”Anak Ondel”, Kisah yang Tersisa dari Pesta Pergantian Tahun
Cahaya kembang api berpendar di langit Ibu Kota tepat pukul 00.00, Selasa (1/1/2019). Berselang 30 menit, ingar bingar dentuman kembang api dan suara terompet berganti hening. Satu per satu pengunjung meninggalkan Bundaran HI. Pesta telah usai.
Ketika pengunjung membubarkan diri, langkah Rizky (14) justru bergerak cepat menuju sisa-sisa kerumunan. Ia berjalan dari Bundaran HI hingga ke Sarinah. Sepanjang jalan, tangannya tak henti mengulurkan kaleng bekas cat ke arah pengunjung.
Sesekali Rizky mesti berhenti untuk melayani permintaan foto pengunjung. Setelah puas berfoto, kebanyakan pengunjung memberikan Rp 2.000.
”Alhamdulillah, saya dapat berapa saja yang penting bersyukur,” ujar Rizky, pemain ondel-ondel, saat beristirahat di depan Gedung Sarinah.
Entah nasib atau apa pun namanya, yang jelas, bahu Rizky telanjur lecet karena menopang ondel-ondel berukuran 2 meter itu. Apalagi hujan turut mengguyur kawasan Sudirman-MH Thamrin. Beban semakin berat karena kain satin yang melapisi ondel-ondel itu menyerap air.
”Enggak apa-apa, ini mah biasa,” ujarnya. Rizky tinggal di Johar Baru, Jakarta Pusat. Dari rumahnya itu Rizky berjalan menuju Bundaran HI sambil mengenakan ondel-ondel. Ia menghabiskan waktu dua jam untuk tiba di kawasan Sudirman-MH Thamrin.
Sudah dua tahun Rizky merayakan malam pergantian tahun di Bundaran HI sebagai ondel-ondel. Menurut dia, penghasilan saat Tahun Baru bisa meningkat hingga dua kali lipat dari pendapatan sehari-hari.
”Kalau hari biasa saya biasa dapat Rp 100.000. Tetapi itu masih harus dipotong Rp 50.000 untuk biaya sewa ondel-ondel,” ujar bocah yang duduk di bangku kelas IX sekolah menengah pertama itu. Sehari-hari Rizky bekerja selepas pulang sekolah mulai pukul 18.00 hingga pukul 23.00.
Apa yang dilakukan Rizky semata-mata untuk menambah uang jajan. Menurut pengakuannya, ayah dan ibunya bercerai sejak ia sekolah dasar. Ayahnya yang bekerja serabutan, tidak mampu membiayai sekolah Rizky. ”Saya disekolahin sama uwak,” katanya.
Oleh karena itu, Rizky tidak mau membebani uwaknya dalam urusan uang jajan. Dia berusaha untuk mencari uang secara mandiri agar bisa ditabung atau sekadar membeli makan serta keperluan lainnya.
Sementara di tepi Jalan MH Thamrin, ondel-ondel berukuran kecil menghampiri satu per satu pengunjung yang sedang makan. Kebanyakan para pengunjung menolak untuk memberikan uang. Tanpa mengeluh, ondel-ondel itu kembali melanjutkan perjalanan menuju keramaian.
Ridha (14) ialah sosok di balik ondel-ondel kuning tersebut. ”Saya suka kesal kalau orang-orang pada diem aje. Kalau enggak mau ngasih, kan bisa bilang maaf,” ujarnya sambil menghitung penghasilan hari itu. Peluh membasahi jidatnya.
Sudah empat tahun Ridha melakoni pekerjaan sebagai ondel-ondel. Uang menjadi alasan utama mengapa ia bekerja. ”Biar kalau saya mau beli apa-apa enggak usah minta orangtua. Toh, saya bekerja cari uang halal,” kata Ridha yang kini bersekolah di kawasan Kramat Pulo.
Anak yang bekerja
Rizky dan Ridha merupakan gambaran anak yang bekerja di perkotaan. Keduanya tergabung dalam dua komunitas berbeda. Rizky tergabung di komunitas Dongkek Jaya, sedangkan Ridha di komunitas Kramcity.
Dalam pengertiannya, anak yang bekerja ialah mereka yang melakukan pekerjaan di luar jam sekolah, tanpa unsur eksploitasi, dan dalam rangka membantu orangtua. Namun, di sisi lain, pendidikan mereka juga terancam terganggu.
