Menanti Transformasi Kawasan Fatmawati
Jauh sebelum dilintasi jalur layang kereta cepat (MRT), kawasan Fatmawati telah tumbuh menjadi pusat perkantoran, perdagangan, jasa, dan permukiman. Kini, setelah hampir empat tahun terdampak pembangunan jaringan transportasi massal itu, sejumlah usaha belum pulih geliatnya. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun belum memiliki konsep penataan yang jelas terhadap kawasan ini.
Berada tak jauh dari pusat bisnis dan perkantoran Blok M, kawasan Jalan RS Fatmawati tumbuh menjadi pusat perdagangan dan jasa. Apalagi, di sisi timur kawasan ini juga berbatasan dengan pusat perkantoran Jalan TB Simatupang. Letaknya yang strategis membuat kawasan ini tumbuh padat dengan bisnis yang menggeliat. Sebagian besar warga Jakarta juga mengenal Jalan RS Fatmawati sebagai pusat desain interior. Hal itu lantaran banyaknya pedagang karpet, gorden, mebel, dan perabotan lain di sepanjang jalan ini.
Di pengujung 2018, sebagian jalan rusak di sekitar Jalan Fatmawati Raya mulai pulih kembali setelah dibangun trotoar. Dari sepanjang Blok M ke ITC Fatmawati misalnya, sudah ada jalur trotoar baru yang masih mulus. Trotoar ini sudah menghubungkan antara Blok M dan ITC Fatmawati. Hanya titik di bawah stasiun yang masih belum terbangun trotoar sebab proyek stasiun masih dikerjakan. Namun, lebar trotoar di sepanjang jalur tersebut masih bervariasi, 1-1,5 meter. Jika melihat bangunan Stasiun Blok A yang megah dan besar, misalnya, muncul pertanyaan apakah trotoar selebar 1-1,5 meter itu bisa menampung luapan penumpang yang keluar dari stasiun moda raya terpadu (MRT)?
Pada saat pembangunan jalur layang dan trotoar, sistem drainase juga banyak yang dibongkar. Akhirnya, pada saat musim hujan seperti akhir November lalu, banjir di kawasan Fatmawati cukup tinggi, 80-100 sentimeter. Banyak kendaraan, terutama sepeda motor mogok, saat melintas di kawasan tersebut. Suku Dinas Sumber Daya Air Jakarta Selatan mengaku belum bisa optimal menangani permasalahan banjir di Jalan Fatmawati, Cilandak, Jakarta Selatan. Sebab, banyak saluran air yang terkena proyek infrastruktur MRT. Adapun saluran baru yang dibuat Dinas Bina Marga belum terhubung satu sama lain.
Tingginya genangan di Jalan RS Fatmawati ini juga menjadi perhatian Wali Kota Jakarta Selatan Marullah Matali. Marullah sempat melakukan inspeksi mendadak dan memotong saluran utilitas yang mengganggu saluran air. Marullah ingin jajarannya bertindak tegas terhadap perusahaan pemilik utilitas yang mengganggu saluran air. Ia tidak mau saat hujan lebat arus air terhambat sehingga menimbulkan genangan atau banjir.
”Saya lihat banyak sampah menyumbat saluran dan sampah tersebut menyangkut di kabel-kabel utilitas di dalam saluran. Kami tidak mau ini terjadi lagi,” ujar Marullah, Kamis (13/12/2018).
Dampak ekonomi
Setelah hampir empat tahun terdampak pembangunan MRT, sejumlah toko interior di Jalan RS Fatmawati memilih pindah ke lokasi lain. Beberapa toko yang berdekatan dengan bangunan Stasiun Haji Nawi, misalnya, pindah ratusan meter dari lokasi lama. Di depan Toko Antik Indah terpasang pengumuman bahwa toko pindah sekitar 500 meter ke arah ITC Fatmawati. Ada pula sejumlah toko gorden, lantai, dan interior ruangan yang memilih pindah untuk menghindari dampak pembangunan.
Toko gorden Serba Indah milik Mahesh Lalmalani, misalnya, sudah satu tahun terakhir tutup. Lokasinya persis berada di bawah Stasiun Haji Nawi. Mahesh mengaku harus menutup toko yang sudah beroperasi selama 30 tahun itu karena terus menombok. Ia tidak bisa berjualan karena akses tokonya tertutup proyek pembangunan stasiun. Omzet yang didapatkan tidak cukup untuk membayar listrik, perbaikan, ataupun gaji karyawan. Akhirnya dia memilih pindah berjualan ke lokasi lain di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.
