TERNATE, KOMPAS — Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara saat kunjungan kerja di Ternate, Maluku Utara, Kamis (3/1/2019), mengatakan, sekitar tahun 2015, harga data seluler di luar Jawa dua kali lipat lebih mahal dibandingkan di Jawa. Ketika itu, dirinya mendapat keluhan dari warga di Indonesia bagian timur terkait mahalnya harga paket data seluler. Keluhan pun diunggah di Change.org.
Rudiantara sempat meminta operator seluler di daerah itu menurunkan harga. Namun, hasilnya kurang maksimal. ”Pembangunan infrastruktur jaringan tulang punggung Palapa Ring tinggal menunggu Paket Timur selesai. Sementara Paket Barat dan Tengah sudah selesai. Karena dibangun dengan skema perjanjian kerja sama dengan badan usaha, pemerintah menjamin pembayaran availability payment sampai perawatan jaringan selama masa konsesi 15 tahun,” ujarnya.
Selama uji coba, pemerintah menggratiskannya. ”Proyek Palapa Ring harus dilihat sebagai insentif pemerintah kepada operator seluler. Saya optimistis Palapa Ring diminati operator seluler. Kan tren ke depan adalah internet pita lebar berkecepatan tinggi. Saya harap, ke depan tidak ada disparitas harga data yang tinggi antara Jawa dan luar Jawa,” ujarnya.
Kepala Balai Latihan Kerja Industri Ternate Marjono Istianto menyatakan, harga layanan akses internet tergolong mahal di Maluku Utara. Sebagai gambaran, pengurus BLKI Ternate menyewa perangkat akses internet nirkabel rata-rata Rp 19 juta per bulan. Padahal, semua murid dan pengajar menggantungkan internet dari perangkat itu.
Menurut Marjono, layanan akses internet dibutuhkan peserta latihan BLKI, terutama di teknologi informasi dan elektronika. ”BLKI ini menjadi rujukan warga dari seluruh kabupaten di Maluku Utara. Internet penting bagi proses belajar mengajar di sini,” ujarnya.
Tambah jaringan
Direktur Infrastruktur Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Bambang Nugroho mengatakan, pada April 2018, proyek Palapa Ring Paket Barat sudah selesai dibangun. Hingga kini, sudah tiga operator seluler atau penyedia jasa internet menguji coba pemakaiannya.
Sementara Palapa Ring Paket Tengah yang baru selesai dibangun 27 Desember 2018 kini sudah bisa dipakai uji coba. Bakti mencatat ada 23 operator seluler atau penyedia jasa internet berminat mengujinya.
”Kami telah memperhitungkan risiko bencana alam gempa bumi. Oleh karena itu, semua rute pembangunan tidak akan melintasi jalur cincin api,” ujarnya.
Sejalan dengan proyek Palapa Ring, Bakti berencana membangun jaringan akses berupa 5.000 pemancar di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar sampai akhir 2019. Biaya yang dibutuhkan diperkirakan Rp 2,5 triliun atau setara dengan pendapatan dana pelayanan universal (USO) yang dikumpulkan dari operator telekomunikasi.
Sampai akhir 2018, Bakti membangun sekitar 900 pemancar. Jumlah ini melebihi dari target, yaitu 320 unit. Bakti dan Kemkominfo kini tengah mengupayakan satelit multifungsi yang bisa dipakai melayani kebutuhan internet di fasilitas-fasilitas layanan publik. Proses tender, pengerjaan, sampai peluncuran dimulai sejak tahun lalu dan diharapkan beres pada 2022. Semua upaya tersebut bertujuan menghadirkan layanan komunikasi dan internet secara merata pada 2022.
Menurut anggota Tim Pelaksana Dewan Teknologi Informasi Komunikasi Nasional, Garuda Sugardo, pembangunan Palapa Ring adalah bagian mewujudkan amanat Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2014 tentang Rencana Pita Lebar Indonesia 2014- 2019. Operator seluler dan penyelenggara jasa internet komersial semestinya berminat memanfaatkannya.
”Artinya, setelah 2019, masyarakat Indonesia harus bebas dari gaptek (gagap teknologi). Industri pun bisa bergerak lebih maju,” katanya.
Menurut Garuda, masyarakat di luar Jawa, seperti desa tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), menginginkan layanan internet berkecepatan tinggi. Permintaan ponsel pintar dari daerah sana pun terus berkembang. Dengan demikian, saat pemerintah membangun jaringan berupa pemancar di desa 3T seharusnya sudah diisi teknologi akses seluler terbaru, seperti 4G.
”Kalau warga diberikan bantuan jaringan akses seluler berteknologi 2G, mereka berarti maju dalam konteks konektivitas, tetapi mundur dalam hal inovasi. Kini, harga perangkat infrastruktur jaringan semakin murah,” ujarnya.