyarakat Toraja memeluk agama Kristen (64,74 persen) dan Katolik (18,68 persen), sebagian lagi Islam, Hindu, Budha, dan kepercayaan aluk todolo.
Kegiatan promosi wisata daerah tidak hanya untuk meningkatkan perekonomian daerah. Kegiatan itu menjadi pengikat berbagai masyarakat lintas etnis dan agama. “Membangun toleransi dan kebhinnekaan tidak hanya melalui dialog antarumat beragama dan antarsuku. Pariwisata juga menjadi upaya populer tanpa sekat untuk menggerakkan masyarakat merajut toleransi dan kebhinnekaan,” kata Menteri Pariwisata Arief Yahya
Pengamat sosial sekaligus peneliti Bidang Humaniora LIPI Ahmad Najib Burhani menilai bahwa tradisi toleransi tersebar di banyak tempat di Nusantara. Dia mengutip cerita dari Buya Afif Hamka, putra Buya Hamka, bahwa Hamka dan keluarganya terbiasa memasak opor pada setiap Natal dan dikirimkan ke tetangganya yang merayakan Natal. Buya Hamka juga mengucapkan Natal ke mereka. “Yang dia larang dan kemudian jadi fatwa MUI itu adalah larangan mengikuti ibadah atau ritual Natal,” kata Najib.
Memang, kata Najib, bersamaan dengan globalisasi dan penguatan identitas dalam politik nasional, segmentasi dan segregasi masyarakat berdasarkan identitas itu menjadi semakin nampak. Kluster perumahan berdasarkan agama tertentu tidak sulit ditemukan. Sekolah dengan penekanan pada identitas agama tertentu dan aktivitas keagamaan yang segregatif di sekolah negeri juga berkembang. Bahkan kuburan pun mulai terjadi pengklusteran & segregasi berdasar agama.
Akan tetapi, lanjut Najib, itu jauh lebih baik dibandingkan dengan di India atau Lebanon. “Yang ingin saya tegaskan dengan contoh-contoh di atas adalah bahwa dalam kaitannya dengan toleransi dan kerukunan agama, kita perlu lebih banyak belajar ke dalam, bukan ke luar. Harmoni di negeri ini terasa lebih bagus dan natural daripada di negara lain. Itu yang perlu di-uri-uri dan terus dipupuk. Perlu diperkuat, baik melalui hukum maupun proses pendidikan.”
Yang dimaksud Najib, contoh-contoh toleransi di kampung-kampung tadi layak menjadi rujukan. Warga dengan tulus memratikkan toleransi secara alami. Toleransi yang terus tumbuh hingga anak cucu. (REN/DIT/WER/ESA/HEN/MHF)