Suap Infrastruktur Air Minum Jadi Indikasi Menumpulnya Etika Pejabat Publik
Oleh
Riana Ibrahim dan Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi terkait suap proyek infrastruktur air minum, termasuk di daerah bencana menunjukkan makin tumpulnya etika sebagian pejabat publik di Indonesia. Hal ini perlu diatasi melalui pemberian hukuman maksimal, serta pembenahan sistem dan pendidikan antikorupsi.
Operasi tangkap tangan oleh KPK pada Jumat (28/12/2018) di sejumlah lokasi di Jakarta dan Tangerang Selatan (Banten), terkait dengan proyek pengadaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) tahun anggaran 2017/2018 di Umbulan 3-Pasuruan (Jawa Timur), Lampung, Toba-1 (Sumatera Utara), dan Katulampa (Jawa Barat), serta pengadaan pipa di Bekasi (Jawa Barat) dan di wilayah bencana Palu dan Donggala (Sulawesi Tengah).
Guru Besar Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, di Jakarta, Minggu (30/12/2018) menilai, kasus ini menunjukkan hilangnya rasa empati dan etika di kalangan pejabat publik. Program yang semestinya ditujukan untuk kebutuhan dasar warga, bahkan yang terdampak bencana tetap dijadikan lahan untuk mengumpulkan keuntungan pribadi atau korporasi.
Karena itu, ia mendorong penerapan hukuman yang lebih berat bagi koruptor. Ini bisa berupa penyitaan aset secara maksimal, pencabutan hak untuk menduduki jabatan publik seumur hidup, dan hukuman tambahan untuk kepentingan sosial berupa kerja sosial seperti membersihkan ruang publik.
Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara Herry Priyono menuturkan, k etumpulan atau mati rasanya etika kerap membuat orang tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan. Terlebih jika itu sudah menjadi suatu kultur di tempat mereka bekerja. Artinya, bila tidak korupsi, mereka tidak bisa bertahan dalam lingkungan itu. Karena itu, Herry menilai, solusi hukum juga perlu diikuti dengan pendidikan, penyadaran, dukungan sosial, serta pembenahan sistem.
Delapan tersangka
Terkait kasus suap infrastruktur air minum itu, Minggu dini hari, KPK mengumumkan penetapan delapan tersangka. Para tersangka itu ialah Kepala Satuan Kerja SPAM Strategis/PPK SPAM Lampung Anggiat Partunggul Simaremare, PPK SPAM Katulampa Meina Woro Kustinah, Kepala Satuan Kerja SPAM Darurat Teuku Moch Nazar, dan PPK SPAM Toba 1 Donny Sofyan Arifin. Mereka diduga menerima suap.
Sementara empat tersangka lainnya diduga menjadi pemberi suap, yakni Direktur Utama PT Wijaya Kesuma Emindo (WKE) Budi Suharto, Direktur PT WKE Lily Sundarsih, dua Direktur PT Tashida Sejahtera Perkasa (TSP) Irene Irma dan Yuliana Enganita Dibyo.
Suap yang diberikan bervariasi. Suap untuk proyek SPAM di Lampung sebesar Rp 350 juta dan 5 ribu dollar Amerika Serikat. Proyek SPAM di Umbulan 3 Pasuruan sebesar Rp 500 juta, pembangunan SPAM Katulampa Rp 1,42 miliar dan 22.100 dollar AS, sedangkan proyek SPAM di Toba 1 Rp 170 juta dan pengadaan pipa air bersih di Donggala, Palu, dan Bekasi Rp 2,9 miliar.
Suap yang diberikan tersebut bertujuan agar PT WKE dan PT TSP yang dimiliki orang yang sama, memenangkan lelang proyek air bersih tersebut. Setidaknya 12 paket lelang sebesar Rp 429 miliar telah dimenangkan PT WKE dan PT TSP.
Adapun, dalam operasi tangkap tangan, KPK menyita uang Rp 3,36 miliar, 23.100 dollar Singapura, dan 3.200 dollar AS, serta satu unit mobil.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, para pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat 1 Huruf a atau Pasal 5 Ayat 1 Huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sementara itu, para penerima disangkakan melanggar Pasal 12 Huruf a atau Pasal 12 Huruf b atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 64 aAyat 1 KUHP.
Saut menuturkan, kasus ini terus dikembangkan. KPK menyelidiki kemungkinan kasus serupa ada di wilayah lain. Selain itu, KPK juga mendalami potensi pelanggaran terhadap pasal lain UU Tipikor.
"Jika terbukti melanggar Pasal 2, juga menyengsarakan banyak orang, apalagi di daerah bencana, tersangka bisa dihukum mati," ujar Saut. (Lorenzo Anugrah Mahardhika/Kristi Dwi Utami)