Korupsi skala kecil, korupsi politik, hingga korupsi korporasi saling menjalin, menyebabkan Indonesia sukar lepas dari jeratan korupsi kronis. Kerugian langsung dan tak langsung dari korupsi sungguh merusak, tetapi laiknya benang kusut, sukar untuk mengurainya.
Berawal dari korupsi skala kecil di tataran masyarakat yang dianggap wajar, korupsi terus menggurita. Modus utamanya relatif tidak berubah, yakni suap yang dilancarkan untuk memuluskan berbagai keperluan yang ditukar dengan aneka macam proyek. Selain itu, suap juga bertujuan mengotak-atik aturan yang berpengaruh pada kebijakan. Tidak hanya itu, suap terhadap hakim dan penegak hukum juga jadi ancaman menakutkan. Sebab, kepastian hukum, termasuk pemberantasan korupsi, tak bisa berjalan jika lembaga peradilan dipengaruhi suap.
Sinyal peringatan sudah muncul dari berbagai indeks dan survei yang dilakukan di Indonesia terkait dengan perilaku korupsi. Lembaga Survei Indonesia memotret petty corruption atau korupsi skala kecil-kecilan masih marak terjadi. Dalam hasil survei tersebut, pejabat di pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota masih terindikasi korupsi dan menerima suap. Bahkan, masyarakat mengaku masih memberikan uang atau hadiah kepada para pejabat lembaga tersebut karena sudah terbiasa.
Dalam Persepsi Korupsi di Asia, Amerika Serikat, dan Australia yang diluncurkan Political & Economic Risk Consultancy pada 2018, Indonesia ditempatkan di posisi ketiga terbawah dengan skor 7,57 dari 16 negara yang disurvei. Dari skala 0-10, semakin mendekati nol, semakin baik skor sebuah negara. Indonesia berada di atas Vietnam dan Kamboja, tetapi di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya yang juga masuk dalam survei, yakni Singapura (1,9), Malaysia (6,78), Filipina (6,85), dan Thailand (7,13).
Dalam Persepsi Korupsi di Asia, Amerika Serikat, dan Australia yang diluncurkan Political & Economic Risk Consultancy pada 2018, Indonesia ditempatkan di posisi ketiga terbawah dengan skor 7,57 dari 16 negara yang disurvei.
Sinyal lainnya juga muncul dari tingkat persaingan usaha di Indonesia yang juga dinilai tak terlalu menggembirakan akibat korupsi. Indonesia hanya mengantongi skor 66,54 dalam Ease of Doing Business Score yang dikeluarkan Bank Dunia pada 2018. Indonesia berada di peringkat ke-73 dari 190 negara. Dari 10 komponen yang diukur, Indonesia masih bermasalah terkait upaya memulai bisnis, berurusan dengan perizinan, pemenuhan kontrak, dan membayar pajak. Bagi sebagian perusahaan, suap dinilai memberatkan, tetapi mau tidak mau dilakukan karena birokrasi yang berbelit dan memakan waktu.
Perluasan oligarkis
Michael Johnston dalam buku Syndromes of Corruption: Wealth, Power, and Democracy menyatakan, suap hingga saat ini masih menjadi sinonim dari korupsi yang mampu memengaruhi banyak hal. Namun, Johnston menggarisbawahi, korupsi perlu dilihat lebih mendalam dalam konteks yang lebih luas. Latar belakang suatu negara memiliki pengaruh tersendiri sehingga upaya pemberantasannya pun tak dapat disamaratakan.
”Korupsi bukan hanya masalah tunggal sehingga perlu dipahami dalam konteks yang lebih luas. Karena semakin serius penyebabnya, implikasinya pun agak lebih beragam,” ujar Johnston.
Indonesia memiliki sejarah kelam di bawah rezim otoritarian yang menguasai hampir seluruh kapital di negeri ini. Rezim tersebut melahirkan para oligarkis dan kroninya yang memusatkan hampir semua sumber daya ke lingkaran mereka.
Runtuhnya Orde Baru membuka keran oligarki di sejumlah daerah. Para kepala daerah berubah menjadi ”raja kecil” dan mulai membangun dinasti dengan menjadikan parpol sebagai kendaraan. Berbagai kebijakan publik dan aktivitas birokrasi untuk keperluan masyarakat dijadikan lahan mengutip upeti untuk biaya pemilihan kepala daerah yang berfungsi mengamankan dinastinya.
Melalui Survei Potensi Benturan Kepentingan Pendanaan Pilkada 2018 yang dilakukan KPK, 20 responden dari total 150 responden dalam survei ini mengaku membayar uang ke parpol yang besarannya Rp 50 juta- Rp 500 juta per kursi legislatif. Agar bisa mencalonkan diri dalam pilkada melalui jalur parpol, seseorang harus mendapat dukungan 20 persen dari kursi DPRD. Temuan KPK menunjukkan besarnya biaya pilkada juga sebagian tidak didukung kemampuan harta pasangan calon. Akhirnya, mereka mencari donasi dari pengusaha.
Perkara yang menjerat 28 kepala daerah aktif hingga 91 anggota DPR dan DPRD sepanjang 2018 bisa menjadi salah satu indikator benang kusut persoalan korupsi, elite daerah, dan pengusaha pemburu proyek Daniel Dhakidae dalam dialog ”Menelusuri Akar Korupsi” di Prisma (2018) menegaskan, konteks korupsi di era saat ini sudah jauh berbeda dengan era rezim Orde Baru. Apabila sebelum reformasi kapital dikuasai oleh diktator, pada masa saat ini kapital disebutnya menjadi diktator dalam dirinya sendiri untuk mengatur politik, hubungan sosial, dan lain-lain.
Di tengah berbagai tantangan dan peringatan yang muncul itu, lantas apa yang bisa diperbuat? Dalam belitan korupsi yang kronis, setidaknya, semua pemangku kepentingan perlu bersama-sama membangun kesadaran untuk menolak korupsi dari yang paling kecil, petty corruption. Namun, bisakah hal ini dilakukan?