PALU, KOMPAS - Pemerintah didorong mengutamakan pemulihan ekonomi dan sosial penyintas gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah daripada membangun infrastruktur yang tidak relevan. Fokus penanganan gempa diminta pada penyintas agar pemenuhan kehidupan mereka tetap terjamin secara bermartabat.
“Pada masa transisi ini, pembangunan dan rencana pembangunan infrastruktur cukup masif, tetapi ada yang tidak relevan atau tidak menjadi prioritas. Di pihak lain, banyak warga yang kehilangan pekerjaan atau usaha karena terdampak bencana. Sayang mereka belum disentuh program,” kata anggota Pasigala Center Maimunah Korona dalam penyampaian kertas posisi terkait penanganan bencana di Palu, Sulawesi Tengah, Senin (31/12/2018).
Pasigala Center adalah koalisi berbagai lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan penyintas bencana di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala. Kertas posisi diserahkan kepada Ketua Panitia Khusus Pengawasan Penyelenggaraan Penanganan Bencana DPRD Sulteng Yahdi Basma.
Penanganan bencana di Sulteng saat ini memasuki masa transisi darurat. Pada periode ini, pembangunan infrastruktur untuk pemenuhan kebutuhan penyintas gencar dilakukan, mulai dari hunian sementara hingga jalan. Selain itu, pada masa ini, berbagai rencana pembangunan untuk rekonstruksi Sulteng mulai dibicarakan.
Maimunah menyatakan, ada sejumlah rencana pembangunan infrastruktur yang tidak terkait dengan pemenuhan kebutuhan penyintas. Ia mencontohkan rencana pembangunan kembali Jembatan Kuning Ponulele atau Jembatan Lengkung yang pada saat gempa lalu ambruk diterjang tsunami di muara Sungai Palu, serta pembangunan tanggul di bibir Teluk Palu sepanjang 7 kilometer untuk menahan rob dan ancaman tsunami ke depan. Pembangunan itu dipastikan menelan anggaran sangat besar.
Pembangunan Jembatan Kuning Ponulele atau tanggul di bibir Teluk Palu bisa mubazir, karena daerah itu mengalami penurunan permukaan (down-lift) saat gempa bumi lalu. Pembangunan infrastruktur megah di lokasi yang rentan bencana membuang-buang anggaran.
Gempa bumi terjadi di Sulteng pada 28 September 2018. Gempa diikuti tsunami dan likuefaksi di Kota Palu, Donggala, dan Sigi. Banyak warga meninggal akibat bencana tersebut. Banyak penyintas gempa kehilangan pekerjaan atau usaha karena gempa bumi tersebut.
Pembangunan infrastruktur pascagempa Sulteng gencar dilakukan saat ini. Ada pembangunan hunian sementara untuk penyintas yang kehilangan rumah, perbaikan jalan yang rusak.
Pemerintah juga merencanakan pembangunan hunian tetap, intalasi air minum, jaringan irigasi, jembatan yang akan menggantikan Jembatan Kuning Ponulele, dan tanggul di bibir Teluk Palu.
Sekretaris Jenderal Pasigala Center Andika menambahkan pembangunan infrastruktur besar pada umumnya tak melibatkan penyintas dalam perencanaannya. “Model pembangunan kembali Sulteng pascabencana mengabaikan partisipasi aktif penyintas. Seharusnya penyintas lebih banyak didengarkan karena merekalah yang pertama dan utama dipulihkan,” katanya.
Ariudin (33), penyintas di kompleks hunian sementara Kelurahan Silae, Kecamatan Ulujadi, Palu, menuturkan dirinya kehilangan pekerjaan karena usaha bengkelnya tersapu tsunami. Dia tidak bisa melanjutkan usahanya karena ketiadaan modal.
“Saya setiap hari berpikir keras bagaimana bisa menghasilkan uang. Saya pergi ke teman-teman yang usaha bengkelnya masih berjalan agar bisa membantu dan dengan begitu saya dapat uang. Beli susu dan popok anak sangat sulit,” ujarnya. Ia memiliki anak usia 6 bulan.
Ia berharap pemerintah segera menggulirkan bantuan usaha agar dirinya dan penyintas lain yang kehilangan pekerjaan bisa membuka usaha baru untuk pemenuhan kebutuhan hidup.
Yahdi menyampaikan pihaknya secara maksimal mengawasi upaya pemerintah menanggulangi pascabencana sejak Januari 2019. Selama ini, panitia khusus menghimpun berbagai masukan dan opini publik terkait penanganan pascabencana Sulteng. Dewan akan mengkritisi kebijakan dan rencana yang diambil pemerintah dalam merekonstuksi Sulteng pascabencana.