WASHINGTON, RABU — Presiden Amerika Serikat Donald Trump membuka kesempatan baru untuk melakukan pertemuan dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Sebelumnya, dalam pidato Tahun Baru, Jong Un mengatakan, pertemuannya dengan Trump bulan Juni tahun lalu tidak memberikan kemajuan apa pun hingga saat ini.
Hari Rabu (2/1/2019), melalui akun Twitter-nya, Presiden Trump mencuit singkat, ”Saya juga menantikan pertemuan dengan Pemimpin Kim yang sangat menyadari bahwa Korea Utara memiliki potensi ekonomi yang besar.”
Pada pertemuan Juni lalu di Singapura, Trump dan Jong Un menandatangani perjanjian perlucutan senjata nuklir di Semenanjung Korea. Alih-alih kemajuan yang diperoleh, Pyongyang dan Washington justru berpolemik tentang arah perjanjian itu. Tidak ada kemajuan berarti yang dicapai setelahnya. Pertemuan dan kunjungan keduanya sebagai tindak lanjut pertemuan sering kali tiba-tiba dibatalkan.
Pyongyang menghendaki agar AS mencabut berbagai sanksi terhadap Korut atas program senjata nuklir dan rudal balistiknya. Dalam pidato Tahun Barunya, Jong Un mengatakan, apabila Amerika bergeming dengan sanksinya, ”kami terpaksa mencari cara baru untuk mempertahankan kedaulatan dan kepentingan negara”.
Jong Un menambahkan, dirinya bersedia bertemu dengan Trump kapan pun dan ingin ”mencari hasil yang bisa diterima komunitas internasional”.
Sepanjang 2017, Korut melakukan enam uji coba ledakan atom dan meluncurkan roket yang dapat menjangkau seluruh daratan AS. Namun, lebih dari setahun terakhir uji coba serupa tidak lagi dilakukan.
Surat kabar di Korea Selatan, Hankook Ilbo, dalam editorialnya, menyebutkan bahwa pidato Jong Un sepertinya dirancang untuk menghidupkan kembali momentum negosiasi. Namun, Jong Un juga memberikan sinyal bahwa pihaknya tidak bisa begitu saja ditekan oleh AS.
Menurut pakar dari Sejong Institute, Cheong Seong-chang, pidato Jong Un menekankan pentingnya kesepakatan yang adil bagi kedua belah pihak.
Guru Besar Politik Internasional dari Handong Global University, Kim Joon-hyung, mengatakan, skenario yang mungkin dijalankan untuk mencabut sanksi ekonomi adalah Pyongyang melucuti kompleks senjata nuklir di Yongbyon seperti yang ditawarkan pada pertemuan antar-Korea pada September lalu di Pyongyang.
Sekutu AS di Asia, Korea Selatan, mengapresiasi pidato Jong Un dengan menyebutnya sebagai bukti komitmen Pyongyang terhadap perlucutan senjata nuklir.
Joshua Pollack dari Middlebury Institute of International Studies mencuit, Jong Un bersikeras bahwa sekarang AS yang harus bertanggung jawab. Intinya, Jong Un tetap berada pada posisi yang sama pada diplomasi perlucutan senjata nuklir dalam enam bulan terakhir.
Berbeda dengan tahun sebelumnya ketika berpidato di atas podium, dalam pidato Tahun Baru tahun ini Jong Un menyampaikannya dengan lebih santai sambil duduk di kursi kulit, berada di dalam ruangan dengan karpet biru, dan berlatar deretan buku. Foto ayahnya, Kim Jong Il, dan kakeknya, Kim Il Sung, menjadi latar belakang dan pesawat telepon putih terlihat berada di atas meja di samping kursi yang diduduki Jong Un.
Surat kabar The Korea Times menyebutkan, penampilan Pemimpin Korut itu, ketika menyampaikan pidato seperti ingin kembali menunjukkan identitas baru Korut sebagai negara yang normal dalam tataran global dan bukan negara miskin otoriter yang dikenal selama ini.
Sebagian besar dari 30 menit pidato Jong Un berisi seruan untuk memperkokoh ekonomi negara yang mustahil dicapai tanpa pembebasan dari sanksi ekonomi oleh AS.
Seoul dan Washington memiliki beragam cara mendekati Pyongyang. Seoul, misalnya, mendorong kerja sama infrastruktur lintas batas, termasuk menghubungkan rel kereta api dan jalan raya melintasi perbatasan yang dijaga ketat dan memperbaiki infrastruktur Korut yang rusak.
Presiden Korsel Moon Jae-in, yang berperan menjadi perantara antara Pyongyang dan Washington, bertemu dengan Pemimpin Korut Kim Jong Un tiga kali sepanjang tahun 2018, yaitu dua kali di Desa Panmunjom yang berada di perbatasan dan satu kali di Pyongyang. Jong Un mengirim pesan kepada Moon hari Minggu bahwa mereka akan bertemu lebih sering untuk membicarakan perlucutan senjata nuklir. (AFP/REUTERS)