Pembangunan Desa Harus Berlandaskan Nilai-nilai Pancasila
Oleh
Dahlia Irawati
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS —- Untuk mewujudkan pemerataan kesejahteraan dan mengurangi ketimpangan ekonomi di masyarakat, pembangunan harus dilakukan dengan berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila. Sari pati nilai-nilai Pancasila adalah gotong royong dan pembangunan dengan semangat gotong royong tersebut diharapkan terus ada di desa sebagai satuan masyarakat terkecil di Indonesia.
Hal itu menjadi benang merah Bincang Kompas Akhir Tahun 2018 yang digelar oleh Kompas Biro Malang, Senin (31/12/2018), di Malang, Jawa Timur. Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut Staf Khusus Presiden Ahmad Erani Yustika, Pejabat Sementara Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Hariyono, serta Asisten Tenaga Ahli Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Muhammad Nur Uddin.
Konsep pembangunan ekonomi berlandaskan nilai-nilai Pancasila atau lebih dikenal sebagai ekonomi Pancasila adalah pembangunan ekonomi di mana berpijak pada semangat gotong royong. Pembangunan desa tidak hanya dilihat dari kacamata ekonomi (kapital), tetapi lebih pada kacamata kemandirian.
”Apa pun model pembangunan yang didesain, insentif moral harus melampaui material. Ada persaudaraan, keguyuban, ada nilai-nilai mulia yang harus dihidupi dibandingkan pencapaian-pencapaian material. Kalau dalam teori ekonomi, di mana faktor ekonomi adalah modal, lahan, tenaga kerja, maka manusia harus di atas semuanya,” kata Erani.
Terpenting, menurut Erani, pembangunan di desa harus berdasarkan prinsip kolektivitas mengatasi individualitas. ”Yang dicari adalah semangat bergandengan tangan dan yang harus dibangun adalah bekerja bersama,” katanya.
Erani menambahkan, ada tiga hal penting harus dicatat dalam pengembangan pembangunan desa (pembangunan SDM dan ekonomi), yaitu pentingnya penguasaan dan kepemilikan sumber daya oleh desa. ”Urusan ekonomi desa harus bicara soal penguasaan dan kepemilikan sumber daya. Betul desa surplus kekayaan sumber daya, tetapi kadang masih defisit kepemilikan. Itu harus diusahakan,” katanya.
Pakar ekonomi asal Universitas Brawijaya tersebut mengatakan bahwa pembangunan koperasi dan badan usaha milik desa (BUMDes) pun disinyalir tidak selalu bersemangat kolektif. ”Perlu dicermati, pembangunan koperasi dan BUMDes agar tidak mengarah ke individualitas. Bungkusnya bisa kolektivitas, tetapi isinya bisa individualitas. Ini tidak sesuai dengan semangat gotong royong desa,” katanya.
Penataan organisasi ekonomi tersebut, menurut Erani, penting untuk memastikan hajat hidup masyarakat orang banyak tercapai, bukannya jatuh ke segelintir orang.
”Upaya-upaya pembangunan dengan semangat kolektif tersebut menjadi solusi mengurangi ketimpangan ekonomi. Tetapi memang tidak bisa didapat dengan cepat. Pemerintah saja dalam empat tahun hanya bisa mengurangi ketimpangan cukup kecil. Tahun 2014 ada 1 persen penduduk kaya menguasai 53 persen kekayaan bangsa. Sekarang, posisinya 1 persen orang tersebut menguasai 46 persen kekayaan nasional Indonesia,” katanya.
Pejabat Sementara Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Hariyono mengatakan bahwa roh ekonomi Pancasila adalah gotong royong. Semangat gotong royong pada masyarakat desa saat ini mulai menurun. Salah satunya karena persoalan struktural.
”Persoalannya bukan pada ekonomi, melainkan pada kebijakan politik (struktural). Apakah kebijakan politik kita sudah berbasis pada Pancasila atau belum? Oleh karena itu, masalah di perdesaan tidak hanya bisa diselesaikan dengan aspek desa saja. Harus juga diperjuangkan secara struktural di pusat,” katanya.
Namun, sembari itu hal bisa dilakukan oleh masyarakat desa dalam membangun desanya adalah menguatkan kemandirian desa. ”Kita bisa menggali potensi desa dari hal terkecil, misalnya soal ketahanan pangan. Memanfaatkan kultur dan potensi desa untuk memperkuat pangan sehingga kemandirian desa akan terus terpupuk,” katanya.
Hal yang tidak boleh dilupakan, menurut Hariyono, adalah membangun desa tetap harus dengan sentuhan teknologi. Sebab, dengan itu, pembangunan desa bisa mengikuti zaman.
Asisten Tenaga Ahli Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Muhammad Nur Uddin mengatakan bahwa pembangunan desa saat ini bergantung pada pendampingan terhadap desa.
”Harus diakui pendamping ada yang nilainya bagus dan ada yang kurang. Oleh karena itu, akan terus dicarikan formula pendampingan yang baik untuk desa-desa. Yang jelas, Kemdesa PDTT sudah bekerja sama dengan 30 perguruan tinggi di Indonesia untuk turut mendampingi desa,” katanya.
Anggota Komisi XI DPR, Andreas Susetyo, yang turut hadir dalam diskusi tersebut, mengatakan bahwa saat ini masih ada tiga tantangan mengembangkan desa, yaitu pemanfaatan dana desa yang belum optimal, kapasitas aparat desa dan pendamping desa masih harus ditingkatkan, serta monitoring, evaluasi, dan pengawasannya yang belum optimal.
”Dana desa tujuan utamanya adalah untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan. Namun, jangan dipikirkan bahwa seakan-akan dana desa menjadi instrumen satu-satunya. Partisipasi dan pemberdayaan masyarakat harus diperhitungkan guna memandirikan desa,” katanya.