Nelayan Pesisir Banten Terpuruk
PANDEGLANG, KOMPAS – Nelayan di pesisir Pandeglang, Banten, terpuruk pascabencana tsunami Selat Sunda. Mereka tidak lagi memiliki penghasilan karena perahu rusak, rumah luluh lantak, serta dibayangi kekhawatiran adanya tsunami susulan. Merdeka berharap ada solusi dari pemerintah.
Di pesisir Kecamatan Labuan dan Panimbang, Pandeglang, belum ada nelayan yang kembali melaut sejak tsunami Selat Sunda menerjang pesisir Banten, Sabtu (22/12/2018) lalu.
Yayat Supriyatna (30), warga Desa Cigondang, Labuan, merupakan salah satu dari ratusan nelayan penyintas tsunami Selat Sunda yang kehilangan tidak hanya kehilangan rumah, tetapi juga pekerjaan. Kapal yang ia gunakan untuk melaut rusak diterjang tsunami.
Yayat menambahkan, kapal itu berkapasitas 5-6 ton. Sekali melaut, ia dan para anak buah kapal bisa membawa pulang 2 ton ikan. Dari aktivitas itu, ia memperoleh total penghasilan sekitar Rp 4-6 juta dalam rentang waktu 22 hari.“Sekarang saya enggak kerja apa-apa. Di pengungsian mengandalkan bantuan uang dan makanan dari keluarga,” kata Yayat, saat ditemui, Rabu (2/1/2019).
Yayat mengatakan, ia pun tidak bisa mencari pekerjaan lain. Lulusan sekolah menengah pertama itu tidak memiliki kompetensi di bidang lain kecuali melaut.
Begitu juga Karmin (41), nelayan dari Desa Teluk, Labuan. Bersama istri dan tiga anaknya, Karmin harus mengungsi lantaran rumah mereka hancur. Hidup mereka pun hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah dan relawan. Ia bekerja sebagai anak buah kapal yang kini sudah rusak. “Saya tidak punya tabungan atau harta benda,” kata Karmin.
Deni (37), nelayan di Desa Panimbang Jaya, Kecamatan Panimbang, juga belum melaut pascatsunami. Dia masih khawatir akan adanya tsunami susulan. Di sisi lain, ia tidak bisa bekerja di darat karena sejak kecil terbiasa menjadi nelayan. “Setelah tsunami ini, kami masih belum berani ke laut," kata Deni.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Deni hanya mengandalkan uang sisa tabungan dan bantuan dari relawan untuk menghidupi istri dan kedua anaknya. “Kalau diirit-irit (tabungan) hanya cukup untuk membeli kebutuhan sehari-hari hingga dua bulan ke depan,” tutur Deni.
Pelelangan ikan terhenti
Tidak adanya pasokan ikan dari nelayan membuat aktivitas di tempat pelelangan ikan terhenti dan perekonomian warga di pesisir lumpuh. Seperti tampak di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Labuan 3, Kecamatan Labuan.
Pengelola TPI Labuan 3 Ujang Samsudin mengungkapkan, dalam kondisi normal setidaknya terjadi transaksi Rp 30 juta per hari. Namun, selama 12 hari ke belakang sama sekali tidak ada transaksi.
Kantor TPI Labuan 3 berada di tepi muara Sungai Cipunten Agung, sekitar 100 meter dari laut. Pada Rabu siang, bangunan itu masih kukuh karena tidak terdampak tsunami. Namun, seluruh bagian ditutup.
Begitu juga kios-kios penjualan ikan di sekitarnya. Tak ada jual beli di sana. Beberapa nelayan datang, hanya untuk bercengkrama dengan rekan seprofesi. Sesekali mereka melihat ke arah bangkai kapal yang menumpuk di Sungai Cipunten Agung.
Pengelola TPI Labuan 1 Didin Nazarudin mengatakan, hal serupa juga terjadi pada nelayan di wilayahnya. Sebanyak 50 kapal milik nelayan Desa Teluk pun sebagian besar rusak. Akibatnya, sekitar 300 nelayan menganggur.
Di TPI Labuan 2, bukan hanya kapal yang rusak, tetapi juga gedung TPI. Sebagian tembok bangunan yang berada 20 meter dari laut itu rusak.
Berhentinya aktivitas nelayan, berdampak pula pada pekerja pengolah ikan asin. Salah satu pengolah ikan asing di Panimbang, Asep (42), biasanya menunggu ikan teri hasil tangkapan bagan apung para nelayan. Namun, hingga saat ini bagan apung para nelayan belum beroperasi. Sebagian di antaranya rusak diterjang ombak.
Ending Bahrudin (60), pedagang ikan di Pasar Labuan, mengatakan, dari dua kapal yang ia miliki, satu di antaranya rusak karena tsunami. Oleh karena itu, ia harus membeli pasokan ikan dari Jakarta.
Namun, pasokan itu juga tak kunjung habis karena sepi pembeli. “Saya memasok dua ton ikan, biasanya habis satu ton per hari, ini sudah lebih dari tiga hari belum habis,” kata dia. Oleh karena itu, omzet tokonya menurun hingga 50 persen. Dalam kondisi normal, ia mampu meraup omzet Rp 20 juta per hari. Kini, paling banyak Rp 10 juta per hari.
Menurut Ujang, perekonomian nelayan semestinya terbantu oleh pemerintah. Sebab, mereka memiliki dana tabungan pangan yang bisa dicairkan setiap tahun. Dana tersebut diambil dari transaksi pelelangan ikan.
Setiap kali lelang, Dinas Kelautan dan Perikanan Pandeglang mengambil bagian 6 persen dari transaksi. Sebanyak 3 persen dari penjual dan 3 persen dari pembeli. Dari total 6 persen itu, 2 persen di antaranya dialokasikan untuk bantuan pangan tahunan bagi nelayan di masa paceklik.
“Tahun ini kami sudah mengajukan ke pemerintah, tetapi belum cair,” kata Ujang. Menurut dia, hal tersebut bukan sekali terjadi. Sejak 2013, bantuan pangan tidak pernah diberikan. Padahal, sebelumnya bantuan selalu lancar.
Secara terpisah, Bupati Pandeglang Irna Narulita mengaku telah berkomunikasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan mengenai mekanisme untuk penggantian kapal yang rusak. Selain itu, ia mengupayakan dana kepedulian sosial dari kementerian atau lembaga lain dapat digunakan untuk hal serupa.
Sebab, kata Irna, dana Pemkab Pandeglang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pemodalan, penggantian kapal maupun hunian. Untuk itu, di tengah pendataan kerusakan yang ditimbulkan tsunami, dia berupaya mencari dukungan dana dari pemerintah pusat. (NIA/PDS/BAY/E10/E17)