Desember adalah bulan istimewa bagi sebagian “Kaum Depok” untuk memupuk silaturahim. Sebagian diaspora dari dalam atau luar negeri, datang untuk bersua. Karenanya, wajar bila generasi penerus Kaum Depok itu bergembira menyambut perayaan Natal tahun ini.
Oleh
Irene Sarwindaningrum / Andy Riza Hidayat
·5 menit baca
Desember adalah bulan istimewa bagi sebagian “Kaum Depok” untuk memupuk silaturahim. Sebagian diaspora dari dalam atau luar negeri, datang untuk bersua. Karenanya, wajar bila generasi penerus Kaum Depok itu bergembira menyambut perayaan Natal tahun ini.
Mereka terlihat sibuk dengan aktivitas masing-masing, Rabu (26/12/2018) siang. Remaja perempuan dan laki-laki itu menghias dekorasi di Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel, Kota Depok, Jawa Barat. Sebagian yang lain menyiapkan pertunjukan seni di acara Natal malam harinya.
Kesibukan itu adalah gambaran Kaum Depok di hari Natal. Kaum Depok adalah sebutan bagi bekas budak yang dimerdekakan Cornelis Chastelein, tuan tanah Depok asal Belanda, abad ke-17. Mereka awalnya terdiri dari 12 keluarga dengan jumlah sekitar 120-150 orang, yang dibeli Chastelein dari pasar budak di Bali. Ke-12 keluarga itu menyandang nama (keluarga) yaitu Loen, Leanders, Bacas, Isakh, Jonathans, Jacob, Joseph, Laurens, Tholense, Soedira, Samuel, dan Zadokh. Kini mereka tinggal 11 nama keluarga, sebab generasi keturunan Zadokh sudah tidak ada.
Claudia Ferulla Supriadi Soedira (20) menyapa ramah di sela merampungkan dekorasi gereja. Tanpa ragu, ia menceritakan bahwa leluhurnya merupakan orang Bali yang dibawa ke perkebunan itu. “Setiap Natal di sini, semua keturunan dari seluruh keluarga (Kaum Depok) itu reuni. Dari mana-mana mereka datang, bahkan yang tinggal di Belanda juga datang ikut perayaan Natal di gereja ini,” kata penyandang nama keluarga Soedira itu.
Pusat pembelajaran
Claudia adalah generasi paling akhir yang melek baca tulis. Tidak sedikit Kaum Depok yang berpendidikan tinggi, seperti Claudia. Namun di awal kedatangannya dulu, mereka belum bisa baca tulis. Chastelein menyelenggarakan pengajaran baca tulis di bangunan yang menjadi cikal bakal gereja di Jalan Pemuda, Kota Depok itu.
Sekitar tahun 1700, literatur buku sangat terbatas. Sementara media yang dianggap efektif adalah Kitab Injil berbahasa Belanda. Hal ini membuat Kaum Depok generasi awal fasih berbahasa Belanda. Kini sebagian orang tua mereka yang masih hidup pun bisa menggunakan bahasa Negeri Kincir Angin itu.
Dari tempat belajar membaca dan menulis, lokasi itu lama-kelamaan juga menjadi tempat beribadah agama Kristen. Pada 28 Juni 1714, tempat itu berubah menjadi gereja dengan nama De Protestanse Kerk. Adapun pendeta pertama yang diangkat Chastelein adalah Baprima Lukas yang berasal dari Bali.
Selanjutnya, pada 31 Oktober 1948, gereja ini bergabung dalam GPIB.
Setelah berdiri dari sokongan buluh-buluh bambu, pada 1792 gereja itu diperbaiki, sebagian memakai bahan batu. Bangunan ini bertahan hingga tahun 1833, dan rusak berat akibat gempa Gunung Krakatau di Selat Sunda. Ibadah jemaat gereja selama 1836-1854 berlangsung di bangunan darurat. Baru pada 1854, terbangun gereja permanen.
Boy Loen, pemerhati sejarah gereja Depok, menyatakan, pada 1989, bangunan asli gereja dari tahun 1854 direnovasi dan diperluas. Ia memperkirakan sekitar 40 persen bangunan asli tersisa.
Ia menduga, soal ini menyulitkan gereja menjadi benda cagar budaya sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010. Dalam ketentuan itu, bangunan cagar budaya berusia minimal 50 tahun.
