JAKARTA, KOMPAS – Korupsi yang masih terjadi di kalangan pejabat publik dipicu oleh sejumlah faktor. Salah satunya ialah lemahnya atau ketiadaan kebiasaan integritas atau habit of integrity, serta mati rasanya etika mereka sebagai pejabat publik yang seharusnya melayani publik tanpa mengejar rente. Di sisi lain, kultur birokrasi yang buruk turut mendukung terjadinya korupsi di lingkungan birokrat.
Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara Herry Priyono, Minggu (30/12/2018) yang dihubungi dari Jakarta mengatakan, tidak ada penjelasan tunggal untuk menerangkan kompleksitas korupsi di kalangan birokrat. Sejumlah peristiwa belakangan ini telah menjadi gambaran dari ketiadaan habit of integrity atau kebiasaan untuk memiliki integritas di kalangan birokrat. Sebagai sebuah kebiasaan, integritas itu tidak dibangun dalam sekejap mata, melainkan melalui pendidikan dan pembiasaan atau habituasi yang panjang.
Sabtu, akhir pekan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan empat pejabat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) sebagai tersangka dalam pengadaan dan pembangunan proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Proyek itu antara lain dibangun di sejumlah lokasi di Sulawesi Tengah guna membantu korban bencana alam tsunami beberapa waktu lalu. Selain empat pejabat Kementerian PUPR, KPK juga menetapkan empat pimpinan perusahaan swasta pemenang tender SPAM. Empat pengusaha itu diduga memberikan fee atau imbalan berupa uang kepada empat pejabat Kementerian PUPR guna pemenangan tender.
Herry mengatakan, integritas bisa diukur dari sejauh mana keteguhan seseorang dalam menyikapi kesempatan untuk berbuat buruk. Sekalipun semua kesempatan itu tersedia, orang yang memiliki kebiasaan integritas tidak akan melakukan perbuatan buruk itu. “Integritas yang dibangun melalui proses panjang itu sayangnya defisit dalam seluruh sistem pendidikan kita,” urainya.
Perbuatan yang tanpa integritas itu apabila dilakukan secara terus-menerus, konstan, dan menjadi bagian dari kebiasaan sehari-hari birokrat, akan menumpulkan kesadaran etika (ethic numbing) mereka sebagai pejabat publik. Pejabat menjadi tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah dari perbuatan itu, lantaran mereka melakukan itu berulang kali, dan dibiarkan, bahkan menjadi bagian kultur birokrasi yang tak terhindarkan.
Tidak ada upaya mempertanyakan perbuatan itu, baik dari atasan, maupun dari diri sendiri, sistem, dan lingkungannya. “Orang dalam birokrasi itu akan bertanya, kalau orang lain melakukannya (melakukan korupsi), kenapa saya tidak?” kata Herry.
Ketumpulan atau mati rasanya etika (ethic numbing) itu, menurut Herry, kerap membuat orang tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan. Terlebih jika itu sudah menjadi suatu kultur di tempat mereka bekerja. Artinya, bila mereka tidak korupsi, mereka tidak bisa bertahan dalam lingkungan itu. Perhitungan-perhitungan atas perbuatan mereka pun bisa jadi telah dikalkulasikan untuk menghindari jeratan hukum.
“Mereka berani melakukan itu mungkin karena mengira tidak akan ada pihak yang mencermati pengadaan air, apalagi dalam situasi bencana. Dalam kondisi ini, kalkukasi mereka lakukan untuk menghindari jeratan hukum,” katanya.
Meski demikian, hukum rupanya juga bukan satu-satunya penangkal bagi praktik korupsi di kalangan pejabat publik. Hukan semata-mata bila tidak diimbangi dengan pendidikan, kesadaran dan dukungan sosial, atau pembenahan sistem, akan menjadi solusi yang lemah dalam menghadang korupsi di tubuh birokrasi.
“Masalah korupsi itu sedemikian ruwetnya, sehingga bukan hanya hukum solusinya. Soal ekonomi, psikologi, sosiologi, kriminologi, dan sebagainya harus pula dilihat untuk membedah akar korupsi. Kenapa korupsi terjadi di Indonesia, tetapi tidak di negara-negara Skandinavia seperti Denmark. Itu memerlukan proses panjang, terutama pendidikan, untuk membiasakan integritas sebagai bagian dari sikap hidup sehari-hari,” urai Herry.