JAKARTA, KOMPAS – Berita bohong atau hoaks yang belakangan ini beredar terkait dengan persiapan dan tahapan pemilu merupakan kecenderungan komunikasi politik baru yang muncul dengan memanfaatkan media sosial. Tidak hanya terjadi di Indonesia, hoaks menjadi ancaman bagi banyak negara yang menghadapi kontestasi politik. Pembuat berita bohong memaksudkan kabar itu untuk mendelegitimasi proses pemilu yang sedang berlangsung demi intensi politik tertentu.
Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga yang juga Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Hukum, Henri Subiakto, Jumat (4/1/2018) di Jakarta mengatakan, penyebaran hoaks di medsos telah menjadi bagian dari permainan politik yang dilakukan oleh kelompok kepentingan atau elite politik yang terlibat dalam kontestasi politik. Fenomena ini pun tidak khas Indonesia, karena negara lain, seperti Amerika Serikat dan Brazil, juga menghadapi peredaran hoaks dalam kontestasi politik mereka.
“Ada kecenderungan hoaks sebagai alat politik dipakai untuk menyerang sejumlah lembaga tertentu, selain kandidat yang menjadi pesaing. Lembaga-lembaga itu seperti media massa, pollster (lembaga polling), dan lembaga independen seperti KPU dan Bawaslu yang merupakan penyelenggara pemilu. Serangan dilakukan untuk merusak legitimasi mereka,” kata Henri.
Pembuat hoaks menyadari bahwa berita bohong bisa menjadi sarana yang ampuh untuk menciptakan persepsi di benak publik tentang suatu realitas, meskipun sebenarnya realitas itu palsu, atau tidak benar. Tujuannya dalam jangka pendek ialah untuk meraih dukungan dan suara dalam kontestasi politik.
Menurut Henri, lembaga-lembaga yang diserang hoaks itu pastilah lembaga-lembaga yang nantinya merugikan pihak pembuat hoaks. Media massa arus utama, misalnya, cenderung akan dimusuhi karena merugikan dan pasti bertentangan dengan arah pemberitaan yang dibuat oleh media penyebar hoaks. Media massa bekerja berdasarkan data dan fakta, sedangkan hoaks tidak. Serangan serupa juga dilancarkan guna mendelegitimasi pemilu, yakni untuk menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap proses yang sedang berjalan, dan memicu ketakutan, sehingga publik beralih kepada sumber-sumber atau proses lain yang diyakini bisa mengatasi itu semua.
“Hoaks dilancarkan untuk seolah-olah mengindikasikan KPU atau Bawaslu tidak dapat dipercaya. Narasi ini digencarkan, sehingga publik akhirnya berpikir jangan-jangan betul ada kecurangan. Bila narasi ini diteruskan, lama-lama realitas yang tidak benar itu menancap di benak publik, sehingga hal yang tidak benar itu akhirnya dipersepsikan sebagai kebenaran,” kata Henri.
Sejumlah berita terkait dengan pemilu, pada akhirnya terbukti sebagai hoaks. Salah satunya ialah berita mengenai adanya tujuh kontainer berisikan surat suara yang telah dicoblos di Pelabuhan Tanjung Priok. Berita itu menyebar di medsos dan diberitakan sejumlah media. Beredarnya kabar itu menimbulkan perdebatan serta kegaduhan di ruang publik, sejak 2 Januari 2019. Sebelum peristiwa itu, disinformasi lain mengenai kardus sebagai kotak suara juga tersebar. Padahal, penggunaan kardus itu telah diatur di dalam UU Pemilu.
Menutup akun
Henri mengatakan, berbagai hoaks yang berkembang itu tidak mudah untuk ditangani oleh pemerintah dan aparat penegak hukum. Kemenkominfo telah membuat nota kesepahaman dengan KPU dan Bawaslu dalam penanganan hoaks itu sejak setahun lalu. Kerja sama dilakukan untuk menutup akun-akun dan situs yang menyebarkan hoaks terkait dengan pemilu.
“Kerja sama itu dilakukan untuk menutup akun-akun dan situs yang mengandung konten yang melanggar undang-undang, khususnya yang bisa membahayakan berlangsungnya pemilu yang demokratis dan damai. Yang punya kewenangan untuk menutup akun-akun itu adalah Kominfo, sedangkan yang menentukan akun atau situs mana yang akan ditutup ialah KPU dan Bawaslu. Kominfo hanya eksekutor saja, sedangkan yang tahu persis soal konten pemilu itu hoaks atau tidak adalah penyelenggara,” ujarnya.
Implementasi kerja sama untuk mengatasi hoaks terkait pemilu itu, menurut Henri, perlu dioptimalkan. KPU bisa saja membentuk satu divisi atau kelompok kerja tertentu yang secara khusus menyisir dan mengamati berita-berita yang beredar terkait dengan pemilu. Bila ada berita hoaks, penyelenggara pemilu bisa meminta Kominfo untuk menutup akun atau situs berita tersebut.
Kendati Kominfo berwenang menutup akun atau situs berita yang menyebarkan hoaks, namun tindakan hukum atas orang per orang atau pelaku di balik pembuatan kabar bohong itu merupakan kewenangan dari kepolisian. Polisi bisa menindak pembuat hoaks dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Hukum kita sebenarnya belum memadai untuk menindak hoaks atau berita bohong, sebab di dalam UU ITE yang diatur hanyalah yang terkait dengan SARA. Adapun yang secara khusus mengatur soal berita bohong ini hanya disebutkan di dalam pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal itu menyebutkan kabar bohong yang menimbulkan keonaran bisa dijerat dengan hukuman,” ujar Henri.
Pengamat medsos Nukman Lutfie mengatakan, hoaks harus segara diatasi sebelum menyebar menjadi wabah yang menggerogoti legitimasi pemilu. “Kalau ada hoaks yang terkait dengan pemilu, KPU harus cepat bertindak. Begitu pula Bawaslu tidak cukup dengan hanya mengeluarkan statement. Selain itu, harus ada follow up dari kedua kandidat, baik Jokowi maupun Prabowo. Sebab hoaks bisa membuat publik tidak percaya pada pemilu,” katanya.
Dalam jangka panjang, sejumlah upaya bisa dilakukan untuk mencegah hoaks di medsos, antara lain dengan membuat regulasi yang meminta pertanggungjawaban platform. Misalnya twitter, facebook, dan instagaram, harus ikut bertanggung jawab bila ada kontennya yang memuat hoaks.
“Sejumlah negara telah mengatur hal ini. Kalau dalam waktu 24 jam, platform tidak menghapus konten hoaks ini, maka mereka dikenai denda,” katanya.
Di tengah situasi politik yang terbelah dua, menurut Nukman, meredam hoaks memang tidak mudah. Publik yang terbelah hanya mau mendengar apa yang mereka ingin percayai, atau yang sesuai dengan preferensi politik mereka. “Mereka yang cinta buta ini menerima begitu saja berita apapun yang mengonfirmasi keyakinan mereka. Sebaliknya, mereka juga menerima begitu saja berita yang menyudutkan lawan mereka. Tidak ada keinginan check dan recheck,” ujarnya.
“Banyak pemain politik memahami ini, sehingga dibuatlah hoaks untuk menyudutkan pihak lawan. Hoaks dibuatlah oleh masing-masing pihak yang mudah diterima pendukungnya. Pada intinya, hoaks memang sengaja diciptakan untuk menghancurkan lawan dan menaikkan kemenangan pihak lainnya,” kata Nukman.