Tahun Politik dan Bayangan Hoaks di Ruang Digital
Di tahun politik 2018, fenomena keriuhan ulang alik antara dunia maya dan dunia luar jaringan semakin menguat. Kehadiran disinformasi atau hoaks seolah menjadi keseharian para pengguna media sosial. Memasuki tahun politik di 2019, kebisingan yang ditimbulkan hoaks di ranah virtual bukan tidak mungkin semakin meningkat.
Di tahun 2018, Direktorat Tindak Pidana Siber Polri mengungkap tiga ”pemain” yang menjadi produsen dan distributor hoaks di media sosial, yakni Saracen, MCA, dan suararakyat23. Apabila Saracen dan MCA pengorganisasian sistematis dan berkelompok, suararakyat23 hanya diawaki satu orang, yakni JD (23).
Penangkapan tersebut juga memberi indikasi hoaks erat kaitannya dengan kontestasi politik. Sebab, konten-konten yang diciptakan produsen hoaks itu dominan menyerang figur-figur politik, termasuk Presiden Joko Widodo. Para pencipta hoaks bertujuan memprovokasi masyarakat, menghadirkan kegaduhan di ruang publik. Dengan banyaknya informasi palsu itu dibagikan, lalu diklik, mereka menerima uang dari konten yang berhasil membohongi sebagian masyarakat.
Hasil pantauan Kementerian Komunikasi dan Informatika, dari 10 konten hoaks yang paling berdampak pada 2018, tiga hoaks di antaranya bernuansa politik. Ketiganya terkait hoaks kasus penganiayaan Ratna Sarumpaet, hoaks penyadapan yang dilakukan pemerintah, dan hoaks kebangkitan Partai Komunis Indonesia.
Sementara itu, berita bohong yang mengemuka lain terkait bencana gempa dan tsunami di Palu, kotak hitam pesawat Lion Air JT-610, makanan mengandung plastik atau lilin, konspirasi imunisasi dan vaksin, penculikan anak, telur plastik, dan kolom empat istri di KTP elektronik.
Berdasarkan riset Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Februari 2017, sebanyak 91,8 persen dari 1.116 responden mengaku paling banyak menerima hoaks mengenai isu sosial politik yang berkaitan dengan pemerintah dan kontestasi pilkada. Isu hoaks lainnya yang dominan berkaitan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) di angka 88,6 persen dan kesehatan 41,2 persen. Responden bisa menjawab lebih dari satu pilihan.
Sebanyak 44,3 persen responden menyatakan menerima hoaks setiap hari. Bahkan, 17,2 persen responden menerima lebih dari satu hoaks per hari. Karena itu, 75,9 persen responden menilai hoaks mengganggu kerukunan warga.
Hasil survei DailySocial.id bertajuk ”Hoax Distribution: Through Digital Platforms in Indonesia 2018”, yang dipublikasikan Agustus 2018, menunjukkan Facebook menjadi platform utama warga internet terpapar hoaks. Dari 2.032 responden yang merupakan pengguna telepon pintar di Indonesia, 81,25 persen responden mengaku menerima hoaks melalui Facebook, diikuti Whatsapp (56,55 persen responden) dan Instagram (29,48 persen).
Menyesuaikan kebutuhan
Kehadiran media sosial telah mengubah kebiasaan masyarakat menerima informasi. Dalam artikel berjudul ”Why Do People Believe Fake News?” (Huffington Post, September 2017), psikolog sosial University of Maryland, Amerika Serikat, Arie Kruglanski, menuturkan, media sosial mengurangi dominasi media dan institusi pemerintah sebagai sumber informasi kredibel. Di tengah kebingungan publik terkait ”banjir” informasi, internet juga menghadirkan cara baru untuk menikmati informasi.
”Sumber informasi baru itu memotivasi orang dengan memberikan apa yang mereka butuhkan dan berupaya membentuk opini publik mengenai arah politik,” tulis Kruglanski.
Bahkan, melalui algoritma yang tertanam di sistem media sosial, penyedia layanan media sosial mampu menyebarkan berita yang sesuai dengan informasi kegemaran pemilik akun. Sisi negatifnya, hal ini menimbulkan efek ”ruang gema” dan ”gelembung penyaring” (filter bubble) di mana masyarakat hanya terpapar informasi yang sesuai pandangannya.
Konsumsi informasi yang sangat subyektif juga mengakibatkan potensi penerimaan hoaks atau informasi palsu semakin tinggi. Hunt Allcot dan Matthew Gentzkow, dalam artikel ”Social Media and Fake News in the 2016 Election” di jurnal Economic Perspectives, (2017), menjelaskan, kecenderungan ideologis politik seseorang amat memengaruhi kepercayaan mereka terhadap informasi yang berkaitan dengan figur politik yang mereka dukung. Hal ini yang menyebabkan mereka meyakini konten itu meski informasi tersebut palsu atau hoaks.
Segmen masyarakat itu, lanjut Allcot dan Gentzkow, memiliki jejaring sosial yang terbatas karena berupaya memperkecil kemungkinan menerima informasi yang bertentangan atau berlawanan dengan mereka. ”Mereka memercayai artikel yang selaras secara ideologis,” tulis laporan itu.
Ketika Kompas mewawancarai JD, November 2018, ia mengatakan, motivasi utamanya memproduksi dan menyebarkan hoaks adalah kebencian kepada pemerintah. Respons positif di Instagram terhadap hoaks yang ia ciptakan menyemangatinya membuat 843 gambar bermuatan pesan palsu.
Mitigasi
Dalam survei DailySocial.id terungkap pula bahwa 75 persen responden kesulitan menilai kehadiran hoaks di media sosial. Selain itu, masyarakat juga cenderung apatis terhadap hoaks. Hal itu ditunjukkan dari 51 persen responden menyatakan tetap diam dan tidak memberikan klarifikasi ketika menerima hoaks.
Sementara hasil riset Mastel menunjukkan, 28,9 persen responden menilai penegakan hukum adalah cara ampuh untuk mencegah hoaks. Adapun 57,7 persen responden menganggap edukasi masyarakat adalah cara paling efektif untuk meredam penyebaran dan produksi berita palsu.
Namun, meningkatkan mitigasi hoaks dengan mengedukasi masyarakat bukan pekerjaan singkat dan mudah. Butuh kerja sama berkelanjutan dari instansi terkait, organisasi dan komunitas masyarakat, serta penyedia layanan media sosial, untuk meningkatkan literasi digital guna meredam hoaks. Andai upaya pencegahan tidak diperkuat, besar kemungkinan hoaks masih akan menghantui kehidupan sosial-politik bangsa di tahun 2019, jelang pemilu.
Kontestasi politik yang dibayangi penyebaran hoaks bukanlah keinginan masyarakat. Oleh karena itu, elite politik perlu memberikan contoh penghormatan atas norma bangsa, menolak berbagai bentuk disinformasi. Sebab, disinformasi akan membuat masyarakat mengambil keputusan berdasar informasi tak tepat.