Dua Sisi Penekan Angka Inflasi
Selain harga yang terkendali, konsumsi yang stagnan memengaruhi inflasi tahun lalu yang tercatat 3,13 persen.
JAKARTA, KOMPAS Badan Pusat Statistik mencatat, inflasi Januari-Desember 2018 mencapai 3,13 persen. Angka ini lebih rendah daripada inflasi 2017 sebesar 3,61 persen meski dalam rentang inflasi yang ditargetkan pemerintah, yakni 2,5-4,5 persen.
Sejumlah pihak menilai rendahnya inflasi menunjukkan keberhasilan pengendalian harga oleh pemerintah, terutama harga bahan kebutuhan pokok. Namun, sebagian orang menyoroti kecenderungan melambatnya permintaan serta stagnannya pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
Meski harga dikendalikan, Kepala BPS Suhariyanto saat memaparkan data inflasi 2018 di Jakarta, Rabu (2/1/2019), menyebutkan, penyumbang terbesar inflasi 2018 tetap kelompok bahan makanan dengan kontribusi 0,68 persen. Komoditas yang dominan menyumbang inflasi antara lain bensin, beras, rokok, daging ayam ras, dan ikan segar.
Ekonom Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro, berpendapat, koordinasi antara pemerintah dan Bank Indonesia dalam mengendalikan inflasi sudah tepat. Pengendalian harga yang berorientasi pada suplai dan komponen harga bergejolak mampu menekan laju inflasi dari tahun ke tahun.
Adapun Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah Redjalam mengatakan, rendahnya inflasi dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, konsistennya upaya menjaga harga kebutuhan pokok, dan kedua, pengendalian harga dibarengi pertumbuhan konsumsi yang relatif landai, yakni sekitar 5 persen. ”Kombinasi keduanya menyebabkan inflasi sangat rendah,” ujarnya.
Namun, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menyampaikan, rendahnya inflasi bukan disebabkan turunnya daya beli masyarakat. Sebab, ketika harga tetap naik, berarti permintaan tumbuh.
Pada triwulan III-2018, menurut data Kementerian Keuangan, konsumsi rumah tangga dan lembaga nonprofit rumah tangga tumbuh 5,08 persen. Angka itu naik sedikit dibandingkan triwulan III-2017 sebesar 4,95 persen.
Pelambatan
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, lebih menyoroti melambatnya pertumbuhan komponen inflasi inti dari 3,95 persen pada tahun 2015 menjadi 3,07 persen pada tahun 2018. Pelambatan komponen inflasi inti mencerminkan pelambatan permintaan yang merefleksikan daya beli masyarakat.
Menurut Rusli, pengeluaran tercatat menurun, terutama pada kelompok 20 persen masyarakat berpengeluaran tinggi (kelompok atas). Proporsi pengeluaran kelompok atas ini turun dari 48,25 persen (2015) menjadi 46,09 persen (2018) karena menahan konsumsi.
Sementara porsi pengeluaran 40 persen kelompok menengah dan 40 persen kelompok rendah meningkat dari 1,97 persen menjadi 0,19 persen. ”Peningkatan itu lebih karena sokongan bantuan sosial dari pemerintah,” ujarnya.
Idealnya, kata Rusli, pengeluaran dua kelompok itu tidak bergantung pada bantuan pemerintah. Stimulusnya lebih pada kebijakan struktural yang menopang pendapatannya.
Tantangan
Kendati inflasi masih dalam batas aman, pemerintah dinilai perlu mewaspadai inflasi tahun ini. Tantangan untuk menjaga inflasi terutama dari tekanan terhadap rupiah, keterbatasan pasokan minyak akibat pengurangan produksi minyak dunia, serta cuaca ekstrem.
Proyeksi Bank Dunia, tim ekonom Bank Mandiri, Indef, dan CORE yang dihimpun Kompas, inflasi 2019 diproyeksikan 3,5-4 persen. Adapun dalam asumsi makro APBN 2019, inflasi ditargetkan berkisar 2,5-4,5 persen.
Bank Dunia dalam laporan perkembangan triwulanan perekonomian Indonesia menyebutkan, kenaikan inflasi 2019 akan disertai penguatan konsumsi karena peningkatan belanja sosial dan pasar tenaga kerja. Namun, investasi belum pulih karena investor cenderung menahan diri hingga momen pemilu selesai.
Piter menyebutkan, keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) akan berdampak pada hampir semua komponen, mulai dari makanan sampai transportasi. Pemerintah hanya kuat menahan kenaikan harga BBM jika harga minyak dunia stabil di bawah 50 dollar AS per barel.
Kepala Ekonom dan Riset PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja pun mengatakan, inflasi yang terjaga di level 3 persen dapat lebih memberikan kepastian bagi investor untuk masuk ke dalam negeri.
(KRN/DIM/JUD)