Pasang Surut Sepanjang 2018
Selama tahun 2018, terjadi banyak peristiwa penting yang membuat perekonomian Indonesia mengalami pasang surut. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, peningkatan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia, perang dagang Amerika Serikat-China, serta pertemuan IMF-Bank Dunia adalah beberapa di antaranya.
Dari peristiwa-peristiwa tersebut, terlihat struktur perekonomian Indonesia masih rentan dalam menghadapi gejolak. Namun, pada saat yang bersamaan, optimisme untuk memacu perekonomian tetap ada. Berikut adalah rangkuman sejumlah peristiwa penting yang mewarnai perekonomian Indonesia selama 2018.
Fluktuasi nilai tukar rupiah
Nilai tukar rupiah mengalami fluktuasi selama tahun 2018. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah menyambut tahun baru di posisi Rp 13.542 per dollar AS pada 2 Januari 2018. Di akhir tahun, rupiah mencapai Rp 14.542 per dollar AS pada 28 Desember 2018.
Posisi terkuat nilai tukar rupiah tercatat sebesar Rp 13.303 per dollar AS pada 26 Januari 2018. Posisi terlemah rupiah berada pada Rp 15.253 per dollar AS pada 11 Oktober 2018.
Penyebab utama rupiah terdepresiasi adalah keputusan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve menaikkan suku bunga acuan sebanyak empat kali sepanjang tahun ke kisaran 2,25-2,5 persen. Investasi portofolio akhirnya keluar dan masuk ke pasar modal AS karena memiliki imbal hasil yang lebih menarik.
Kendati demikian, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo berpendapat, depresiasi nilai tukar di Indonesia masih lebih baik ketimbang negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi lainnya (emerging countries). (Kompas, 4/9/2018)
Dikutip dari Bloomberg, rupiah terdepresiasi 8,54 persen per 7 September 2018. Sebagai perbandingan, rupee dari India terdepresiasi 10,97 persen, rand dari Afrika Selatan 18,73 persen, real dari Brasil 18,33 persen, dan lira dari Turki 40,74 persen. Bahkan, peso dari Argentina terdepresiasi 49,62 persen.
Depresiasi mata uang rupiah lebih buruk ketika dibandingkan dengan Filipina sebesar 7,2 persen, China, 4,92 persen, Vietnam 2,6 persen, Malaysia 2,4 persen, dan Thailand 0,82 persen. Hanya mata uang yen dari Jepang yang menguat sebesar 1,53 persen.
Berdasarkan analisis BI, rupiah kembali menguat pada November karena modal asing mulai masuk dalam jumlah yang cukup besar. Selain itu, ketegangan perang dagang AS-China sedikit mereda.
Kenaikan BI 7-Day Reverse Repo Rate (7DRRR)
BI tidak tinggal diam dalam menghadapi depresiasi nilai tukar yang semakin terperosok menjelang Mei 2018, dimana rupiah mulai menyentuh kisaran Rp 14.000 per dollar AS. Gubernur BI pada saat itu, Agus Martowardojo, mengumumkan kenaikan suku bunga acuan BI atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (7DRRR) menjadi 4,5 persen dari sebelumnya 4,25 persen.
Keputusan untuk mengimbangi kenaikan suku bunga The Fed juga dilakukan oleh Gubernur BI yang menjabat menggantikan Agus, Perry Warjiyo. Perry menaikkan suku bunga acuan BI sebanyak lima kali. Dengan demikian, suku bunga acuan BI kini sebesar 6 persen.
Dalam setiap kesempatan, Perry memastikan kebijakan BI akan tetap ahead the curve atau preemtif dengan menelurkan kebijakan. Pertumbuhan ekonomi diprediksi bisa mencapai 5-5,4 persen pada 2019 didukung oleh kuatnya permintaan domestik dan ekspor neto.
Perang dagang AS-China
Tahun 2018 semakin semarak dengan adanya perseteruan antara dua negara kekuatan ekonomi terbesar di dunia, yakni AS dan China. AS selama ini mencatat defisit perdagangan dengan China. Ini membuat Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk menaikkan tarif impor kepada China.
Perang dagang semakin sengit sejak 6 Juli 2018. AS menaikkan tarif impor 25 persen untuk komoditas China senilai 34 miliar dollar AS. China pun membalas dengan menaikkan tarif impor barang AS, seperti agrikultur, mobil, dan makanan laut setelah sebelumnya menetapkan tarif impor tambahan 15-25 persen terhadap 128 jenis komoditas AS pada 2 April 2018.
