BAGHDAD, RABU -- Penurunan harga minyak mengancam APBN dan perekonomian Irak. Padahal, negara itu perlu dana besar untuk pembangunan ulang setelah perang belasan tahun.
Sebanyak 95 persen pendapatan Irak bersumber dari penjualan minyak. Padahal, harga minyak di bursa global terus merosot. Pada Oktober 2018, minyak brent yang jadi acuan harga minyak global bernilai 85 dollar AS per barel. Belakangan, harganya kurang dari 55 dollar AS per barel.
Pemerintah Irak mengusulkan APBN 2019 senilai 111,9 miliar dollar AS dengan prediksi ekspor 3,8 juta barel minyak per hari. Setiap barel diprediksi berharga 56 dollar AS. APBN 2019, yang lebih tinggi 23 persen dibanding 2018, juga mencatatkan defisit 22,8 miliar dollar AS kala diajukan pada Oktober 2018. “Kami dikejutkan kemerosotan harga minyak dan kami menghadai masalah besar. Pemerintah tidak dalam posisi menyenangkan,” kata Ketua Komisi Ekonomi pada parlemen Irak Haneen al-Qado.
APBN 2019 belum bisa banyak berbuat untuk pemulihan pascaperang, padahal, masih banyak kota berantakan. Kementerian Perencanaan Pembangunan Irak memperkirakan diperlukan anggaran hingga 88 miliar dollar AS untuk rekonstruksi. Para negara donor pernah menjanjikan pinjaman dan investasi senilai 30 miliar dollar AS pada Februari 2018. Namun, sampai sekarang, nyaris tidak ada kemajuan berarti pada komitmen yang disampaikan di Kuwait itu.
Qado menyebut tidak ada anggaran selama beberapa waktu di empat bulan pertama 2019. Sampai ada dana, pemerintah hanya bisa membelanjakan maksimal setara 8,3 persen nilai APBN 2018 pada setiap bulannya.
Program pembangunan ulang yang sudah diusulkan dan dicanangkan bertahun-tahun pun tidak mulus. Banyak proyek terhenti di berbagai penjuru Baghdad dan bangunan-bangunan yang tidak selesai.
Proyek macet
Salah satu kontraktor, Kadhim Nima Khudair menandatangani kontrak pembangunan empat sekolah pada 2014. Biayanya mencapai 5 miliar dollar AS. Pada 2015, tiga sekolah sudah selesai 80 persen. Akan tetapi, pendanaan macet karena anggaran tersedot untuk perang melawan Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS). Saat harga minyak membaik pada 2017, pemerintah mulai membayar tagihan kontraktor. Akan tetapi, pembayaran hanya ke proyek yang hampir rampung. Belakangan, pembayaran macet lagi dan pemerintah dengan kontraktor kembali berunding.
Gara-gara proyek sekolah yang tidak rampung-rampung itu, Khudair terlilit utang dan terpaksa memecat 500 pekerja sampai menjual rumah serta mobil. “Saya tidak berpikir untung lagi. Saya hanya mau modal kembali. Kami sudah bersusah payah bertahun-tahun ini. Orang-orang masih mengetuk pintu dan meminta uang mereka,” kata Khudair.
Kepala Komisi Investasi Nasional Sami al-Araji mengatakan, ratusan proyek bernilai 54 miliar AS ditunda. Ia meminta perombakan besar-besar pada perekonomian agar bisa mendorong investasi dan mengurangi ketergantungan pada minyak. “Kami harus memikirkan semua pilihan,” ujarnya.
Menurut dia, sangat mudah menyatakan negara punya kesempatan cerah. Akan tetapi, hal itu sulit dilakukan. Upaya untuk meragamkan perekonomian terus terkendala perselisihan politik dan korupsi yang parah sejak 2003. Kondisi itu dipicu perang dan ketidakstabilan terus menerus. “Takdir kami terikat pada minyak. Saat (harga minyak) turun, tekanan darah kami naik (stres),” kata Khudair. (AP)