JAKARTA, KOMPAS – Penghukuman maksimal diperlukan terhadap para penyelenggara negara dan swasta yang melakukan korupsi terkait dengan obyek vital masyarakat. Perubahan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi menjadi kian mendesak untuk mengubah durasi pidana pokok, denda, dan menyertakan pidana tambahan yang lebih beragam.
Pada Sabtu (29/12), Komisi Pemberantasan Korupsi mengumumkan 8 orang sebagai tersangka pasca operasi tangkap tangan terkait perkara dugaan suap untuk proyek pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum di daerah bencana. Ada sejumlah proyek seperti di Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah yang September lalu terkena gempa dan tsunami. Kemudian di Umbulan 3 Pasuruan, Lampung, Toba 1, Katulampa, dan Bekasi.
Mereka yang menjadi tersangka adalah Kepala Satuan Kerja SPAM Strategis/PPK SPAM Lampung Anggiat Partunggul Simaremare, PPK SPAM Katulampa Meina Woro Kustinah, Kepala Satuan Kerja SPAM Darurat Teuku Moch Nazar, dan PPK SPAM Toba 1 Donny Sofyan Arifin. Sementara 4 tersangka lainnya merupakan direktur di PT Wijaya Kusuma Emindo dan PT Tashida Sejahtera Perkasa.
Suap yang diterima bervariasi. Untuk proyek SPAM di Lampung suap sebesar Rp 350 juta dan 5 ribu dollar Amerika Serikat. Proyek SPAM di Umbulan 3 Pasuruan sebesar Rp 500 juta, pembangunan SPAM Katulampa Rp 1,42 miliar dan 22.100 dollar AS, dan proyek SPAM di Toba 1 Rp 170 juta. Lalu, pengadaan pipa HDPE di Donggala, Palu, dan Bekasi sebesar Rp 2,9 miliar.
Selain uang, satu unit mobil CRV juga disita karena diduga merupakan bagian dari suap. Suap yang diberikan ini untuk memuluskan PT WKE dan PT TSP yang dimiliki orang yang sama memenangkan lelang. Setidaknya 12 paket lelang sebesar Rp 429 miliar telah dimenangkan PT WKE dan PT TSP.
Guru Besar dari Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, di Jakarta, Minggu (30/12) menyampaikan rasa prihatin terhadap hilangnya rasa empati dan etika di kalangan pejabat, baik eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Program yang semestinya ditujukan untuk kebutuhan dasar warga, bahkan yang terdampak bencana tetap dijadikan lahan untuk mengumpulkan keuntungan pribadi maupun korporasi.
“Ini sangat memprihatikan, karena makin banyak pejabat publik yang makin tidak punya etika. Sensitivitas dan rasa malu juga sudah menguap sehingga berani mengkorupsi proyek yang menyangkut kebutuhan dasar warga. Benar-benar kejahatan yang luar biasa, yang tidak cukup ditangani dengan hukum biasa-biasa saja,” kata Azyumardi.
Hukuman yang berat menjadi opsi. Antara lain, penyitaan maksimal yang berpotensi memiskinkan koruptor, pencabutan hak untuk menduduki jabatan publik seumur hidup, dan hukuman tambahan untuk kepentingan sosial berupa kerja sosial seperti membersihkan ruang publik. Dalam hal seperti ini, juga sukar untuk membicarakan mengenai hak asasi manusia mengingat yang dikorupsi sudah bersinggungan langsung dengan hajat hidup orang banyak.
Kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menemukan tren vonis sepanjang 2017 tergolong rendah dengan rata-rata vonis pidana penjara selama 2 tahun 2 bulan. Revisi Undang-Undang Tipikor pun disarankan karena beratnya hukuman tersebut berlandaskan pada regulasi. “UU Tipikor itu bukan kitab suci yang tidak bisa diubah karena UU yang ada belum cukup maksimal, maka harus jadi prioritas untuk direvisi. Anggota DPR RI masih punya waktu sampai Oktober 2019 agar mmprioritas revisinya. Jika revisi itu bisa dilakukan, maka itu dapat menjadi catatan positif bagi DPR RI periode ini,” tutur Azyumardi.
Secara terpisah, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan dugaan kasus SPAM di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ini terjadi secara sistematis sehingga sangat mengganggu kepentingan masyarakat mengingat ketersediaan air minum adalah kebutuhan dasar yang semestinya diperhatikan dan diawasi secara maksimal.
“Niat baik Pemerintah untuk mengalokasikan anggaran terhadap proyek-proyek infrastruktur dan prioritas nasional jangan sampai disalahgunakan oleh pejabat-pejabat di lembaga negara. Dalam hal ini, terjadi di Kementerian PUPR,” kata Febri.