JAKARTA, KOMPAS — Kinerja APBN 2018 yang dinilai cukup baik akan memberikan sentimen positif pada 2019. Meski demikian, pemerintah mesti mewaspadai risiko fluktuasi harga komoditas global dan penurunan volume perdagangan internasional yang akan berimbas terhadap realisasi pendapatan.
Beberapa catatan positif dalam kinerja APBN 2018, antara lain realisasi pendapatan negara yang melampaui target 102,5 persen atau senilai Rp 1.942,3 triliun. Terakhir, realisasi pendapatan melebihi target pada 2012. Pendapatan ditopang pertumbuhan penerimaan perpajakan 13,2 persen dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) 30,8 persen.
Adapun realisasi belanja negara mencapai Rp 2.202,2 triliun atau 99,3 persen dari pagu APBN 2018. Kelebihan pembiayaan anggaran Rp 40,5 triliun. Hal itu menyebabkan defisit anggaran 1,76 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) senilai Rp 259,9 triliun, atau terkecil sejak 2012. Sementara keseimbangan primer defisit Rp 1,8 triliun yang juga terendah sejak 2012.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pencapaian tersebut dibarengi perekonomian Indonesia yang tumbuh positif di tengah ketidakpastian global. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan 5,15 persen, inflasi terkendali pada tingkat yang rendah 3,13 persen, serta rata-rata nilai tukar dalam setahun Rp 14.247 per dollar AS.
”Pemerintah tetap mewaspadai pergerakan berbagai indikator akibat ketidakpastian ekonomi global. Kewaspadaan akan ditingkatkan pada 2019,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (2/2/2019).
Kendati pemerintah memutuskan tidak ada perubahan APBN 2018, beberapa asumsi makro berada di atas kondisi riil, yaitu nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, harga minyak dunia, serta lifting minyak dan gas. Kondisi tersebut memengaruhi realisasi pendapatan negara yang bersumber dari sektor sumber daya alam dan belanja pemerintah untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listik.
Secara terpisah, Kepala Ekonom dan Riset PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja mengatakan, kinerja APBN 2018 bisa menjadi sentimen positif pada 2019. Pemerintah cukup baik dalam mengelola defisit anggaran, bahkan jauh di bawah target 2,19 persen. Namun, kebijakan pengetatan fiskal ini berdampak kurang baik terhadap pertumbuhan ekonomi.
”Dampak kurang baik tecermin dalam pelambatan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-IV pada 2018. Padahal, pemerintah masih memiliki ruang fiskal untuk meningkatkan belanja,” kata Enrico.
Pemerintah cukup baik dalam mengelola defisit anggaran. Namun, kebijakan pengetatan fiskal ini berdampak kurang baik terhadap pertumbuhan ekonomi.
Menurut Enrico, momentum pemulihan ekonomi akan terjadi pada paruh kedua 2019 sehingga pemerintah mesti bersiap menggelontorkan belanja negara, menarik investasi, dan meningkatkan konsumsi. Belanja pemerintah diarahkan untuk peningkatan kegiatan produktif, seperti program padat karya tunai. Defisit anggaran juga bisa sedikit dinaikkan untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah Redjalam berpendapat, kinerja fiskal yang positif harus dibarengi perbaikan neraca pembayaran. Struktur perekonomian Indonesia masih rapuh karena defisit neraca perdagangan semakin lebar. Pada 2018, defisit transaksi berjalan diperkirakan di atas 3 persen.
”Ibarat meja yang memiliki empat kaki, kalau tiga kaki kokoh, tetapi satu kaki rapuh, berarti kekuatannya masih dipertanyakan. Kondisi moneter, fiskal, dan inflasi baik, tetapi neraca pembayaran jelek,” kata Piter.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, neraca perdagangan November 2018 defisit 2,047 miliar dollar AS, yang terdalam setidaknya sejak Januari 2014. Neraca perdagangan Januari- November 2018 defisit 7,515 miliar dollar AS.
Waspada
Pada 2019, pemerintah mesti mewaspadai faktor penggerak ekonomi global dan risiko yang bersumber dari normalisasi kebijakan moneter AS, dampak lanjutan perang dagang AS-China, moderasi perekonomian China, fluktuasi harga komoditas, serta berbagai isu geopolitik keputusan Brexit dan konflik di kawasan Timur Tengah.
Ketidakpastian ekonomi global tersebut akan memengaruhi target pendapatan Rp 2.165,1 triliun pada APBN 2019. Menurut Sri Mulyani, situasi dan tantangan tahun 2019 akan berbeda dengan tahun 2018. Pemerintah menetapkan asumsi nilai tukar rupiah Rp 15.000 per dollar AS dan harga minyak dunia 70 dollar AS per barel dalam APBN 2019.
Pendapatan tahun 2019 juga ditopang penerimaan perpajakan yang porsinya mencapai 80 persen dari total penerimaan negara. Padahal, pertumbuhan penerimaan perpajakan pada 2018 sebesar 13,2 persen. ”Tahun 2019, untuk mencapai target pendapatan, pertumbuhan penerimaan perpajakan ditargetkan mencapai 20 persen. Pengumpulan pajak akan tetap dilakukan secara hati-hati,” kata Sri Mulyani.
Pengumpulan pajak juga dibarengi perbaikan tata kelola, pendataan yang lebih akurat, dan pemberian insentif perpajakan untuk dunia usaha.
Enrico menambahkan, stabilisasi rupiah diperlukan untuk menarik investasi portopolio dan penanaman modal asing ke dalam negeri. Kenaikan suku bunga Bank Indonesia yang cukup atraktif berhasil menarik investasi portopolio kembali masuk, bukan investasi asing langsung. Pemerintah mesti fokus menarik penanaman modal asing berorientasi ekspor untuk memperbaiki neraca pedagangan.