Musim Dingin Masih Panjang
Menapaki 2019 ibarat memasuki lorong ketidakpastian yang tak berkesudahan. Turbulensi ekonomi semakin kuat tatkala hubungan antarnegara maju kini terlihat seperti Game of Thrones.
Lalu, bagaimana kita bertahan di musim dingin pada tahun-tahun mendatang?
Harus diakui, ungkapan ”winter is coming” yang dikatakan Eddard Stark dalam salah satu adegan serial televisi Game of Thrones musim pertama cukup relevan menggambarkan kondisi perekonomian global 2018 dan 2019. Eddard Stark, salah satu tokoh utama yang juga pemimpin Stark Houses, memaknai kedatangan musim dingin sebagai peringatan untuk meningkatkan kewaspadaan.
Perilaku negara-negara ekonomi maju kini ibarat The Great Houses yang bersaing sengit merebut The Iron Throne sepanjang musim dingin pada abad pertengahan. Tahun 2018, yang semula disebut sebagai tahun pemulihan ekonomi global, kenyataannya dibuka dengan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, pada Maret. Suku bunga The Fed diperkirakan masih akan naik pada tahun ini dan 2020.
Kebijakan normalisasi moneter AS berimplikasi pada arus modal keluar, pelemahan mata uang banyak negara, dan krisis keuangan di beberapa negara berkembang. Ancaman musim dingin juga datang dari dinamika perang dagang antara AS dan China yang rumit dan penuh intrik. Konflik dagang dua kekuatan ekonomi terbesar dunia ini berdampak luas. Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan mengoreksi pertumbuhan volume perdagangan global pada 2019 menjadi 4 persen.
Di sisi lain, perkembangan teknologi yang pesat membuat banyak industri terguncang. Kinerja pasar global sepanjang 2018 juga dipengaruhi dinamika geopolitik di kawasan Timur Tengah, termasuk kasus pembunuhan wartawan Jamal Khashoggi, penangkapan Direktur Keuangan Huawei Technologies Meng Wanzhou, drama politik kesepakatan Brexit, kerusuhan di Paris, serta krisis keuangan di negara-negara berkembang, seperti di Turki dan Argentina.
Nyaris sepanjang 2018, turbulensi kuat menerpa perekonomian Indonesia. Pada Januari-Oktober, arus modal keluar dari investasi portofolio mencapai 1,9 miliar dollar AS, tingkat bunga surat utang pemerintah naik 2,3 persen menjadi 8,7 persen, cadangan devisa terkuras 17 miliar dollar AS, dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terdepresiasi 12 persen.
Dampak turbulensi diperkecil melalui penguatan konsolidasi fiskal. Tahun lalu, tidak ada APBN Perubahan kendati asumsi makro jauh dari perkiraan. Kementerian Keuangan berupaya mengarahkan keseimbangan primer surplus pada 2020.
Sejumlah ekonom dari dalam dan luar negeri berpendapat, fundamen ekonomi Indonesia cukup kuat sehingga tidak mengalami krisis seperti negara-negara berkembang lain. Hal ini tecermin antara lain dari inflasi yang rendah, cadangan devisa yang mencukupi, serta ekspor-impor yang tumbuh.
Sentimen
Namun, sentimen negatif bersumber dari defisit transaksi berjalan. Transaksi berjalan triwulanan mulai defisit sejak triwulan IV-2011, sebesar 1,6 miliar dollar AS. Jika diakumulasi, defisit transaksi berjalan triwulan I, II, dan III 2018 mencapai 22,53 miliar dollar AS. Angka ini melampaui defisit transaksi berjalan 2015 yang sebesar 17,5 miliar dollar AS, tahun 2016 sebesar 17 miliar dollar AS, dan tahun 2017 sebesar 17,33 miliar dollar AS.
Sejatinya, defisit transaksi berjalan bukan masalah jika transaksi modal dan finansial surplus cukup besar. Menurut Bank Dunia, pertumbuhan ekspor yang lambat dan investasi asing langsung yang terbatas membuat Indonesia sangat bergantung pada investasi portofolio. Investasi langsung Indonesia sekitar 1,7 persen dari produk domestik bruto (PDB), relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Dengan akar masalah yang sudah jelas itu, apakah langkah pemerintah sudah tepat? Yang pasti, transaksi berjalan tahun ini dipastikan tetap defisit.
Tahun politik
Tahun 2019 adalah tahun politik yang diwarnai dengan pemilu. Penyelenggaraan pemilu di Indonesia juga disorot dunia internasional. The Economist menyajikan satu artikel berjudul ”Jokowi vs Prabowo: Indonesia picks its president” dalam edisi tahunan ”The World in 2019”. Kesuksesan pemilu akan sangat memengaruhi stabilitas perekonomian domestik masa depan.
Pada 2019, ada beberapa kebijakan yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Dari sisi APBN, pendapatan negara ditargetkan Rp 2.165,1 triliun. Untuk pertama kalinya, pemerintah mengalokasikan dana bantuan kelurahan Rp 3 triliun untuk 8.122 kelurahan. Anggaran perlindungan sosial juga melonjak dari Rp 291,7 triliun (2018) menjadi Rp 385,2 triliun.
Dinamika dalam penyusunan APBN 2019 mesti dikembalikan ke kodratnya sebagai instrumen untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dinamika global semakin menantang, pemerintah berkewajiban melindungi seluruh rakyatnya. Setiap rupiah yang dibelanjakan pemerintah harus menghasilkan dampak yang dapat dipertanggungjawabkan.
Stabilitas
Ancaman musim dingin membuat IMF mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2019 dari 3,9 persen menjadi 3,7 persen. Langkah yang sama dilakukan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), dari 3,9 persen menjadi 3,5 persen.
Indonesia menghadapi tantangan yang semakin kompleks dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi. Momentum pemulihan pertumbuhan ekonomi pada 2018 ternyata dibarengi dengan gelombang ketidakpastian yang kian kompleks. Kebijakan pun diarahkan ke stabilitas ketimbang pertumbuhan.
Dengan segala situasi ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 diperkirakan nyaris sama dengan 2018. Bank Dunia memperkirakan 5,2 persen. Sejumlah ekonom menyebutkan, tanpa inovasi dan realisasi hilirisasi, PDB 2019 hanya tumbuh 5,2 persen. Sementara itu, pemerintah dan DPR menargetkan 5,3 persen.
Ketidakpastian masih membayangi, sama seperti yang dijanjikan Game of Thrones pada setiap musimnya. Namun, bukankah ekonomi adalah soal pilihan? Tetap menunggu atau justru mencari peluang di tengah dinamika perekonomian global. Ingat, negara lain juga berlari dan berinovasi. Jangan sampai kita tertinggal.