Sudah 15 tahun, Yanti (50), tinggal di bantaran Kali Ciliwung yang berada di Jalan Slamet Riyadi IV, Matraman, Jakarta Timur. Tempat tinggalnya tidak luas, sekitar 2x5 meter dengan dua lantai. Rumah itu dibangun dengan bahan semipermanen. Bagian belakang rumahnya berbatasan langsung dengan sungai, bahkan ada yang ditopang dari bambu sehingga menjorok ke sungai.
“Ya kalau ada banjir kiriman dari atas (Bogor), biasanya hanyut ini bagian belakang (rumah). Sudah biasa. Paling kalau ada peringatan siaga, kita sudah angkut semua barang ke jalanan dan cabut listrik,” ujar Yanti.
Ia merupakan warga asli Solo, Jawa Tengah, yang datang ke Jakarta untuk bekerja. Sejak awal datang ke Jakarta, ia sudah mengontrak di rumah di bantaran Sungai Ciliwung bersama suaminya.
Pilihan tinggal di bantaran kali bukan tanpa alasan. Harga sewa yang murah jadi salah satu alasannya. Apalagi dengan pendapatannya sebagai penjaga kantin,yang hanya sekitar Rp 3 juta per bulan.
Awal tinggal di bantaran Sungai Ciliwung, Yanti cukup menyewa rumah seharga Rp 400.000 per bulan. Dengan harga ini, ia mendapatkan rumah yang sejajar dengan permukaan sungai. Saat itu, hampir setiap hari rumahnya selalu tergenang air sungai. Setahun terakhir, barulah ia pindah ke rumah sewa di lahan yang lebih tinggi, tempatnya kini tinggal. Biayanya, Rp 1.500.000 per bulan.
Selain Yanti, ada pula Ida (40). Tempat tinggalnya lebih dekat dengan permukaan Sungai Ciliwung. Tepat di sampingnya, bahkan ada rumah yang dibangun persis di atas permukaan sungai. Khusus untuk rumah di atas permukaan sungai itu, menurut Ida, tidak perlu membayar biaya sewa. Hanya resikonya, ketika banjir, rumah sudah pasti hanyut terbawa banjir.
“Kalau sudah banjir, ya, satu rumah itu hanyut. Kalau yang di atas sungai itu enggak bayar sewa. Tapi ya kalau banjir langsung hanyut. (Mereka) lebih milih kehilangan rumahnya daripada bayar sewa rumah. Kan tinggal dibangun lagi (rumahnya),” tuturnya.
“Kalau sudah banjir, ya, satu rumah itu hanyut. Kalau yang di atas sungai itu enggak bayar sewa. Tapi ya kalau banjir langsung hanyut. (Mereka) lebih milih kehilangan rumahnya daripada bayar sewa rumah. Kan tinggal dibangun lagi (rumahnya),” tutur Ida.
Pada Kamis (3/1/2019), dari Jembatan Ciliwung di Jalan Slamet Riyadi Jakarta Timur, permukiman semipermanen tempat tinggal Ida dan Yanti bisa terlihat. Sejumlah bambu yang digunakan untuk menopang rumah terlihat jelas di atas permukaan sungai. Tidak sedikit sampah plastik menyangkut di bambu-bambu tersebut. Satu rumah dengan lainnya saling berdempetan. Sesekali, warga terlihat membuang sampah langsung ke aliran sungai.
Jaminan relokasi
Pakar Tata Kota dari Universitas Trisakti Yayat Supriyatna menilai, bantaran sungai tidak layak sebagai tempat tinggal. Namun, meminta masyarakat berpindah tempat tinggal dari bantaran sungai juga tidak sederhana.
“Masyarakat bantaran kalau tidak ada jaminan untuk relokasi sulit rasanya. Pengendalian banjir (dengan penataan bantaran sungai) perlu dialog dengan warga. Bagaimana yang terbaiknya,” katanya.
Ia berpendapat, mandeknya proyek normalisasi yang sebelumnya menjadi upaya untuk pengendalian banjir di Jakarta disebabkan karena adanya perbedaan kebijakan antara Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dengan program naturalisasi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Menurut Yayat, sinergi kebijakan antara program normalisasi dan naturalisasi diperlukan. Jika tidak ada titik temu, program akan sulit dilanjutkan. “Normalisasi identik pasti ada yang digusur. Pemprov tidak mau. Sementara, naturalisasi juga belum jelas konsepnya dalam penanggulangan banjir,” ujarnya.
Secara terpisah, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) Bambang Hidayah memastikan proyek normalisasi Ciliwung tidak akan berlanjut pada 2019. Bahkan sejak 2018 normalisasi sudah berhenti.
”Kontrak akhir normalisasi kali di Jakarta selesai pada 2017. Jadi, dari 2018 memang tidak dilakukan lagi. Sekarang menunggu pembebasan lahan dulu baru bisa dilakukan untuk tahun anggaran selanjutnya,” kata Bambang.
Proyek normalisasi Sungai Ciliwung merupakan kerja sama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 2013-2017. Tujuannya adalah meningkatkan kapasitas tampung aliran air, dari 200 meter kubik per detik menjadi 570 meter kubik per detik.
Dari 33,69 kilometer panjang Sungai Ciliwung, mulai dari jembatan Tol TB Simatupang sampai Pintu Air Manggarai, baru 16,388 kilometer yang dinormalisasi.
Ia mengatakan, program untuk pengendalian banjir di DKI Jakarta tidak hanya normalisasi sungai saja. Program lain yakni, pembangunan sudetan atau pelurusan sungai dari Sungai Ciliwung ke Banjir Kanal Timur, pembuatan Bendungan Ciawi dan Bendungan Sukamahi, dan pembangunan tanggul laut. Namun, program-program ini pun hingga sekarang belum tuntas. Bambang mengatakan, masalah pembebasan lahan menjadi kendala utama.
Dari kerja sama yang telah disepakati, Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta bertugas membebaskan lahan di pinggir sungai yang akan dinormalisasi. Kemudian, BBWSCC yang menyediakan dana, dan melaksanakan proyek pada lahan yang telah dibebaskan.
Meski proyek normalisasi tidak berlanjut tahun ini, Bambang mengungkapkan, berbagai upaya lain tetap dilakukan untuk mengendalikan permasalahan banjir di Ibu Kota.
Saat ini, pihaknya tengah mengupayakan pinjaman Bank Dunia untuk melanjutkan proyek Jakarta Emergency Dredging Initiative atau pengerukan kali. Proyek itu akan difokuskan di Kali Pesanggarahan dan Kali Sentiong.