JAKARTA, KOMPAS — Bursa Efek Indonesia menghilangkan kewajiban emiten memiliki direktur independen dalam struktur manajemen agar operasional perusahaan semakin efisien. Sayangnya, hal ini membuat pelaku pasar khawatir kualitas perusahaan dalam mengelola risiko dapat berkurang.
Otoritas bursa mulai mengatur kewajiban perusahaan memiliki direktur independen dan komisaris independen sejak 2004. Sejak saat itu, bursa mewajibkan untuk meletakkan satu pihak independen dalam jajaran direksi dan komisaris perusahaan agar pengambilan keputusan dalam perusahaan menjadi lebih seimbang dan obyektif.
Namun, belakangan, jajaran direksi BEI menghilangkan kewajiban emiten menambahkan direktur independen di jajaran manajemen mereka. Alasannya, perwakilan pihak independen yang tidak memiliki hubungan dengan pemegang saham utama perusahaan sudah terwakili oleh komisaris independen.
Kepala Riset Koneksi Kapital Alfred Nainggolan menilai, penerapan hal baru ini berpotensi memicu persepsi buruk investor. Pelaku pasar khawatir, tidak adanya direktur independen mengurangi kualitas penerapan good corporate governance (GCG).
”Hilangnya direktur independen membuat tumpuan investor minoritas untuk mengadu hilang,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (1/1/2019).
Pelaku pasar khawatir, tidak adanya direktur independen mengurangi kualitas penerapan good corporate governance.
Saat ini, di Indonesia, ujar Alfred, masih banyak terjadi kasus yang melibatkan emiten dan merugikan pemegang saham, terutama di sektor ritel, akibat kelalaian dalam pengelolaan perusahaan.
Alfred mengatakan, Direksi BEI juga perlu membuat kebijakan untuk memastikan kualitas GCG perusahaan bisa tetap berjalan baik. Pasalnya, tak jarang ditemukan emiten yang teledor dalam GCG meski secara struktural memiliki direktur independen.
Terlebih lagi, kebanyakan perusahaan di Indonesia saat ini merupakan perusahaan keluarga. Mayoritas saham pada perusahaan keluarga biasanya masih dikuasai oleh para anggota keluarga.
”Ada kekhawatiran dari para pelaku pasar. Jadi, tidak bisa dikatakan hilangnya direktur independen tidak akan memberi pengaruh apa-apa terhadap persepsi pelaku pasar,” ujar Alfred.
Beberapa waktu lalu, Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna Setya mengatakan, perkembangan aturan perusahaan tercatat (IPO) di negara lain membuat pihaknya memutuskan menghapus kewajiban emiten untuk mendaftarkan direktur independen.
”Perubahan ini tertuang dalam peraturan BEI Nomor I-A tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham yang Diterbitkan Oleh Perusahaan Tercatat,” kata Nyoman.
Beleid tersebut saat ini telah mendapatkan lampu hijau dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Revisi Peraturan BEI Nomor I-A telah diterbitkan pada 26 Desember 2018 dan mulai berlaku pada 27 Desember 2018.
Dalam berkas usulan BEI kepada OJK per September lalu, Yetna mengatakan pihaknya mengusulkan agar jabatan komisaris independen yang dihapus. Adapun posisi direktur independen tetap ada. Pada akhirnya, posisi direktur independen yang tidak diwajibkan ada.
Keputusan tersebut mengacu pada peraturan OJK yang mewajibkan adanya komisaris independen, komite audit, fungsi internal audit, dan sekretaris perusahaan. ”BEI sebagai operator hanya menghapus direktur yang tidak terafiliasi atau direktur independen,” ujarnya.
Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal II OJK Fahri HIlmi menjelaskan, hukum perusahaan di Indonesia menganut two tier board system, yang terdiri dari direksi dan komisaris. Untuk itu, fungsi pengawasan oleh direktur independen sebenarnya dapat dijalankan oleh komisaris independen.
”Penghapusan syarat keberadaan direktur independen, lanjutnya, dapat membuat efisien operasional perusahaan,” ujar Fahri.