Dalam Peta Jalan Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak Tahun 2022 disebutkan, anak yang bekerja dipastikan tertinggal dalam hal kehadiran dibandingkan mereka yang tidak bekerja.
Hal itu juga yang disampaikan oleh Ridha. Tak jarang ia tidak sekolah karena badannya sering pegal-pegal seusai bekerja. Karena terlalu sering tidak masuk kelas, Ridha pun tinggal kelas. ”Harusnya saya kelas IX, tetapi sekarang masih kelas VIII,” ujarnya.
Selain itu, anak yang terlibat pekerjaan cenderung tertinggal dari rekan-rekannya terkait perkembangan nilai pelajaran. Adapun hal itu berbanding lurus dengan persentase kehadiran anak yang bekerja.
Namun, anak yang bekerja, apa pun alasannya, muncul karena kemiskinan. Selain menghasilkan uang bagi anak, hal itu juga mampu membawa keuntungan bagi komunitas tempat mereka bekerja.
Suhendar alias Kapaw (26), pemilik grup Kramcity, mengatakan, memiliki 18 anggota yang sebagian terdiri dari anak-anak di bawah umur. Anak-anak itu ditargetkan menyetor Rp 50.000 untuk biaya sewa ondel-ondel. Di sisi lain, upaya melestarikan budaya betawi mesti dilakukan sejak dini.
”Karena kami melestarikan budaya betawi tidak kenal usia. Mau tua atau muda, kami pasti ajarkan untuk melestarikan atau mengenal budaya Betawi,” kata Kapaw. Selain bekerja sebagai ondel-ondel, mereka juga menyewakan jasa palang pintu, yang biasa digunakan dalam acara perkawinan Betawi.
Bukan eksploitasi
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang pendidikan, Retno Listyarti, menilai, pekerjaan itu bisa dianggap mengeksploitasi jika menghilangkan hak anak, khususnya sekolah. Namun, selama tidak mengganggu jadwal sekolah dan anak tersebut senang melakukannya, hal itu belum bisa dikatakan eksploitasi anak.
Menurut dia, eksploitasi anak merupakan tindakan memanfaatkan anak secara sewenang-wenang. Hal itu bisa dilakukan oleh keluarga atau masyarakat dengan memaksa anak melakukan sesuatu tanpa memedulikan pertumbuhan mental dan fisik anak.
”Maka, suatu pekerjaan yang dilakukan anak, misalnya menjadi ondel-ondel saat malam pergantian tahun, bisa dikatakan sebagai eksploitasi jika anak tersebut dipaksa melakukan pekerjaan tersebut dan hasilnya tidak sama sekali dinikmati oleh anak yang bersangkutan,” kata Retno.
”Namun, ketika anak senang melakukannya karena pada malam Tahun Baru akan banyak orang memberi tip, berarti anak itu mendapatkan penghasilan yang lumayan menurut ukurannya. Maka, hal itu belum bisa dikatakan sebagai eksploitasi anak,” ujarnya.
Namun, dalam rilis resmi KPAI atas nama Susianah Affandy, Komisioner KPAI Bidang Sosial dan Anak Dalam Situasi Darurat yang diterima Kompas, Rabu (2/1/2018), KPAI akan segera berkoordinasi dengan Kementerian Sosial untuk penanganan anak-anak yang hak-haknya dilanggar.
Dalam koordinasi tersebut, KPAI akan minta kepada pemerintah melakukan pendataan anak-anak yang dulunya beraktivitas di jalanan dan ”anak ondel” (sebutan anak-anak pemain ondel-ondel) untuk segera direhabilitasi dan pemenuhan haknya.
KPAI minta pemerintah untuk memberikan layanan pendidikan keluarga, yang di dalamnya ada anak-anak putus sekolah dan memiliki permasalahan sosial, agar dapat memberikan pengasuhan yang baik. Keluarga adalah garda depan perlindungan anak.
”Anak ondel” ini diyakini rentan terhadap kekerasan (fisik, seksual dan mental), sebagaimana anak jalanan. Mereka juga rentan dieksploitasi seksual dan ekonomi, rentan menderita penyakit, perdagangan orang, kecanduan rokok, alkohol hingga narkoba.
Susianah berharap fenomena ”anak ondel” segera menjadi perhatian pemerintah, termasuk pemerintah daerah setempat, serta segera ada solusi bagi mereka. (DIONISIO DAMARA TONCE)