Hunian Sementara di Pandeglang Ditarget Rampung Dua Bulan
Oleh
Harry Susilo
·4 menit baca
PANDEGLANG, KOMPAS – Pemerintah memastikan akan membangun 1.071 unit hunian sementara untuk penyintas bencana tsunai Selat Sunda di Pandeglang, Banten. Pembangunan hunian sementara ditargetkan rampung dalam dua bulan.
Bupati Pandeglang Irna Narulita mengungkapkan, terdapat 1.071 rumah rusak sedang, berat, dan hilang akibat tsunami Selat Sunda di Pandeglang yang akan digantikan hunian sementara (huntara). Lokasi huntara berada dalam radius 500 meter dari garis pantai yang dipertimbangkan sebagai jarak aman dari bencana.
"Kami mengupayakan pembangunan hunian sementara secara bertahap sesuai instansi yang membangun. Sembari menanti pembangunan huntara, pengungsi akan menetap di tenda representatif dalam waktu dua bulan," ujar Irna Narulita, saat ditemui di Kecamatan Labuan, Pandeglang, Kamis (3/12/2018) sore.
Lahan yang digunakan untuk membangun huntara merupakan milik pemerintah kabupaten maupun perorangan. Adapun tanah perorangan yang digunakan harus melalui kesepakatan sehingga tidak menimbulkan persoalan selama masa pakai enam bulan sampai dua tahun.
Irna mengatakan, pembangunan dimulai pada Minggu (6/1/2019) atau sehari berselang setelah masa tanggap darurat berakhir. Pembangunan huntara ditargetkan rampung pada awal bulan Maret mendatang. Huntara tersebut ada yang dibangun Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau beberapa lembaga lain. Kementerian Badan Usaha Milik Negara misalnya, siap membangunan 100 huntara di Kecamatan Sumur.
Fase transisi darurat
Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Harmensyah menjelaskan, masa tanggap darurat bencana tsunami Selat Sunda yang berakhir pada Sabtu (5/1/2019) akan dilanjutkan dengan fase transisi darurat selama dua bulan untuk pembangunan huntara sekaligus membangun sekolah darurat.
Harmensyah mengatakan, fase transisi darurat ini dibuat agar ada kejelasan terkait legalitas penggunaan dana siap pakai untuk pembangunan huntara dan sekolah darurat. "Kalau menggunakan dana siap pakai atau dana tak terduga dari pemerindah daerah, statusnya harus tetap ada supaya aspek legalnya jelas," tuturnya.
Harmensyah mengatakan, lokasi pembangunan huntara harus dipastikan jauh dari pantai sehingga aman. Adapun hunian tetap akan dibangun setelah pembangunan huntara selesai. Lokasi hunian tetap berbeda dengan huntara. "Ketika hunian tetap selesai dibangun, maka huntara dibongkar," ujar Harmensyah.
Komandan Komando Resort Militer 064/Maulana Yusuf Serang Kolonel (Inf) Windiyatno mengatakan, personel TNI TNI siap membantu pembangunan huntara jika bentuk desain rumah, bahan material, dan lahan sudah jelas. TNI dalam membangun huntara hanya akan bekerja jika kebutuhan bangunan telah tersedia atau disiapkan.
Menurut Windiyatno, huntara berukuran sekitar 4,5 meter x 4,5 meter, belum termasuk sanitasi. “Kalau semua bahan bangunan dan tenaga kerja siap, maka dalam sehari bisa dibangun sekitar sembilan huntara oleh satu peleteon berisi 30 orang," kata Windiyatno.
Secara terpisah, Gubernur Banten Wahidin Halim menyatakan, selain pembangunan huntara, pemerintah juga akan memperhatikan nasib nelayan yang kehilangan penghasilan karena kapal mereka rusak akibat tsunami. Data pengungsi juga akan terus dimutakhirkan agar bantuan tepat sasaran.
Belum tahu
Kendati demikian, masih banyak warga yang belum mengetahui informasi mengenai huntara.Zaenal (53), warga Kampung Lentera, Desa Cigondang, Kecamatan Labuan, belum mengetahui informasi terkait relokasi dan huntara. Ia masih tinggal di rumah temannya yang jauh dari pantai. "Rumah saya sudah hancur dan tidak ada yang tersisa," kata Zaenal, saat ditemui, Kamis (3/1/2019).
Ia pun hanya mengandalkan bantuan dari relawan untuk bertahan hidup. Namun, Zaenal mau pindah apabila pemerintah merelokasi ke lokasi lain. Ia masih trauma tinggal di bibir pantai. Adapun kampung Lentera berada sekitar 5 meter dari bibir pantai.
Tetangga Zaenal, Darto (40) juga mau direlokasi ke huntara karena lebih nyaman dibanding posko pengungsian. "Di sini zona merah, sehingga tidak mungkin lagi ditempati," ujar Darto. Untuk sementara, ia mengungsi ke tempat saudaranya. Darto enggan tinggal di posko pengungsian karena memiliki balita, sehingga butuh tempat yang nyaman dan tenang.
Selain itu, sejumlah warga lain juga berharap, pembangunan huntara mempertimbangkan akses warga untuk bekerja. Was An (35), warga Kampung Nelayan 2, Desa Teluk, berharap huntara dibangun di dekat sungai untuk memudahkan dirinya memarkir kapalnya. Ia enggan mencoba pekerjaan lainnya karena sejak kecil sudah bekerja sebagai nelayan. (BAY/PDS/NIA/E10/E17)