Melintasi zaman
Dari awal kedatangan abad ke-17, komunitas Kaum Depok berkembang maju. Usaha pertanian, perkebunan, dan sawah menggerakkan perekonomian warga. “Komunitas itu menjadi komunitas sejahtera karena pertanian yang berhasil,” kata Boy.
Kesejahteraan ini menjadi dilema di sisi lain, karena menimbulkan kesenjangan ekonomi dengan warga sekitar perkebunan, di luar area komunitas Kaum Depok. Sejarah kelam melanda jemaat gereja pada 7-13 Oktober 1945, sebagaimana digambarkan dalam buku “Melacak Jejak-jejak Sang Pembebas, Dari Jemaat Masehi ke GPIB Jemaat Immanuel Depok“, terbitan BPK Gunung Agung, 2014. Sekelompok orang mengatasnamakan pejuang revolusi menyerang Kaum Depok, gereja, dan lumbung pangan.
“Orang-Orang Depok keturunan budak Chastelein kemudian digiring sebagai tawanan dan dipaksa membawa bendera merah putih,” tulis Pendeta Hendrik Ongirwalu dan Pendeta Hallie Jonathans di buku itu.
Layanan gereja terhenti hingga tahun 1949. Banyak jemaat terpencar karena merasa tidak aman. Trauma atas peristiwa itu tidak mudah dihilangkan. Setelah Jepang menyerah, kepemimpinan gereja dipegang pendeta Belanda. Kepemimpinan beralih lagi ke pendeta Indonesia tahun 1948.
Di Jalan Pemuda, layanan gereja berjalan beriringan dengan layanan pendidikan, kesehatan, dan kegiatan keagamaan di luar jemaat Kristen. Kawasan itu membentuk wajah Depok kini menjadi kian plural. Gereja Immanuel berdampingan dengan bangunan yang dikelola Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC). Di sisi utara gereja berdiri SMA Kasih Depok.
Secara fisik, bangunan gereja masih kokoh. Pintu-pintu lengkung dan jendela dengan kaca patri menghiasi gedung. Sebagai peringatan terhadap Chastelein, dibuatlah prasasti dari batu marmer yang bisa dilihat tepat di sisi kiri saat masuk dari pintu utama gereja. Di prasasti itu tertulis dua tanggal, 28 Juni 1714 dan 26 Juni 1892, bertanda Cornelis de Graaf, pendiri Rumah Sakit Cikini. Makam Cornelis de Graaf berada di kompleks pemakaman Depok Lama, sekitar 500 meter dari gereja.
Tanggal 28 Juni 1714 merupakan tanggal penting bagi warga asli Depok Lama. Tanggal itu adalah kemerdekaan leluhur mereka. Hari itu, Chastelein meninggal karena epidemi yang menjangkiti Batavia dan sekitarnya. Surat wasiatnya membebaskan para budak dan mewariskan lahan pada Kaum Depok.
“Maka perlu sekali yang budak-budakku merdeka terpegang oleh suatu peraturan yang baik, supaya mereka itu menjadi orang-orang yang benar, tinggal berdamai satu dengan lain dan bekerja bersungguh-sungguh...,” tulis Chastelein yang dikutip dalam buku Hendrik Ongirwalu dan Hallie Jonathans.
Tak hanya membaca dan membebaskan, Chastelein juga membekali komunitas itu dengan kemampuan organisasi dengan membentuk Gemente Bestuur atau Tata Praja Depok serta membuat sekolah. Dengan bekal pendidikan dan kemampuan berorganisasi itu, setelah menjadi kaum merdeka, komunitas Depok Lama banyak memegang jabatan di kantor-kantor di Batavia hingga ke era kemerdekaan.
Kini, tanggal 28 Juni diperingati sebagai Hari Cornelis Chastelein (Cornelis Chastelein Dag) atau Hari Depok (Depokse Dag). Sebagian aset warisan Chastelein dikelola YLCC.
Lantaran sejarah ini, Yano Jonathans (67) selalu rindu suasana Natal di Gereja Immanuel. Keturunan Kaum Depok yang juga penulis buku Depok Tempo Doeloe (2011) ini menjadikan perayaan Natal untuk mempererat persaudaraan diaspora Kaum Depok. “Pusat persatuan warga ada di gereja yang menjadi perekat komunitas kami, yang terdiri dari 11 marga Depok,” ucapnya.