”Saya bahkan sudah mau menjual toko tersebut, tetapi sampai sekarang belum ada yang mau membeli,” ujar Mahesh.
Di toko lain, Al Makkah Carpet, pelanggan setia toko tersebut banyak yang pindah dan beralih. Orang mulai malas mengunjungi kawasan Fatmawati karena jalan menyempit, rusak, dan macet. Ali (40), pemilik toko, mengatakan, dulu pendapatan toko dalam sepekan bisa mencapai Rp 60 juta. Namun, sekarang untuk mencari penghasilan Rp 5 juta saja sulit. Ia harus banyak memutar otak karena harus membayar tiga karyawan. Ia masih memilih bertahan di tempat itu karena sudah telanjur mengontrak tempat selama lima tahun.
”Baru seminggu ini jalan jadi bagus, ada trotoarnya. Kemarin pas jalan rusak orang-orang tidak mau ke sini. Mudah-mudahan ke depan geliat perdagangan bisa pulih,” kata Ali yang berjualan karpet lokal dan impor dari Turki dan Persia itu.
Rajyu Irana (47), pemilik toko interior Fajar Indah, juga sedang mempertimbangkan apakah dia akan berpindah lokasi usaha atau tetap bertahan di Jalan Fatmawati Raya. Selama dua tahun terakhir, ia merasakan perdagangan di lokasinya terus menurun. Akhir tahun ini, kontrak sewa kios akan berakhir. Ia berencana untuk pindah lokasi usaha ke Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang Selatan. Di tempat baru itu, ia berharap penjualannya meningkat mengingat industri properti masih berkembang di kawasan tersebut.
”Dulu, kira-kira omzet per bulan bisa mencapai Rp 150 juta-Rp 200 juta. Sekarang, paling banter hanya Rp 60 juta-Rp 70 juta,” ujar Rajyu.
Karena penghasilannya menurun, Rajyu juga harus mengurangi jumlah karyawan di tokonya. Dari total jumlah karyawan sebanyak enam orang, kini berkurang menjadi dua orang.
Halim (55), pemilik bengkel spesialis kaca film mobil, mengatakan, pekerjaan jalur layang MRT membatasi akses parkir mobil di halaman bengkelnya. Sebelum pekerjaan MRT dimulai, dalam sehari paling tidak ada 4-5 mobil parkir di bengkelnya. Selain memasang kaca film mobil, bengkel yang sudah ada sejak tahun 1988 itu juga melayani servis mobil.
”Ini kan pintu masuk ke bengkel diperkecil karena ada pekerjaan MRT terus dilanjutkan dengan trotoar. Jadi ya lahan untuk parkir mobil berkurang,” kata Halim.
Halim banyak mendengar keluhan dari pelanggan lamanya. Pelanggan enggan datang ke bengkelnya karena jalan macet parah. Selain itu, jalan juga rusak sehingga menyulitkan orang menuju ke sana.
Setelah pekerjaan MRT selesai, ia coba mengontak beberapa pelanggannya supaya mau kembali ke bengkel tersebut. Selain itu, Halim juga menyiasati sepinya bisnis dengan berjualan produk secara daring. Awalnya, usaha daring yang ia rintis cukup menjanjikan. Namun, karena banyaknya pesaing, kini usaha daringnya pun sepi.
”Dulu, sebulan bisa lah dapat Rp 20 juta-Rp 30 juta. Sekarang, dapat Rp 5 juta saja sudah bersyukur. Seminggu ini saja belum ada pelanggan sama sekali,” kata Halim.
Insentif KLB
Pengamat tata kota (planologi), Nur Muhammad Gito Wibowo, mengatakan, selama beberapa tahun, warga dan pengusaha di sekitar Jalan Fatmawati Raya sudah terkena dampak pembangunan MRT. Banyak tempat usaha rusak, harus mundur beberapa meter dari lokasi semula, bahkan harus gulung tikar. Namun, selama ini warga belum mendapatkan sosialisasi yang jelas terkait insentif apa yang mereka dapatkan setelah pembangunan tersebut. Mereka hanya dijanjikan bahwa harga tanah di sekitar jalur transportasi itu naik.
”Warga berhak mendapatkan development right yang di dalamnya terdapat kompensasi kenaikan koefisien luas bangunan (KLB),” kata Gito.
