Indonesia Selidiki Program Kuliah Magang di Taiwan
JAKARTA, KOMPAS - Kantor Dagang Ekonomi Indonesia atau KDEI di Taipei, Taiwan menyelidiki program kuliah dan magang di universitas-universitas negeri itu. Ada indikasi terjadinya pelanggaran aturan kerja pada program itu. Pemerintah Indonesia memutuskan menghentikan perekrutan dan pengiriman pelajar Indonesia hingga mekanisme program menjadi lebih jelas.
Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Taiwan, Sutarsis saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (3/1/2019), mengatakan, dugaan pelanggaran masih diselidiki lebih lanjut oleh PPI bersama KDEI (Kantor Dagang Ekonomi Indonesia) di Taipei.
“Dari keterangan para mahasiswa, ada dua universitas yang mempekerjakan mereka melebihi batas waktu yang ditentukan. Tetapi, mereka mengaku jam kerja lebih tersebut tetap dibayar,” kata Sutarsis.
Para mahasiswa itu mengikuti program Industrial Academia Collaboration, salah satu program legal dibawah kebijakan New Southbound Policy (NSP) Taiwan. Sebagai catatan, ada 69 universitas yang mengikuti program tersebut.
Sejumlah universitas fokus menjaring pelajar dari Indonesia. Beberapa di antaranya TransWorld University, Cheng Shiu University, Chia Nan University of Pharmacy and Science, Chien Hsin University of Science and Technology, Lunghwa University of Science and Technology, dan Hsing Wu University.
Dalam program itu, ada ketentuan magang atau kerja maksimal 20 jam per minggu setelah tahun pertama. Program magang akan memberikan gaji kepada mahasiswa yang akan digunakan untuk biaya hidup dan kuliah.
Menurut Sutarsis, berdasarkan penyelidikan, mahasiswa yang telah bekerja merupakan angkatan pertama dari program yang telah diselenggarakan sejak 2017 itu. Sejauh ini, terdapat empat angkatan mahasiswa yang mengikuti program.
Para mahasiswa rata-rata dibayar sebesar 11.000 dollar Taiwan Baru atau Rp 5,1 juta per bulan untuk 20 jam kerja per minggu. Mahasiswa dari Hsing Wu University, misalnya, menerima gaji 9.000-11.000 dollar Taiwan Baru per bulan untuk 20 jam kerja per minggu. Mereka menerima uang lembur sebesar 200 dollar Taiwan baru atau Rp 93.000 per jam.
Sebagai perbandingan, pekerja migran Indonesia sebagai asisten rumah tangga menerima gaji sekitar 25.000 dollar Taiwan Baru atau Rp 11,6 juta dan pekerja pabrik lebih dari 30.000 dollar Taiwan Baru atau Rp 14 juta untuk 48 jam kerja per minggu.
Dari gaji mereka, sebagian mahasiswa memanfaatkannya untuk membayar biaya kuliah, asrama, asuransi kesehatan, biaya agen perantara, dan biaya hidup. “Mereka boleh tidak bekerja pada tahun pertama selama mereka memiliki biaya. Temuan kami adalah angkatan pertama bekerja paruh waktu pada tahun pertama karena belum boleh magang,” ucap Sutarsis.
Pekerjaan paruh waktu dilakukan di berbagai perusahaan, termasuk perusahaan yang akan menjadi lokasi pemagangan di tahun berikutnya.
Tidak rinci
Sutarsis melanjutkan, para mahasiswa tahu akan mengikuti program kuliah sambil magang dan tidak menerima beasiswa. Sekalipun ada, hanya beberapa universitas yang memberikan beasiswa selama 6 bulan hingga 1 tahun.
Menurut dia, para mahasiswa tersebut tidak mengetahui aturan program kolaborasi industri dan akademi secara rinci setelah tiba di Taiwan. Misalnya, mereka akhirnya kuliah tidak sesuai dengan jurusan yang dipromosikan oleh agen perantara.
Mahasiswa juga menyanggupi bekerja tanpa mengetahui jenis pekerjaan yang akan dilakukan. Aturan terkait pekerjaan dan fasilitas kerja, termasuk am kerja, tidak dijelaskan sebelum program dimulai.
Koordinator PPI Dunia 2018-2019 Fadjar Mulia Para menambahkan, PPI Taiwan telah menerima laporan dan melakukan investigasi terkait program magang-kerja selama satu tahun terakhir. “Laporan sudah diberikan ke pihak perwakilan dagang Indonesia di Taipei. Harapannya kasus ini bisa diteruskan ke Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi,” ucapnya.
Dengan semakin bertambahnya jumlah pelajar di Taiwan, tuturnya, perlindungan para warga negara di negara itu menjadi krusial. Apalagi, Indonesia tidak memiliki kedutaan besar di negara tersebut karena tidak memiliki hubungan diplomatik langsung dengan Taiwan.
Menurut Fadjar, mahasiswa Indonesia juga perlu lebih jeli dalam membaca informasi mengenai profil dan program universitas yang akan dilamar. Ini karena tidak semua universitas yang berada di luar negeri lebih baik dari universitas yang ada di Indonesia.
Lindungi warga
Juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Arrmanatha Nasir mengatakan, pemerintah mendapat laporan terkait masalah tersebut dari KDEI. “Otoritas di Taiwan juga telah diminta untuk melindungi kepentingan dan keselamatan para mahasiswa,” tutur Arrmanatha.
Saat ini, kurang lebih 6.000 mahasiswa Indonesia bersekolah di Taiwan. Sekitar 1.000 mahasiswa ikut dalam skema kuliah-magang di delapan universitas yang masuk ke Taiwan pada periode 2017-2018.
Direktur Pengelolaan Kekayaan Intelektual Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Sadjuga tidak menampik program kuliah dan magang ini merupakan salah satu cara bagi Taiwan untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah dan berkualitas.
Menurut Sadjuga, negara maju biasanya kekurangan tenaga kerja terampil. Sedangkan negara berkembang memiliki tenaga kerja muda yang ingin memperoleh pendidikan tinggi, tetapi tidak punya biaya.
“Sebenarnya tidak ada yang salah karena segala peluang harus dieksplorasi dari pihak pencari ilmu dan pencari tenaga kerja,” katanya. Hal yang paling penting adalah program tersebut perlu dipantau agar tidak terjadi eksploitasi.
Sebelumnya, dikutip dari Taiwan News, beredar informasi enam universitas di Taiwan mempekerjakan 300 mahasiswa Indonesia dengan usia di bawah 20 tahun di sebuah pabrik lensa kontak selama 40 jam per minggu.
Mereka dapat mengemas 30.000 lensa kontak selama 10 jam dalam satu shift. Pihak universitas menyatakan kepada para mahasiswa, perusahaan tak akan bekerja sama dengan sekolah jika mereka tidak bekerja.
Politisi dari Partai Kuomintang, Ko Chih-en menyebutkan, dalam satu temuan, para pelajar hanya boleh mengikuti perkuliahan selama dua hari dan mendapat satu hari libur dalam satu pekan. Mahasiswa tersebut datang ke Taiwan pada pertengahan Oktober 2018.
Padahal, Kementerian Pendidikan Taiwan melarang mahasiswa tahun pertama untuk melakukan pemagangan. Direktur Departemen Teknologi dan Pendidikan Vokasional Kementerian Pendidikan Taiwan Yang Yu hui menyampaikan, setelah tahun pertama, mahasiswa tidak boleh bekerja lebih dari 20 jam per minggu berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan di Taiwan.