JAKARTA, KOMPAS – Putusan-putusan pengadil pada kasus kerusakan lingkungan mengarah ke jalur positif. Tercatat dalam beberapa tahun terakhir gugatan kerugian lingkungan bisa dimenangkan dari korporasi perusak lingkungan senilai Rp 18 triliun. Namun hingga kini belum satu pun dari sembilan kasus tersebut yang berlanjut ke eksekusi di lapangan.
Bila peradilan dan pemerintah tak menunjukkan bukti eksekusi ini bisa dijalankan, efek jera yang ingin ditimbulkan dari putusan tersebut tidak tercapai. Di sisi lain, perbaikan lingkungan yang memerlukan biaya yang diharapkan bersumber dari nominal vonis tersebut tak bisa dilakukan.
Pelaksanaan eksekusi yang tak kunjung dilakukan pun membuka celah korupsi bagi negosiasi untuk memperlambat jalannya eksekusi. Karenanya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mewakili negara dalam menuntut para korporasi perusak lingkungan ini agar aktif berkomunikasi dengan pimpinan Mahkamah Agung.
“Komunikasi ini perlu agar Mahkamah Agung memberi perhatian khusus pada penegakan hukum kasus lingkungan, terutama kasus yang sudah diputus inkracht namun lambat dijalankan di Pengadilan Negeri,” kata Khalisah Khalid, Kepala Departemen Perluasan Jaringan dan Kampanye, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Kamis (3/1/2019) di Jakarta.
Komunikasi ini perlu agar Mahkamah Agung memberi perhatian khusus pada penegakan hukum kasus lingkungan, terutama kasus yang diputus inkracht namun lambat dijalankan di Pengadilan Negeri.
Seperti diberitakan Kamis, putusan lasasi Mahkamah Agung memenangkan KLHK atas PT National Sago Prima. Perusahaan ini wajib membayar ganti rugi lingkungan sebesar Rp 1 triliun. Ini menambah deretan 9 gugatan serupa yang dimenangkan KLHK.
Khalisah mengatakan KLHK agar tak hanya menjalankan prosedur normatif dalam menindaklanjuti putusan-putusan yang dimenangkan. Prosedural itu seperti menunggu salinan putusan pengadilan (relaas) meski putusan sudah ditayangkan di website Mahkamah Agung selama berbulan-bulan.
“Semakin lama eksekusi tidak dijalankan, risiko kerusakan lingkungan dan bencana juga semakin besar,” kata Khalisah. Dicontohkan, kebakaran hutan dan lahan pada area gambut. Bila tak kunjung dipulihkan, gambut semakin kempes dan kering sehingga makin rawan terbakar.
Eksekusi pun diperlukan untuk menunjukkan negara serius menindak tegas korporasi pelaku kerusakan lingkungan. Ia mencontohkan penegakan hukum bagi korporasi terkait kasus kebakaran hutan dan lahan 2015 bisa menurunkan kebakaran di tahun-tahun selanjutnya. Selain didukung faktor cuaca cenderung basah, jumlah kebakaran bisa ditekan karena sejumlah sanksi baik pidana, perdata, dan administrasi diberikan pada pelaku.
Karena itu, bila sanksi perdata hanya berhenti di vonis tanpa dilanjutkan eksekusi, pelaku perusahaan tak dibuat jera. Bila ini terjadi, di masa mendatang – dalam kasus karhutla - bukan tak mungkin kebakaran akan kembali marak.
Untuk itu, Walhi meminta agar KLHK aktif menagih relaas atau putusan pengadilan untuk dijalankan. Relaas ini menjadi dasar untuk melayangkan surat permohonan eksekusi.
Belum dieksekusi
Sementara Ragil Jasmin Utomo, Direktur Penyelelesaian Sengketa Lingkungan KLHK mengatakan tujuh kasus lain belum dimohonkan eksekusinya karena KLHK belum menerima relaas atau putusan pengadilan. Dari 9 kasus yang dimenangkan KLHK, sebanyak dua kasus yang keluar relaas.
Setelah KLHK menerima putusan pengadilan, ia mengatakan akan menggunakannya untuk memohonkan eksekusi di pengadilan tempat kasus disidangkan. Namun hal ini pun tak mudah. Catatan Kompas seperti permohonan eksekusi kasus PT Kalista Alam di Nagan Raya, Aceh hingga kini tak kunjung berhasil dilakukan.
Korporasi malah sempat mengajukan gugatan yang menjadi dalih bagi pengadilan untuk menunda eksekusi. Perlawanan korporasi melalui pengadilan ini pun seolah menunjukkan putusan yang telah dimenangkan hingga kasasi (Mahkamah Agung) masih bisa “dilawan” pengadilan.
Terkait perkembangan Kalista Alam, Jasmin mengatakan Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh telah melayangkan panggilan kepada tergugat (PT Kalista Alam) dan penggugat (KLHK).
“Aanmaning telah dilaksanakan Ketua PN Meulaboh tanggal 20 Desember 2018, namun pihak PT Kalista Alam tidak hadir,” ungkapnya. Dengan ketidakhadiran pihak PT KA, Ketua PN Meulaboh memutuskan untuk dilakukan pemanggilan sekali lagi yang rencananya akan dilaksanakan pada tanggal 10 Januari.
Jika pihak PT KA tidak bersedia menyelesaikan secara sukarela atau tidak hadir, PN Meulaboh akan mengeluarkan penetapan eksekusi yang dalam pelaksanaannya akan didelegasikan kepada ketua PN Suka Makmue. Itu disebabkan lokasi perusahaan ada Nagan Raya di wilayah PN Suka Makmue yang baru beroperasi awal Desember 2018 ini.