Anggota Dewan BPJS Nonaktif Diupayakan Dijerat Pidana Pemerkosaan
Oleh
Madina Nusrat
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — RA (27) yang diduga diperkosa oleh anggota Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan berinisial SAB menjalani konsultasi hukum di Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri), Jakarta, Rabu (2/1/2019). Konsultasi itu untuk memilah kembali barang bukti dan pasal yang akan digunakan agar dugaan pencabulan yang dia alami dapat diproses secara pidana.
RA mendatangi Bareskrim Polri dengan didampingi kuasa hukumnya, Heribertus S Hartojo. Mereka menyerahkan sejumlah barang bukti kepada penyidik, antara lain keterangan saksi ahli dan bukti percakapan.
”Kami belum melapor secara resmi. Pertemuan tadi sifatnya konsultasi. Barang bukti yang kami serahkan akan disortir agar lebih mengarah ke pasal yang paling kuat. Kami akan fokus kepada kasus perbuatan cabul,” kata Heribertus.
Setelah konsultasi itu, Heribertus menyampaikan, pihaknya akan kembali mendatangi Bareskrim Mabes Polri pada Rabu (3/1/2019), untuk melengkapi berkas administratif. Pada Rabu itu pula, lanjutnya, pihaknya akan menyampaikan keterangan resmi terkait barang bukti dan pasal yang digunakan untuk melaporkan SAB sebagai terduga pemerkosa RA itu ke kepolisian. Dengan demikian, SAB dapat dijerat pidana.
Heribertus menambahkan, laporan yang akan disampaikan ke kepolisian itu fokus pada pencabulan yang dialami RA. Lewat laporan itu, Heribertus mengharapkan kasus-kasus pelanggaran hukum yang menyertai dugaan pencabulan yang dialami RA itu dapat terungkap satu per satu.
”Kita ada di negara hukum. Kami harap penegakan hukum terjadi dan RA dapat jadi yang terakhir. Kami harap tidak ada lagi korban-korban lain,” kata Heribertus.
Sebelumnya, RA mengungkap pemerkosaan yang dialaminya selama 2016-2018 itu terjadi saat ia bekerja sebagai tenaga kontrak asisten ahli Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan. Pemerkosaan itu diduga dilakukan oleh atasannya, SAB, sebanyak empat kali.
Butuh waktu dua tahun bagi RA untuk mengungkap pencabulan yang dialami. Sebelumnya, dugaan pencabulan itu pernah ia laporkan kepada Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan. Namun, laporan itu tidak ditindaklanjuti.
RA sempat merasa tertekan dan putus asa karena tidak ada yang menolongnya. Dalam kondisi itu ia pun sempat berupaya bunuh diri pada 2 November 2018. ”Puncaknya (stres) pada 28 November 2018. SAB menggebrak meja, komputer, printer, bahkan mau melempar saya dengan gelas. Namun, hal itu digagalkan oleh teman saya,” kata RA.
RA mengatakan, sejak ia mengungkap pencabulan yang dialaminya ke publik, ia pun memperoleh sejumlah teror dari pihak yang tidak dikenal. Namun, ia enggan menyebutkan bentuk teror yang diperoleh.
Dengan diungkapnya dugaan pencabulan itu, baik RA maupun SAB dinonaktifkan dari posisinya di BPJS Ketenagakerjaan. Pihak BPJS Ketenagakerjaan menilai penonaktifan itu untuk menjaga kondisi BPJS Ketenagakerjaan tetap kondusif. Selain itu, penonaktifan itu bertujuan agar keduanya dapat menyelesaikan masalah pribadi mereka (Kompas.id, 29/12/2018).
Puncak gunung es
Sementara sejumlah pihak menilai laporan dugaan perkosaan yang dialami RA itu sebagai salah satu kasus dari kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan yang lebih besar dan kompleks di Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan. Oleh sebab itu, penyelesaian kasus dugaan perkosaan itu harus diusut hingga tuntas.
Pendamping RA sekaligus dosen pascasarjana Universitas Pelita Harapan, Ade Armando, mengatakan, pembenahan di badan Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan merupakan persoalan besar. Ia menganggap Dewan Pengawasan BPJS telah melakukan pembiaran terhadap dugaan pemerkosaan di institusi tersebut. Buktinya, laporan RA tidak ditanggapi.
”Ada manajemen yang missed dan akhirnya menuju pada pelecehan seksual. Ada power abuse (penyalahgunaan kekuasaan) juga. Kasus ini hanya puncak gunung es dari persoalan-persoalan yang ada di Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan,” kata Ade.
Perekrutan RA sebagai tenaga kontrak bagi Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan pun dinilai menyalahi aturan.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar pun menyoroti kasus pemerkosaan yang dialami RA itu sebagai salah satu penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan.
Jika dirunut ke belakang, lanjutnya, perekrutan RA sebagai tenaga kontrak di Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan itu menyalahi aturan. Semestinya RA itu direkrut oleh Direksi BPJS Ketenagakerjaan. Sebaliknya, yang terjadi, RA direkrut oleh Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan. Akibatnya, ada tendensi rasa kepemilikan di pihak dewan tersebut terhadap tenaga kerja yang direkrut, hingga terjadi perlakuan semena-mena.
”Kami harap ada perbaikan sistem sehingga BPJS Ketenagakerjaan bisa memberikan manfaat lebih kepada pekerja. Ini juga menjadi momentum untuk memperbaiki relasi antara dewan pengawas dan direksi agar kinerjanya bisa ditingkatkan,” tutur Timboel.
Menurut Timboel, belakangan ini kinerja BPJS Ketenagakerjaan menurun. Hal ini terlihat dari nilai investasi yang terus menurun dari 2016 hingga 2018. Ia mengatakan, perbaikan relasi antara direksi dan dewan pengawas dalam tubuh BPJS Ketenagakerjaan akan mendorong perbaikan kinerja.
Hingga November 2018, BPJS Ketenagakerjaan memiliki total aset senilai Rp 367 triliun dan melayani 49,77 juta pekerja sebagai peserta. Selain itu, BPJS Ketenagakerjaan juga menyelenggarakan program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pensiun (Kompas.id, 2/1/2019). (SEKAR GANDHAWANGI)