Polisi, Senjata Api, dan Bunuh Diri
Angger Aprinda (30) mengenang bapak mertuanya, Brigadir Kepala Arif Matheos Dehaan (53) sebagai seorang polisi yang berdedikasi. Jika ada panggilan kerja, Matheos segera berangkat tanpa banyak alasan.
”Bayangkan, tujuh kali Lebaran, saya enggak pernah bertemu Bapak. Bapak itu dedikasinya luar biasa sama pekerjaan sejak di Satlantas (Satuan Lalu Lintas) dulu,” kata Angger, Selasa (1/1/2019).
Ia cukup dekat dengan mertuanya dan mengetahui banyak cerita kepolisiannya. Pada 2003, Matheos dikirim ke Nangroe Aceh Darussalam untuk mengatasi pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka. Saat dipindahkan ke Satuan Tugas Antiteror Polda Metro Jaya, sang mertua menceritakannya pada Angger sembari menunjukkan bermacam jenis senjata yang dipegangnya.
Namun, Angger harus mendapati kenyataan, Matheos ditemukan tergeletak dengan luka tembak di kepalanya pada malam Tahun Baru.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono, Rabu (2/1/2019), menyatakan, rekaman kamera pemantau (CCTV) di sekitar TPU Mutiara menunjukkan Matheos datang sendiri. Tidak ada barang-barangnya yang hilang, termasuk sepeda motor yang terparkir rapi di sebelahnya.
Sepucuk pistol organik Polri ditemukan di sisi kiri pinggang dan bubuk mesiu di tangan kanan mantan anggota Brigade Mobil itu. Matheos juga mengirimkan pesan permintaan maaf kepada keluarga dan beberapa teman kerjanya.
Kepala Forensik RS Polri Said Sukanto Kombes Edi Purnomo mengatakan, bubuk mesiu di tangan merupakan sebuah indikasi bunuh diri. Adrianus Meliala, kriminolog Universitas Indonesia, menduga celana jins Matheos yang basah disebabkan oleh buang air kecil tak tertahankan yang sering terjadi pada orang yang bunuh diri.
Tes psikologis dan senjata api
Jika kematian Matheos memang disebabkan oleh bunuh diri, tindakan itu menambah panjang daftar anggota polisi yang meninggal di tangannya sendiri. Pada 2015 terjadi lima kasus anggota polisi bunuh diri dan dua percobaan bunuh diri. Pada 2016, jumlah polisi yang bunuh diri melonjak menjadi 13 orang dan lima percobaan.
Indonesian Police Watch (IPW) menyatakan, pada 2017, tujuh polisi bunuh diri. Pada 2018, sebelum kasus Matheos, Kompas mencatat tiga polisi bunuh diri.
Pada 2017, empat kasus polisi bunuh diri dipicu oleh masalah keluarga, termasuk gagal menikah. Sisanya terkait dengan masalah di lingkungan kerja.
Berdasarkan keterangan delapan saksi yang telah diperiksa Polres Depok, Matheos diduga kerap menyendiri dan termenung karena masalah keluarga (Kompas.id, 1 Januari 2019).
Kepala Bagian Penerangan Satuan Biro Penerangan Masyarakat Polri Kombes Yusri Yunus mengatakan, untuk mencegah penyalahgunaan senjata api, termasuk untuk bunuh diri, seorang polisi harus menjalani pemeriksaan psikologis. Pemeriksaan yang tidak rutin tersebut mencakup tes tulis dan wawancara oleh psikolog Polri ataupun polda setiap provinsi.
”Anggota dinyatakan tidak cocok memegang senjata api jika tes psikologi menyatakan ada masalah mental atau tidak memenuhi kriteria lainnya. Kalau memang dinyatakan tidak layak, akan direkomendasi kepada pimpinan untuk tidak memegang senjata api,” kata Yusri.
Untuk mendukung tes psikologis yang dilaksanakan secara tidak terjadwal itu, Polri mewajibkan 432.000 polisi di Nusantara untuk menjalani tes kesehatan enam bulan sekali di tiap satuan kerja, baik di tingkat Polri, polda, polres, dan polsek. Selain kesehatan fisik, tes tersebut juga meliputi kesehatan jiwa.
”Di luar itu, Polri terbuka pada laporan-laporan dari kerabat anggota yang menyatakan seorang anggota perlu menjalani tes psikologis. Namun, yang penting, ya tes enam bulanan itu,” kata Yusri.
Di lain pihak, Adrianus yang juga komisioner Ombudsman RI menyayangkan tes kelayakan membawa senjata api di kepolisian tidak dilaksanakan rutin. Penyebabnya tidak lain adalah anggaran yang terbatas.
”Idealnya (tes kelayakan membawa senjata api) dilaksanakan setahun sekali,” katanya.
Kepala koordinator komunitas pencegah bunuh diri, Into The Light, Benny Prawira, mengatakan, polisi rentan bunuh diri karena adanya akses terhadap senjata. Kepemilikan senjata api memang bukan menjadi alasan utama seorang polisi bunuh diri, melainkan akses terhadap senjata meningkatkan kemungkinan itu.
Menurut Benny, pemeriksaan psikologis saja sebagai syarat kelayakan membawa senjata api tidak cukup untuk mencegah bunuh diri di kalangan polisi. Sebab, pemikiran bunuh diri dapat muncul sesuai dinamika kehidupan profesional ataupun pribadi polisi.
”Screening (pemeriksaan) mengeluarkan hasil sesuai keadaan psikologis saat itu saja. Penilaian di saat itu, ya, hasilnya sesuai keadaan psikologis dan mental polisi saat itu juga. Setelah dia keluar dari ruang tes, pemikiran bunuh diri bisa saja muncul karena masalah-masalah lain, sementara hasil tes sudah keluar. Jadi, screening untuk membawa senjata api tetap perlu, tetapi penanganan dan intervensi kecenderungan bunuh diri tetap perlu diperhatikan,” kata Benny.
Pekerjaan polisi sangat terkait dengan kekerasan. Paparan dalam jangka waktu panjang terhadap kekerasan dapat berujung pada berkurangnya rasa takut seseorang akan kematian.
”Berdasarkan riset selama 10 tahun terakhir, semakin lama seseorang terpapar pada kekerasan, toleransi mereka terhadap rasa sakit akan semakin meningkat. Akibatnya, rasa takut terhadap kematian juga menurun. Ini berujung pada pemikiran dan, bahkan, percobaan untuk bunuh diri,” kata Benny.
Polisi harus diakui sebagai pekerjaan mulia yang berbeda dari profesi warga sipil pada umumnya. Monopoli kekerasan dengan kepemilikan senjata api pada polisi adalah wujud marwahnya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
Namun, polisi, seperti warga sipil, tetaplah manusia. Salam komando tangan mengepal tak membuat mereka kebal menghadapi dinamika kehidupan yang terkadang berat. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)