SUKABUMI, KOMPAS – Lanskap Jawa Barat yang didominasi lereng dan perbukitan daerah itu rawan terhadap bencana longsor di saat hujan. Bencana longsor di Kampung Garehong, Dusun Cimapag, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, sudah semestinya mendorong pemerintah provinsi untuk memasang alat pendeteksi dini longsor di daerah itu.
Selama 2018, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Barat mencatat ada 1.560 bencana alam di sejumlah tempat di Jabar. Sebanyak 550 bencana diantaranya adalah bencana longsor.
Bahkan di Indonesia, bencana yang karakternya menyerupai longsor di Kampung Garehong juga pernah terjadi di sejumlah tempat. Longsor di Desa Sijeruk, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, pada awal tahun 2006 silam, yang menewaskan lebih dari 50 orang, itu pun terjadi akibat bukit yang longsor dan material tanahnya menimbun permukiman warga yang ada di bawahnya.
Kepala Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Banjarnegara, Andri Sulistyo, mengatakan, keberadaan alat pendeteksi gerakan tanah sangat dibutuhkan. Alat itu akan menurunkan risiko jumlah korban di daerah rawan tanah longsor.
"Masyarakat bisa segera evakuasi atau melakukan tindakan pencegahan longsor jika ada alat deteksi dini. Ini sangat penting untuk mengurangi korban longsor di Jabar," kata Andri, pada Jumat (4/1/2019), saat ditemui di lokasi longsor Kampung Garehong.
Kehadiran Andri pun terkait pemasangan 1 unit alat pendeteksi dini gerakan tanah di Kampung Garehong. Alat itu milik BPBD Banjarnegara. Hingga kini, BPBD Banjarnegara memiliki 5 alat pendeteksi dini gerakan tanah, sebanyak 2 unit diantara digunakan di daerah rawan longsor di Banjarnegar. Sebanyak 3 unit lainnya disimpan sebagai cadangan.
BPBD Banjarnegara sudah menggunakan alat itu sejak 2014, setelah longsor di Banjarnegara yang menewaskan ratusan orang. Awalnya mereka hanya menggunakan alat impor. Kini, BPBD membuat sendiri alat deteksi hanya dengan Rp 5 juta.
Alat pendeteksi dini itu diberi nama Elwasi yang merupakan kepanjangan dari bahasa Jawa, eling, waspada, lan siaga (ingat, waspada, dan siaga). Elwasi sudah diterapkan di beberapa wilayah di Banjarnegara. "Seharusnya dengan modal Rp 5 juta, seluruh desa bisa menerapkan deteksi dini, menggunakan dana desa," ucapnya.
Elwasi berbentuk kotak dengan tiang pancang yang ditancapkan di mahkota longsor. Alat itu bisa mendeteksi pergerakan tanah setiap 5 sentimeter. Ketika pergerakan tanah mencapai 10 cm, alat itu akan mengeluarkan sinyal berupa lampu dan bunyi sirene.
Jika pergerakan kurang dari 10 cm, warga sekitar bisa melakukan perbaikan mandiri dengan menambal tanah yang retak. Selain itu, warga juga harus mengurangi penggunaan tanah seperti untuk kebutuhan area sawah.
"Sirene itu bisa terdengar sampai 1.000 meter. Kalau pergerakan tanah sudah sampai 20 cm, sirene itu akan berbunyi terus. Artinya, masyarakat harus segera evakuasi mandiri," kata Andri.
Kepala Sub-bidang Gerakan Tanah Wilayah Barat di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Sumaryono, menuturkan, alat deteksi dini memang penting mengurangi jumlah kejadian longsor. Namun, edukasi masyarakat merupakan hal terpenting untuk menghindari bencana.
"Artinya, proteksi lereng dan edukasi kepada masyarakat untuk sadar bencana juga harus dilakukan. Kita tidak bisa bicara parsial hanya bergantung pada alat pendeteksi dini. Kalau kita lihat di negara maju, dia lakukan deteksi dini, tetapi ada edukasi dan proteksi lereng. Jika tidak percuma saja," kata Sumaryono.
Contoh kasusnya seperti di Garehong. Seharusnya lereng gunung di sekitar wilayah itu sidak boleh dijadikan persawahan. Namun, karena pengetahuan bencanan minim, warga sekitar melakukan sebaliknya. Alhasil kandungan air dalam tanah itu menumpuk. Ketika hujan deras, tanah menjadi jenuh dan tidak mampu menahan longsor.
Korban bertambah
Pada hari kelima evakuasi, tim SAR menemukan empat jenazah sehingga jumlah total korban meninggal menjadi 22 orang. Pencarian berlangsung hingga pukul 19.00 karena cuaca cerah.
"Masih ada 11 korban belum ditemukan. Itu yang akan menjadi fokus pencarian kami besok (hari ini)," ujar Komandan Resort Militer 061 Suryakencana Kolonel (Inf) M Hasan saat konferensi pers Jumat malam.
Tim SAR mengalami kendala dalam pengangkatan korban longsor karena korban tertimbun dalam tiga lapisan, yakni bangunan rumah, batu, dan tanah. Untuk itu, setiap pengangkatan korban, tim SAR membutuhkan waktu sekitar satu sampai dua jam.
"Besok kami akan evaluasi lagi alat apa saja yang kami butuhkan untuk mempercepat pengakatan," tuturnya.