Kasasi KLHK Dikabulkan MA, Pemerintahan Joko Widodo Memang Beda
Oleh
Rini Kustiasih/Hamzirwan Hamid
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Langkah Mahkamah Agung mengabulkan kasasi yang diajukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam perkara kerusakan hutan yang melibatkan PT National Sago Prima di Riau diapresiasi kelompok masyarakat sipil. Organisasi nonpemerintah, Greenomics Indonesia, mengapresiasi putusan MA dan menyatakan hal ini memberi optimisme besar terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla karena menunjukkan sikap pemerintah yang berbeda dengan pemerintahan sebelumnya terhadap perusak lingkungan.
”Langkah hukum secara masif terhadap korporasi skala besar terkait penegakan hukum Karhutla, termasuk di antaranya penegakan hukum terhadap pembukaan gambut baru yang belum pernah dilakukan oleh rezim pemerintahan sebelumnya. Ini yang membedakan pemerintahan Joko Widodo dengan rezim-rezim sebelumnya. Ini salah satu yang paling penting untuk kita apresiasi,” kata Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Vanda Mutia di Jakarta, Kamis (3/1/2019).
Vanda mengatakan, dikabulkannya permohonan kasasi yang diajukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait keberanian dan ketegasan Menteri LHK Siti Nurbaya. Siti mengambil langkah hukum tersebut terhadap korporasi-korporasi berskala besar yang lalai dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan di dalam konsesi mereka.
Dalam perkara itu, MA mengabulkan gugatan KLHK sebesar Rp 1 triliun terhadap perusahaan swasta tersebut. Putusan perkara Nomor 3067 K/PDT/2018 itu diunggah di situs MA, Rabu (2/1/2018). Majelis hakim kasasi dipimpin oleh Ketua Kamar Perdata MA Soltoni Mohdally, dan dua anggota, yakni Hamdi, dan Yunus Wahab.
Dalam pertimbangannya, majelis menilai perusahaan harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang terjadi di atas lahan yang diolahnya. ”Perusahaan telah memeroleh izin pengelolaan lahan hutan, sehingga sesuai dengan prinsip strict liability, perusahaan harus bertanggung jawab atas risiko kerusakan atas kerusakan yang terjadi di lahan tersebut,” kata Andi.
”Majelis dalam pertimbangannya membebankan perusahaan selaku pihak tergugat untuk membayar ganti rugi untuk pemulihan keadaan lingkungan yang terbakar, atau melakukan rehabilitasi lingkungan,” kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro, Rabu.
Putusan MA itu selanjutnya bisa dieksekusi bila telah dikirim ke pengadilan pengaju, yakni Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sesuai dengan prinsi dalam perkara perdata, putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap itu baru bisa dieksekusi bila pihak penggugat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan, kecuali tergugat secara sukarela mau melaksanakan putusan kasasi itu tanpa melalaui eksekusi oleh pengadilan.
Andi mengatakan, MA memerhatikan dalam isu-isu kerusakan lingkungan hidup, karena problem lingkungan menjadi salah satu persoalan krusial di Tanah Air. Setiap perkara terkait dengan lingkungan hidup akan ditangani dengan profesional oleh hakim-hakim yang bersertifikasi, atau memiliki keahlian khusus dan sertifikasi di bidang hukum lingkungan hidup.
”Hakim yang menangani perkara lingkungan hidup adalah mereka yang memiliki sensistivitas tinggi terhadap lingkungan hidup. MA melakukan sertifikasi kepada mereka, sama derajatnya dengan sertifikasi pada hakim khusus tindak pidana korupsi, dan kejahatan di bidang perikanan,” katanya.
Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Henri Subagiyo mengatakan, putusan MA terhadap PT National Sago Prima (NSP) itu menambah panjang daftar kemenangan KLHK dalam gugatan hukum terkait dengan kerusakan lingkungan dan kebakaran hutan. Dari catatan ICEL, KLHK telah memenangi sembilan perkara perdata dalam kerusakan lingkungan dan kebakaran hutan. Total ganti rugi yang dibebankan pengadilan kepada perusahaan-perusahaan yang menimbulkan kerusakan lingkungan itu bernilai sedikitnya Rp 18 triliun.
”Ini menjadi momentum bagi KLHK untuk segera mendesak pengadilan-pengadilan negeri tempat perkara itu diajukan untuk segera mengeksekusi putusan pengadilan. Tujuannya supaya ganti rugi yang dibebankan kepada perusahaan itu bisa segera direalisasikan untuk perbaikan lingkungan yang telah rusak,” kata Henri.
Dari catatan ICEL, sebanyak sembilan perkara yang dimenangi KLHK itu baru sebagian kecil saja yang dimohonkan eksekusinya oleh KLHK. Tindakan cepat perlu dilakukan oleh KLHK sehingga kerusakan lingkungan itu bisa segera diatasi dan kemenangan di pengadilan itu tidak hanya menjadi kemenangan di atas kertas semata.
”Kalau tidak melakukan eksekusi, sama saja pengadilan meremehkan putusan mereka sendiri. Menteri KLHK juga sebaiknya segera berkoordinasi dengan Ketua MA, untuk mengimbau atau mengingatkan ketua-ketua pengadilan tempat perkara itu dimenangkan agar segera melakukan eksekusi. Dari cacatan kami, baru dua perkara yang dimohonkan eksekusi, yakni kasus PT Callista Alam di PN Meulaboh, di Aceh, serta kasus PT Merbau Pelelawan Lestari (MPL) di PN Pekanbaru,” kata Henri.
Belum dilakukan
Sayangnya, kendati eksekusi terhadap dua perusahaan tersebut juga belum dilakukan sampai saat ini kendati permohonan eksekusi telah diajukan kepada pengadilan setempat. Menurut Henri, KLHK harus bertindak cepat dengan mendesak MA agar putusan-putusan pengadilan itu tidak sekadar kemenangan di atas kertas, dan tidak bisa dieksekusi di lapangan.
Pengamat hukum lingkungan dari Universitas Sahid, Wahyu Nugroho, mengatakan, KLHK selaku penggugat perdata yang mewakili negara memiliki hak penuh untuk menuntut eksekusi atas putusan hakim yang berkekuatan hukum itu. ”Jangan sampai terulang kembali kasus PT Kallista Alam di Aceh, yakni ketika mereka menggugat balik, dan dimenangkan di PN Meulaboh. Ada problem dalam putusan PN Meulaboh itu yang seolah menganulir putusan MA sebelumnya yang membebankan ganti rugi kepada perusahaan tersebut,” katanya.
”Ditambah lagi pertanggungjawaban pidana korporasi dan dasar strict liability sebagai asas yang paling ampuh untuk memerangi korporasi pembakar hutan. Menjalankan putusan pengadilan adalah bagian dari komitmen negara untuk taat terhadap konstitusi dan negara hukum,” ujar Wahyu.