JAKARTA, KOMPAS – Peningkatan konsumsi memerlukan stimulus agar mampu menopang pertumbuhan ekonomi pada 2019. Stimulus bisa bersumber dari pengelolaan fiskal yang didesain tidak terlalu ketat untuk memacu program padat karya dan kegiatan produktif lainnya.
Kepala Ekonom dan Riset PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja mengatakan, pengetatan pengelolaan fiskal ibarat dua mata pisau. Defisit anggaran yang kecil mencerminkan kapabilitas pemerintah menjaga stabilitas keuangan di tengah fluktuasi nilai tukar dan tekanan global. Di sisi lain, pengetatan defisit dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi.
“Kalau postur APBN tahun ini dibuat mirip atau lebih ketat dari 2018 kurang baik untuk pertumbuhan ekonomi. Padahal, kita punya ruang gerak untuk tingkatkan belanja fiskal,” kata Enrico yang dihubungi Kompas di Jakarta, Kamis (3/1/2019).
Realisasi sementara defisit APBN 2018 sebesar 1,76 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau senilai Rp 259,9 triliun. Defisit anggaran 2018 terkecil sejak tahun 2012. Pada 2019, pemerintah menargetkan defisit anggaran 1,84 persen PDB.
Enrico berpendapat, pemerintah masih memiliki ruang fiskal untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Sebab, Undang-undang tentang keuangan negara mengatur defisit anggaran maksimal 3 persen PDB. Ruang fiskal tersebut bisa dimanfaatkan untuk peningkatan program padat karya dan berbagai kegiatan produktif untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.
Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menuturkan, pertumbuhan konsumsi cukup sulit dipacu sehingga cenderung stagnan pada kisaran 5 persen. Namun, pemerintah tetap memiliki celah untuk meningkatkan konsumsi masyarakat berpenghasilan rendah.
Konsumsi masyarakat berpenghasilan rendah bisa didorong melalui peningkatan berbagai bantuan, seperti program padat karya dan bantuan langsung. Untuk mendorong konsumsi, pendapatan mereka mesti ditingkatkan sehingga perekonomian ikut bergerak. “Target bantuan itu untuk 40 persen penduduk berpenghasilan rendah,” kata Yose.
Kebijakan peningkatan konsumsi untuk 40 persen masyarakat berpenghasilan sedang dan 20 persen berpenghasilan tinggi dinilai tidak efektif, kendati secara proporsi paling besar. Stimulus untuk kedua kategori tersebut lebih berupa tabungan yang dampaknya jangka panjang. Sedangkan, peningkatan konsumsi dampaknya lebih untuk jangka pendek.
PenopangPDB
Pada 2019, pemerintah menargetkan komponen PDB ditopang oleh konsumsi rumah tangga 5,1 persen, konsumsi pemerintah 5,4 persen, pembentukan modal tetap bruto 7 persen, ekspor 6,3 persen, dan impor 7,1 persen. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi pada 2019 ditargetkan mencapai 5.3 persen.
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) akan memberi stimulus pertumbuhan konsumsi pada paruh pertama 2019. Pemerintah juga meningkatkan belanja sosial untuk memacu konsumsi masyarakat 40 persen berpenghasilan rendah.
Di sisi lain, lanjut Suahasil, kenaikan pendapatan secara umum memang akan meningkatkan kecenderungan untuk impor. Untuk itu, pemerintah terus mendorong konsumsi dan penggunaan bahan baku dalam negeri. Konsistensi dalam penggunaan produk dalam negeri ini akan menjaga pertumbuhan konsumsi tahun ini tetap sehat.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, target pertumbuhan ekonomi bisa tercapai apabila pertumbuhan konsumsi di atas 5 persen. Pertumbuhan konsumsi juga mesti dibarengi perbaikan neraca perdagangan dan peningkatan investasi.