Slamet Menebar Semangat Belajar bagi Sesama Difabel
Oleh
Nasrullah Nara
·3 menit baca
Memberi peluang yang setara kepada orang dengan disabilitas menjadi langkah positif untuk mengakhiri ketidakadilan. Aksi afirmatif itu dapat dilakukan untuk memperjuangkan hak pendidikan difabel hingga ke perguruan tinggi.
Begitulah mimpi dari Slamet Thohari (35). ”Harus ada pintu khusus agar kaum difabel bisa mengakses pendidikan,” ujar Slamet yang ditemui selepas mendapatkan penghargaan Youth Achievement Award 2018 dari lembaga Indonesia Youth Forum (IYF) di Jakarta, Senin (31/12/2018).
Pria kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 19 November 1983, itu adalah salah satu dari lima tokoh peraih penghargaan. Slamet terpilih sebagai tokoh inspiratif kategori penggerak pendidikan inklusi bagi difabel.
Adapun empat peraih penghargaan lainnya adalah Veve Zulfikar (tokoh muda inspiratif bidang industri kreatif), Risa Maharani (tokoh santri kreatif) sebagai desainer muda yang mendunia, Wali Band (kelompok musik yang mempunyai kepedulian sosial dan keagamaan), dan Asrorun Ni’am (tokoh inovatif dan konsisten dalam pengembangan generasi muda).
Percaya diri
Sejak usia dua tahun, Slamet mengalami kelumpuhan pada hampir kedua kakinya akibat infeksi polio. Di usia 10 tahun, bocah ini menjadi yatim setelah sang ayah, Khuzairi, meninggal. Kala itu, ekonomi keluarga hanya bertumpu pada usaha jualan kerupuk sang ibu, Wastini.
Kondisi fisik lemah ditambah kondisi ekonomi keluarga yang tak selalu mujur tak menyurutkan semangat Slamet mengejar ilmu hingga pendidikan tinggi.
Setamat dari sebuah pondok pesantren di Jawa Timur, dia melanjutkan pendidikan di Jurusan Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tahun 2001. Di kota pendidikan itu, di sela jam kuliahnya, dia giat mendorong terbangunnya rasa percara diri kepada sesama difabel. Wujudnya antara lain advokasi melalui pemutaran film dari kampus ke kampus. Kegiatannya ini terwadahi oleh Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB). Slamet dipercaya menjadi koordinator untuk wilayah Yogyakarta.
Setamat dari UGM tahun 2006, Slamet membuktikan dirinya mampu menembus pendidikan luar negeri. Dia meraih beasiswa untuk program magister sosiologi di University of Hawaii, Amerika Serikat. Ijazah magisternya itu kemudian mengantar dirinya menjadi pengajar di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur.
Pendidikan inklusi
Sejak 2012, Slamet mengelola Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) di Universitas Brawijaya. Kehadiran PSLD telah menghasilkan sekitar 30 lulusan sarjana yang tercatat sebagai difabel. Saat ini, 126 mahasiswa aktif mengikuti perkuliahan di sejumlah jurusan dan fakultas. Setiap tahun, rata-rata 20 kursi kuliah disediakan untuk difabel.
PSLD membantu menyediakan berbagai fasilitas, seperti kursi roda, buku braille, pemindai buku menjadi suara, dan menghadirkan 100 guru pendamping khusus. Lembaga ini juga mengupayakan berbagai advokasi, baik di dalam maupun di luar universitas.
Hal itu dilakukan antara lain dengan mendorong penambahan infrastruktur ramah difabel di lingkungan kampus, menerbitkan jurnal ilmiah, serta memberi pelatihan keilmuan dan keterampilan bagi difabel di luar kampus.
Menurut Slamet, perhatian berbagai pihak untuk menghadirkan pendidikan inklusi di sekolah hingga perguruan tinggi terus meningkat. Termasuk dari pemerintah yang belum lama ini membuat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. ”Pendidikan inklusi harus dijalankan walaupun banyak pekerjaan rumah yang harus dipenuhi pemerintah,” kata Slamet. (E02)