Dalam satu dekade terakhir, Indonesia mengalami penguatan konservatisme keagamaan. Hal tersebut ditandai dengan munculnya realitas intoleransi simbolik di sejumlah tempat yang makin memprihatinkan.
JAKARTA, KOMPAS — Hanya selang beberapa hari setelah peristiwa pemotongan salib nisan umat Kristiani di Paroki Pringgolayan, Kota Yogyakarta Yogyakarta, di Kota Magelang terjadi perusakan 21 nisan umat Kristiani dan Muslim di tiga tempat pemakaman umum.
"Dari sisi pola, kasus di Yogyakarta dan Magelang memang berbeda karena di Yogyakarta lebih terbuka dan di Magelang tertutup. Realitas intoleransi secara simbolik ini memprihatinkan. Kalau terhadap simbol-simbol yang berbeda saja orang merasa terganggu, berarti di sana berdiam kecemasan beragama yang sangat tinggi," kata Direktur Riset Setara Institute, Halili, Kamis (3/1/2019) di Jakarta.
Tingginya resistensi terhadap simbol-simbol liyan menurut Halili terjadi karena dua hal, yaitu lemahnya penegakan hukum dan posisi pemerintah, khususnya di tingkat lokal yang cenderung kurang berpihak pada korban intoleransi, terutama kaum minoritas.
"Impunitas semper ad deteriora invitat, sebuah pembiaran atas peristiwa pasti akan mengundang kejahatan lain yang lebih besar. Banyak kasus pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang diabaikan dan tidak ditindak. Pemerintah lebih berpihak pada mayoritas, sehingga tidak ada pemulihan hak-hak minoritas. Ini jelas akan menimbulkan peristiwa lain dan mengundang kejahatan yang lebih serius lagi," ujarnya.
Antisipasi Penjalaran
Intoleransi simbolik di sisi lain juga menggambarkan penguatan pola-pola provokasi di level warga yang berpotensi memicu terjadinya intoleransi dalam skala yang luas. "Jika hal ini tak diantisipasi akan terjadi penjalaran intoleransi. Karena itu, aparat keamanan mesti segera mengungkap seterang-terangnya kasus ini. Apalagi ini tahun politik, semua hal bisa dipolitisasi," tambah Halili.
Dalam situasi seperti ini, selain perlunya penegakan hukum yang tegas, diperlukan pula upaya pendekatan kultural dengan mengoptimalkan peran-peran tokoh agama serta memastikan pengajaran-pengajaran keagamaan lebih menekankan nilai-nilai etika kolektif yang memungkinkan masyarakat bisa hidup damai di tengah aneka perbedaan.
Hal serupa ditekankan Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra yang meminta pemerintah dan aparat keamanan tidak melakukan pembiaran dan tokoh- tokoh agama tidak berpangku tangan.
"Sering pemerintah dan aparat kemanan menyerah pada tekanan kelompok-kelompok tertentu. Tidak ada pilihan lain, pemerintah harus tegas dan konsisten dalam menegakkan hukum serta konstitusi tanpa pandang bulu," ujarnya.