Peneliti Asing Tertarik Fenomena Gigitan Ular Pascatsunami
Oleh
J Galuh Bimantara
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Laporan dokter Tri Maharani soal maraknya kasus gigitan ular pascabencana di Selat Sunda merupakan laporan pertama di dunia tentang kasus gigitan ular setelah tsunami. Itu membuat para peneliti luar negeri tertarik mendalaminya.
”Ini sebuah fenomena baru sehingga mereka (para peneliti dan akademisi) sedang berdiskusi, apa yang terjadi sebetulnya,” tutur dokter Tri, pendiri Remote Envenomation Consultancy Services (RECS) Indonesia, Rabu (2/1/2018). Mereka pun mempertimbangkan adanya faktor dugaan perubahan fundamental pada ekosistem ular.
Maharani menceritakan, setelah ia menginformasikan berita soal 14 kasus gigitan ular di Kabupaten Pandeglang, Banten, pascatsunami, peneliti dan akademisi di berbagai belahan dunia menghubunginya untuk meminta informasi lebih lanjut. Mereka di antaranya berasal dari Inggris, Australia, Filipina, Taiwan, Malaysia, Italia, dan Thailand.
Peneliti Thailand secara khusus tertarik karena perusahaan di negara ini memproduksi serum anti bisa ular (SABU) monovalen khusus ular tanah (Calloselasma rhodostoma), jenis ular yang dilaporkan menyerang di Kabupaten Pandeglang, Banten, pascatsunami.
Sudah ada produsen dalam negeri yang menghasilkan SABU, tetapi itu polivalen (untuk mengobati gigitan lebih dari satu jenis ular) untuk penanganan gigitan ular kobra (Naja sputatrix), welang (Bungarus fasciatus), dan ular tanah. Efektivitas serum polivalen lebih rendah dibandingkan yang monovalen.
Maharani menyebutkan, Chief Executive Officer Global Snakebite Initiative David Williams pun sudah mengontak dia dan menanyakan jika Indonesia memerlukan bantuan terkait penanganan kasus.
Berdasarkan laporan Maharani, 14 kasus gigitan ular di Kabupaten Pandeglang terjadi selama rentang 22-31 Desember 2018. Rinciannya, ada 3 kasus ditangani di Puskesmas Munjul, 2 kasus di Puskesmas Labuhan, 1 kasus di Puskesmas Panimbang, 4 kasus di Puskesmas Cibitung, 1 kasus di Rumah Sakit Umum Daerah Berkah, serta 3 kasus di puskesmas lain.
Maharani, yang juga Kepala Departemen Instalasi Gawat Darurat RS Umum Daha Husada Kediri, Jawa Timur, sudah memprediksi akan ada kasus gigitan ular pascatsunami Selat Sunda. Daerah Pandeglang memang kantong populasi ular tanah. Karena habitat mereka terganggu akibat bencana, kemungkinan berjumpa manusia lebih besar. Apalagi, ada perkebunan kelapa sawit di Pandeglang. Ular tanah banyak terdapat di kebun sawit mengingat mangsanya, tikus, juga melimpah di sana.
Sebelumnya, Maharani mencatat ada lima kasus gigitan ular hijau yang dilaporkan terjadi pascagempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang diawali dengan gempa bermagnitudo 6,4 pada 29 Juli 2018. Ia juga menyebutkan, ada kasus gigitan ular hijau pascaerupsi Gunung Agung di Bali dan Gunung Merapi tahun 2018, serta gigitan ular tanah di Sampang, Jawa Timur, pascabanjir tahun 2015.
Catatan-catatan itu menunjukkan, pentingnya penelitian tentang hubungan antara potensi kasus gigitan ular dan bencana di Indonesia. ”Apalagi, Indonesia masuk kawasan cincin api,” ujar Maharani.
Dalam keterangan dari Kementerian Kesehatan menanggapi laporan kasus gigitan ular tersebut, Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes dokter Achmad Yurianto mengimbau para penyintas tsunami Selat Sunda untuk berhati-hati saat akan bersih-bersih rumah mereka. ”Karena tsunami, sarang ular terusik dan ular pun menyebar, berpindah tempat ke tumpukan sampah atau puing,” katanya.
Yurianto meminta warga untuk tidak langsung menggunakan tangan saat bersih-bersih, tetapi menggunakan kayu dahulu untuk memastikan tidak ada ular. Setelah itu, warga baru bisa menggunakan tangan.
Jika telanjur tergigit ular, kata Yurianto, hal yang harus dilakukan adalah tenang dan istirahat, memasang bidai guna meminimalkan gerakan, lalu korban dibawa ke pelayanan kesehatan terdekat, seperti puskesmas dan rumah sakit. ”Jangan bawa ke dukun, diisap atau disedot, ditoreh atau dikeluarkan darahnya, dipijat, diikat, dan jangan menggunakan obat herbal,” katanya.
Maharani mengatakan, keempat belas pasien gigitan ular di Pandeglang merupakan warga setempat. Untungnya, tidak ada sukarelawan yang menjadi korban gigitan karena setiap kali beroperasi membantu pembersihan puing atau pencarian dan evakuasi korban, sukarelawan mengenakan alat pelindung diri seperti sepatu bot dan sarung tangan.
Itu menunjukkan, para sukarelawan di sana profesional. Maharani berharap agar sukarelawan yang berangkat untuk bertugas di lokasi bencana lainnya juga punya bekal keterampilan. Jika tidak profesional, sukarelawan justru berpotensi menjadi korban juga, termasuk korban gigitan ular.