Sebenarnya, pengenaan kenaikan tarif impor sebenarnya tidak hanya diberikan pada China. Negara-negara lain, seperti Uni Eropa, Kanada, Meksiko, juga terkena kebijakan tersebut.
Menjelang akhir tahun, ada perubahan pergerakan dari AS dan China. AS sebelumnya akan menaikkan tarif atas produk impor asal China senilai 200 miliar dollar AS dari 10 persen menjadi 25 persen mulai 1 Januari 2019. Namun, rencana itu ditunda selama 90 hari. China pun menangguhkan tarif tambahan atas produk otomotif AS yang akan berlaku pada 1 Januari 2019.
Hubungan manis kedua negara tidak berlangsung lama. Presiden Trump mengeluarkan larangan baru untuk menggunakan produk telekomunikasi buatan China. Kebijakan itu dapat menjadi pemicu baru bagi kedua negara untuk kembali berseteru.
Perang dagang dapat mengubah tataran perdagangan global. Komoditas yang awalnya diproduksi bagi pasar AS dan China yang begitu besar dapat masuk ke negara-negara lain yang tidak menetapkan tarif impor yang tinggi. Negara dengan produk yang tidak memiliki daya saing kuat dapat kebanjiran komoditas dari kedua negara.
Ekonom Divisi Perbendaharaan dan Pasar Modal Bank Danamon, Dian Ayu Yustina menyampaikan, China dapat mengalihkan ekspor barang ke AS menuju Indonesia dan negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi (emerging market) lainnya. (Kompas, 19/7/2018).
Angka kemiskinan turun
Setelah bertahun-tahun, angka kemiskinan di Indonesia akhirnya turun di bawah 10 persen, tepatnya 9,82 persen pada Maret 2018 dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan, jumlah penduduk miskin sebanyak 25,95 juta orang dari jumlah penduduk.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, penurunan jumlah penduduk miskin tahun ini terbantu sejumlah faktor, terutama jaring pengaman sosial. Bantuan sosial (bansos) tunai dari pemerintah tumbuh 87,6 persen pada triwulan-I 2018. Selain itu, program beras sejahtera dan bantuan pangan non-tunai pada triwulan I-2018 juga didistribusikan sesuai jadwal. (Kompas, 17/7/2018)
Angka ketimpangan atau rasio gini per Maret 2018 turun 0,004 dibandingkan Maret 2017. Rasio gini pada Maret 2017 sebesar 0,393, sedangkan pada Maret 2018 turun menjadi 0,389.
Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018
Indonesia terpilih sebagai tuan rumah dari pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank) 2018 pada 8-14 Oktober 2018 di Nusa Dua, Bali. Lebih dari 34.000 peserta dari 189 negara, terdiri dari perwakilan pemerintah, gubernur bank sentral, menteri keuangan, pemimpin korporasi, lembaga swadaya masyarakat, pelaku usaha, akademisi, dan ekonom, hadir di acara tersebut.
Pertemuan ini menjadi ajang pengakuan dunia atas kemampuan Indonesia menjadi penyelenggara acara. Di saat yang bersamaan, Indonesia juga mampu tampil sebagai negara dengan ketahanan ekonomi yang mumpuni, di tengah depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan perang dagang AS-China. Ditambah lagi, Tanah Air sedang dilanda bencana gempa bumi di Nusa Tenggara Barat serta gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah.
Indonesia mengusulkan delapan tema pertemuan tingkat tinggi, yakni keuangan dan ekonomi digital, urbanisasi, modal manusia (human capital), asuransi dan pendanaan risiko bencana alam, perubahan iklim, pendanaan infrastruktur, penguatan sistem moneter internasional, serta keuangan dan ekonomi syariah. (Kompas, 8/10/2018).
Pidato Presiden Joko Widodo dalam pertemuan tersebut juga menuai pujian para kepala pemerintahan lainnya. Dengan menggunakan ilustrasi serial televisi Game of Thrones, Presiden Jokowi mengajak seluruh negara untuk berhenti membuat kebijakan proteksionisme. Dunia seharusnya bersatu dalam menghadapi perubahan iklim, pemanasan global, dan sampah plastik.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) 9 bertajuk “Dampak Ekonomi Annual Meetings IMF-World Bank 2018” di Jakarta, Selasa (18/12/2018), mengatakan, pertemuan tersebut menumbuhkan ekonomi Indonesia sebesar 0,01 persen. (KCM)