Warga Mulai Meninggalkan Tempat Pengungsian
PANDEGLANG, KOMPAS – Sejumlah penyintas bencana tsunami di Pandeglang, Provinsi Banten, berangsur pulang ke rumah dari lokasi pengungsian karena sudah merasa aman. Namun, sebagian besar warga tetap bertahan di pengungsian karena rumah mereka luluh lantak dan masih khawatir adanya bencana susulan. Warga pun menanti kepastian dari pemerintah.
Fasehudin (56), warga Desa Sukajadi, Kecamatan Carita, mengaku dia bersama keluarganya mulai meninggalkan tempat pengungsian dan kembali menempati rumahnya pada Senin (31/12/2018). Sebelumnya, dia mengaku, sempat bolak-balik dari rumahnya ke tempat pengungsian di Desa Tembong.
Perjalanan dari tempat pengungsian ke rumahnya itu ditempuh dengan berjalan kaki selama 30 menit. Fasehudin pun mengaku merasa lelah menjalaninya.
“Saya melihat gelombang laut sudah mulai tenang. Letusan gunung (Anak Krakatau) juga sudah tidak terlalu sering terdengar,” kata Fasehudin, Selasa (1/1/2019), menyampaikan alasannya meninggalkan tempat pengungsian.
Selain itu, Fasehudin dan keluarga tak dapat berdiam diri terus di tempat pengungsian. Sebab, dia butuh bekerja untuk menghasilkan uang."Saya melayani pesanan membuat gerobak mi ayam. Ada juga yang memesan pintu rumah," kata perajin perabot rumah tangga ini.
Marnah (42), warga Desa Sukajadi, kembali pulang ke rumah Senin malam karena sudah merasa aman. Dia gelisah terlalu lama berada di pengungsian. “Saya sudah tidak lagi mendengar ada suara letusan gunung. Sepertinya sih sudah aman,” ucap Marnah.
Rumah Marnah tidak rusak meskipun hanya berjarak 200 meter dari garis pantai. Untuk itu, dia memilih tinggal di rumah dari pada terlalu lama mengungsi. Namun, Marnah mengaku tetap menggantungkan kebutuhan hidup sehari-hari dari bantuan karena sudah tidak lagi memiliki penghasilan.
Sejak tsunami menghantam pesisir Pandeglang, Marnah kehilangan pekerjaanya sebagai penyedia tikar untuk disewakan kepada pengunjung di tepi pantai Karangsari, Carita, Banten.
Uun (32), warga Desa Banyuasin, Kecamatan Cigeulis, ini pun mengaku, sudah pulang ke rumah sejak Minggu (30/12/2018) karena mendapat informasi dari tetangga bahwa kondisi permukiman mereka yang berada 100 meter dari bibir pantai sudah aman. “Saya tadinya mengungsi ke Serang di tempat saudara,” kata Uun.
Meskipun sudah ada yang memilih pulang, sebagian besar warga tetap bertahan di pengungsian karena masih trauma dan tidak lagi punya tempat tinggal. Ada juga yang tetap mengungsi karena khawatir masih adanya tsunami susulan.
Ipat (21), warga Kampung Sangiang, Desa Sukarame, misalnya. Dia beserta suami dan anak bertahan di posko pengungsian Pesanggrahan, Kawasan Wisata Alam, Carita. Ipat masih khawatir akan adanya tsunami susulan. "Selama belum ada imbauan dari instansi terkait yang menyatakan kawasan pinggir pantai aman untuk ditinggali, saya dan keluarga masih akan tetap di sini. Di samping itu, Gunung Anak Krakatau masih berstatus siaga (level III)," kata Ipat.
Samul (48), warga kampung Sangiang, juga masih bertahan. Dia bertahan karena melihat warga lain yang masih menginap di posko ini. "Saya menurut saja sama yang lain. Kalau warga lain pulang, saya juga ikut pulang," kata dia.
Asep Saepudin, Koordinator Posko Pesanggrahan, mengatakan, tren jumlah pengungsi mulai menurun. Senin kemarin, data pengungsi yang tercatat berjumlah 600 orang. "Ini sebagian sepertinya sudah pulang. Untuk data persisnya hari ini belum dicatat. Kemungkinan jumlah pengungsi berkurang sekitar 40 persen dari data kemarin," kata Asep.
Asep mengungkapkan, posko akan melakukan rapat dengan Perum Perhutani selaku pemilik kawasan dan pengurus Tahura Banten untuk menentukan jadwal penutupan posko. "Kemungkinannya tanggal 3 Januari 2019 sampai tanggal 8 Januari 2019. Kami juga menunggu informasi terbaru dari BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika)," kata Asep.
