Bagi pengamat fenomena alam, pencatat bencana, atau wartawan spesialis alam dan lingkungan, akhir dan awal tahun menjadi waktu yang mendebarkan.
Tanpa bermaksud meramalkan bencana, membuka kembali arsip tahun-tahun sebelumnya, memperlihatkan bencana banyak terjadi pada periode ini. Tidak sulit untuk memahami hal ini. Saat curah hujan tinggi, hingga banjir sering kali tidak terhindarkan. Tanah longsor juga termasuk sering terjadi.
Selain disebabkan dahsyatnya kuasa alam, ada juga faktor manusia yang bisa kita jadikan pijakan untuk meminimalkan dampak bencana. Tentu mengapresiasi berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur guna menghadapi bencana pula. Luasnya wilayah dan kondisi keterpencilan tidak jarang juga memberi bencana kejutan.
Kejadian longsor di Kampung Cimapag, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, menambah dimensi sebab musabab bencana. Keterbatasan lahan dan desakan kebutuhan hidup mendorong warga memanfaatkan lereng terjal menjadi sawah.
Kepepet. Fakta itulah yang dilaporkan harian ini (Kompas, 3/1/2019). Ada keperluan mencukupi kebutuhan pangan, tetapi sulit mencari lahan datar untuk persawahan. Warga menggunakan perbukitan. Padahal, padi tidak cocok ditanam di lahan miring. Aktivitas ini mengundang risiko bencana.
Kondisi ini harus dikoreksi. Kita hargai prakarsa otoritas setempat untuk mencari alternatif habitat dan aktivitas pertanian yang lebih aman. Sikap proaktif dan antisipatif lebih diperlukan dewasa ini. Alasannya, sekarang ini kita hidup di tengah cuaca ekstrem. Datang dan berakhirnya musim hujan boleh jadi masih sama, dari Oktober hingga April. Namun, ekstremitas cuacanya lebih menyeramkan.
Selain bencana yang terkait dengan musim, kita dihadapkan pada kemungkinan bencana yang terkait dengan risiko hidup di wilayah cincin api. Gunung meletus dan gempa bumi bisa terjadi kapan saja. Kita dituntut memiliki komitmen penuh menghadapi segala kemungkinan bencana itu.
Tekad kita untuk menjadi bangsa pembelajar harus kita buktikan. Untuk menghadapi bahaya tanah longsor, misalnya, mau tidak mau harus ada pendataan mengenai pemanfaatan tanah miring dan labil. Penggundulan hutan di wilayah hulu harus dihentikan. Warga di sana pun harus direlokasi.
Untuk menghadapi gempa dan tsunami, pemetaan wilayah rawan juga harus dilakukan. Ahli geologi sudah mengetahui wilayah yang rawan gempa sehingga langkah mitigatif untuk meminimalkan efek bencana merupakan hal niscaya. Seiring dengan itu, literasi kepada masyarakat tentang ancaman bencana menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya mitigasi.
Terakhir, tsunami di Selat Sunda, 22 Desember, juga membuka mata bahwa fenomena alam perlu terus menjadi mata rantai sikap waspada. Saat itu, tsunami tak dipicu gempa, tetapi erupsi gunung berapi yang menyebabkan longsor.
Itulah pekerjaan rumah kita. Premisnya jelas, ketiadaan persiapan di depan akan memunculkan derita di belakang.