JAKARTA, KOMPAS – Nilai tukar petani atau NTP subsektor tanaman perkebunan rakyat dalam empat tahun terakhir masih tercatat rendah. Kondisi ini mencerminkan, para pekebun rakyat tidak sejahtera.
Pengamat Pertanian Khudori menyampaikan, meski nilai NTP secara keseluruhan cenderung meningkat, namun jika dilihat dari subsektornya, tidak semua subsektor memiliki nilai NTP di atas 100. “Salah satu yang rendah adalah NTP tanaman perkebunan rakyat,” ujarnya saat dihubungi pada Kamis (3/1/2018).
NTP subsektor tanaman perkebunan rakyat tercatat selalu di bawah 100. Angka ini sudah berjalan selama empat tahun terakhir, yaitu sejak 2015 hingga 2018. “Artinya, penghasilan para pekebun rakyat lebih rendah dibandingkan pengeluarannya,” kata Khudori.
Angka NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di pedesaan. Jika angkanya di atas 100, berarti surplus karena petani menikmati keuntungan. Namun, jika di bawah 100, berarti petani defisit.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), NTP tanaman perkebunan rakyat pada Desember 2018 turun 1,16 persen menjadi 94,48 dibandingkan bulan November 2018. Sebab, harga yang diterima petani turun 0,7 persen. Sementara pengeluaran petani baik konsumsi rumah tangga maupun biaya produksi, naik 0,46 persen.
“Penurunan disebabkan oleh turunnya harga kelompok tanaman perkebunan rakyat. Khususnya untuk komoditas kelapa sawit dan kakao,” kata Kepala BPS Suhariyanto pada Rabu (2/1/2018) kemarin.
Suhariyanto menyampaikan, meski ada perbaikan, namun angka NTP tanaman perkebunan rakyat masih di bawah 100. “Rendahnya subsektor tanaman perkebunan rakyat dipengaruhi dari nilai ekspor. Sebab, penjualan bergantung pada pasar global,” katanya.
BPS mencatat, nilai ekspor minyak kelapa sawit sepanjang Januari-Oktober 2018 mencapai 15,03 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Angka itu turun 10,61 persen dibandingkan dengan nilai ekspor pada periode yang sama tahun lalu.
Sementara ekspor karet asap pada Januari-Oktober 2018 turun 21,22 persen dibandingkan dengan tahun lalu menjadi 92,84 juta dollar AS. Ekspor karet remah (crumb rubber) juga turun 22,76 persen menjadi 3,32 miliar dollar AS. (Kompas, 10 Desember 2018)
Lesunya ekspor, terutama pada komoditas utama kelapa sawit dan karet, menekan harga jual di tingkat petani. Nilai ekspor tahun 2018 juga tercatat lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2017.
Secara terpisah, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih mengatakan, selain karena lesunya ekspor dan keadaan pasar global, penurunan NTP tanaman perkebunan rakyat terjadi karena produksi tidak dikontrol oleh pemerintah.
“Tidak ada regulasi berapa luas kebun yang diperbolehkan untuk menanam kelapa sawit atau karet. Perkebunan besar dibiarkan menanam seberapa pun luas yang mereka kehendaki,” ujar Henry.
Demikian juga rakyat, Henry menyampaikan, mata rantai perdagangan dan pengolahannya hanya dikuasai korporasi besar. Terlebih lagi, sekarang ada pembatasan dari pihak importir, misal sawit di batasi impornya oleh Eropa.
Menurut Henry, untuk mengatasi keadaan ini, pemerintah dapat membuat moratorium sawit dan hilirisasi kelapa sawit atau karet. Selain itu, serikat petani juga menuntut agar mata rantai perdagangan dan industri dikelola sebagian oleh rakyat melalui koperasi.
“Misalnya, pabrik kelapa sawit ukuran mini bisa menjadi solusi dan perkebunan diserahkan ke petani dengan menerapkan prinsip-prinsip pertanian ekologis,” kata Henry. (SHARON PATRICIA)