Berdasarkan data posko terpadu penanggulangan bencana hingga Selasa (01/01/2019) malam, jumlah pengungsi akibat bencana tsunami Selat Sunda di Banten tercatat 24.926 jiwa, terdiri atas 22.810 orang di Pandeglang dan 2.116 jiwa di Serang. Jumlah itu berkurang dibandingkan Minggu (30/12/2018) yang mencapai 37.535 pengungsi.
Komandan Distrik Militer 0601/Pandeglang Letnan Kolonel (Inf) Nur Heru Wibawa selaku Koordinator Penanggulangan Bencana Tsunami Selat Sunda di Pandeglang mengakui, setelah dilakukan pendataan ulang dengan melibatkan kepala desa dan camat, jumlah pengungsi mulai berkurang. “Kemungkinan warga sudah mulai melek informasi karena dentuman Gunung Anak Krakatau juga sudah mulai berkurang,” kata Heru.
Menurut Heru, warga yang sudah mulai pulang adalah mereka yang rumahnya tidak rusak tetapi mengikuti imbauan dari BMKG agar menjauhi kawasan pantai hingga 1 kilometer. Penyintas bencana yang didata tidak hanya di posko pengungsian tetapi juga yang mengungsi tersebar di rumah penduduk.
Merujuk data BNPB hingga Senin sore, total korban tewas akibat tsunami Selat Sunda hingga Selasa, sebanyak 437 jiwa dengan rincian di Provinsi Banten 317 jiwa dan Lampung 120 jiwa. Masih terdapat 16 orang hilang. Proses pencarian korban terus berlanjut hingga masa tanggap darurat berakhir pada 4 Januari mendatang.
Huntara
Secara terpisah, Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan segera memulai pembangunan hunian sementara atau huntara bagi penyintas bencana tsunami Selat Sunda. Ada tiga titik lokasi pembangunan huntara yang disiapkan pemerintah.
Pelaksana tugas Bupati Lampung Selatan, Nanang Ermanto, mengungkapkan, ketiga titik huntara itu akan dibangun di Kalianda, Desa Way Muli, dan Desa Way Handak.
Sejauh ini, hanya huntara di Kalianda yang bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Hal itu karena huntara akan memanfaatkan bangunan bekas hotel 56 yang saat ini tidak difungsikan. Sementata itu, dua titik huntara lainnya masih menunggu kesiapan pengerjaan.
"Untuk yang di eks hotel 56 hari ini sudah dimulai pengerjaannya," kata Nanang ditemui saat malam pergantian tahun di shelter pengungsian lapangan tenis indoor Kalianda, Lampung Selatan, Senin (31/12/2018).
Dalam kesempatan yang sama, pelaksana tugas Kepala Dinas Permukiman dan Perumahan Kabupaten Lampung Selatan, Burhanuddin, menjelaskan, hotel itu memiliki 84 kamar di lantai atas dan 36 kamar di lantai bawah. Dengan demikian, hotel tersebut berkapasitas 120 kamar.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lampung Selatan, jumlah rumah yang rusak akibat tsunami di Lampung Selatan sebanyak 544 rumah rusak berat. Pendirian huntara menjadi persoalan mendesak seiring proses pembangunan permukiman permanen yang belum jelas. Huntara diperlukan bagi penyintas bencana yang kehilangan tempat tinggal.
Menurut Burhanuddin, huntara diprioritaskan bagi penyintas bencana yang kehilangan rumah setelah diterjang tsunami. Sedangkan, bagi penyintas bencana yang rumahnya masih utuh akan diperkenankan kembali ke rumah masing-masing setelah masa tanggap darurat berakhir.
"Hotel itu ada fasilitas kamar tidur dan kamar mandinya. Hotel akan dibersihkan. Tapi ada beberapa kamar yang belum dialiri listrik, kami akan usahakan agar layak ditinggali," kata Burhanuddin.
Salah seorang penyintas bencana asal Pulau Sebesi, Siti (54), mengaku tidak keberatan bila di kemudiam hari diminta untuk tinggal di huntara. Siti tidak punya pilihan lain karena rumahnya rata dengan tanah setelah dihantam gelombang tsunami Selat Sunda."Asalkan tempatnya layak, saya mau tinggal di sana," ujar Siti.
(ILO/NIA/BAY/SPW/IGA/MTK/E10/E17)