Inflasi Stabil Rendah, Karena Pengendalian Harga atau Daya Beli Melemah?
Oleh
M Paschalia Judith J
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Angka laju inflasi indeks harga konsumsi atau IHK nasional dalam empat tahun terakhir cukup stabil di level yang rendah, yakni di kisaran tiga persen. Tren tersebut mencerminkan dua hal, yaitu ketepatan strategi pengendalian harga pemerintah dan adanya stagnansi konsumsi.
Berdasarkan data yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS), Rabu (2/1/2019), lHK pada Desember 2018 tercatat 135,39 dengan laju inflasinya sebesar 0,62 persen. Adapun inflasi sepanjang 2018 tercatat 3,13 persen.
Sejak 2015, laju inflasi tahunan cenderung berada dalam rentang target pemerintah. Secara berturut-turut, angkanya terdiri dari, 3,35 persen (2015), 3,02 persen (2016), dan 3,61 persen (2017).
Menurut Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto, pencapaian selama empat terakhir ini menunjukkan pemerintah mampu membuktikan komitmennya dalam mengendalikan harga, terutama bahan kebutuhan pokok. "Tren kebijakan pengendalian harga sudah bagus," ucapnya dalam jumpa pers, Rabu.
Senada dengan Suhariyanto, ekonom Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro, berpendapat, koordinasi antara pemerintah dan Bank Indonesia sudah tepat dalam mengendalikan harga. Keberadaan tim pengendali inflasi daerah (TPID) juga diapresiasi.
Ketepatan itu, menurut Satria, ditunjukkan oleh kebijakan-kebijakan pengendalian harga yang berorientasi pada suplai dan berdampak pada komponen harga bergejolak yang menunjukkan penurunan laju inflasi dari 4,84 persen (2015) menjadi 3,39 persen (2018).
Komponen harga bergejolak sangat dipengaruhi oleh ketersediaan suplai. "Struktur inflasi di Indonesia masih bersifat supply driven (didorong oleh suplai)," ucap Satria saat dihubungi secara terpisah.
Di sisi lain, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menyoroti melambatnya pertumbuhan komponen inflasi inti dari 3,95 persen pada 2015 menjadi 3,07 persen pada 2018. Menurutnya, perlambatan komponen inflasi inti ini mencerminkan perlambatan permintaan.
Artinya, permintaan yang tumbuh melambat merefleksikan melemahnya daya beli masyarakat. Rusli mengatakan, daya beli saat ini tengah menurun, terutama di kelompok 20 persen masyarakat berpengeluaran tinggi (kelompok atas).
Berdasarkan data yang dihimpun Rusli, proporsi pengeluaran kelompok atas menurun dari 48,25 persen pada 2015 menjadi 46,09 persen pada 2018. Menurutnya, ada indikasi kelompok atas tengah menahan konsumsi.
Sementara itu, proporsi kelompok 40 persen berpengeluaran menengah dan kelompok 40 persen berpengeluaran rendah meningkat sebesar 1,97 persen dan 0,19 persen. "Akan tetapi, peningkatan itu karena sokongan bantuan sosial dari pemerintah. Seharusnya, daya beli masyarakat di dua kelompok ini dijaga dari sisi penghasilannya sebagai sumber dana pengeluarannya agar dapat lebih tahan dan berkelanjutan," tutur Rusli.