Dalam Pengumuman Gubernur Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemberian Insentif kepada Pemilik Tanah yang Terkena Pembebasan Tanah Proyek Mass Rapid Transit (MRT) 01 Sepanjang Jalan Fatmawati, Kota Jakarta Selatan, kawasan itu masuk dalam teknik pengaturan zonasi (TPZ). Artinya, di tempat tersebut bisa dilakukan perubahan atau penambahan kegiatan dan penambahan luas lantai. Pihak yang bisa mendapatkan insentif itu adalah pemilik lahan yang terkena pembebasan lahan untuk pelebaran jalan, pembangunan rel layang, dan stasiun MRT. Mereka akan diberikan insentif berupa penambahan (KLB) sebesar 1,5.
Kepala Bidang Perencanaan dan Pemanfaatan Ruang Kota (PPRK) Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan DKI Jakarta Heru Sunawa mengatakan, di Fatmawati, pemilik lahan yang terkena pembebasan lahan bisa menaikkan KLB secara mandiri. Adapun mereka yang tidak terkena pembebasan lahan tetapi lokasi rumah atau usahanya ada di pinggir jalan dapat memanfaatkan transfer development right (TDR).
”Mereka yang mendapatkan kode B di peta rencana detail tata ruang (RDTR) bisa menaikkan KLB dengan catatan harus ada kesepakatan dengan warga lain yang masih berada di zona kelurahan yang sama,” kata Heru.
Transformasi kawasan baru
Namun, tampaknya informasi tentang insentif ini belum tersosialisasikan dengan baik di lapangan. Banyak pemilik usaha yang tidak mengetahui akan haknya tersebut. Selain itu, mereka juga memiliki keterbatasan modal sehingga tidak bisa membangun ulang tempat usahanya.
”Bagaimana mau menaikkan lantai bangunan kalau modal saja tidak punya? Selama empat tahun terakhir ini, jualan sepi. Tidak ada modal lagi untuk membangun,” kata Halim, pengusaha bengkel di kawasan Fatmawati.
Padahal, menurut Git, warga bisa membuat kesepakatan dengan cara konsolidasi tanah. Warga yang memiliki hak kenaikan KLB bisa bergabung sehingga mereka bisa membuat usaha bersama yang menguntungkan, misalnya apartemen. Itu bisa direalisasikan dengan konsolidasi lahan 6-7 pemilik tanah. Namun, menurut Gito, tanpa ada badan khusus yang mengawal, konsolidasi lahan ini akan sulit diterapkan di lapangan.
”PT MRT Jakarta bisa jadi pengawalnya. Nanti bisa kerja sama dengan pengembang dari badan usaha milik daerah sehingga hitung-hitungannya jelas,” kata Gito.
Apalagi, dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Pengaturan Zonasi, kawasan Fatmawati tidak masuk kawasan transit oriented development (TOD). Dalam aturan tersebut, kawasan yang masuk TOD adalah Harmoni, Kecamatan Senen, kawasan Grogol, Blok M, segitiga emas Setiabudi, Dukuh Atas, Manggarai, Terminal Pulogebang, dan Stasiun Jatinegara.
Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 44 Tahun 2017 tentang pengembangan kawasan berorientasi transit (TOD) dan Pergub DKI Jakarta Nomor 140 Tahun 2017 tentang operator utama kawasan TOD juga tidak menyebutkan kawasan Fatmawati. Dalam Pergub itu diatur bahwa tahap awal TOD dalam koridor MRT adalah Bundaran HI, Dukuh Atas, Setiabudi, Bendungan Hilir, Istora, Senayan, Blok M, dan Lebak Bulus.
”Fatmawati tidak masuk dalam kawasan TOD karena tidak ada integrasi antarmoda seperti di Blok M. Yang masuk kawasan TOD adalah kawasan Blok M karena ada terminal juga,” kata Heru.
Gito menyayangkan mengapa kawasan Fatmawati tidak masuk dalam kawasan TOD tersebut. Padahal, menurut dia, dengan adanya jalur layang MRT, seharusnya ada perubahan tata ruang kota di wilayah tersebut. Perubahan tata ruang kota itu seharusnya selaras dengan perencanaan transportasi yang ada. Tanpa ada perubahan tata kota yang selaras, keberadaan MRT nantinya tidak akan memberikan perubahan signifikan bagi kawasan tersebut.
”Tata ruang seharusnya sinkron dengan perencanaan transportasi karena yang bisa membantu transportasi beres sebenarnya adalah tata ruangnya,” kata Gito.