Tantangan Rupiah dan Kredit
Tahun ini rupiah berumur 70 tahun. Usia yang sangat matang untuk mata uang yang dipakai secara nasional menggantikan Oeang Republik Indonesia atau ORI pada 2 November 1949.
Rupiah sudah menghadapi berbagai tantangan. Rupiah pernah melemah dalam, hingga Rp 16.800 per dollar AS pada krisis ekonomi 1998.
Tantangan tak akan surut. Kematangan rupiah terus diuji, terutama menghadapi ketidakpastian global. Pada 2018, rupiah kembali mengalami tekanan akibat faktor eksternal. Pertarungan rupiah dengan dollar AS kembali terjadi, yang membuat rupiah sempat tertatih-tatih.
Pada 3 Oktober-2 November 2018, nilai tukar rupiah berkisar Rp 15.000 per dollar AS. Setelahnya, rupiah berangsur-angsur menguat kendati masih tetap fluktuatif. Pelemahan rupiah terdalam sepanjang 2018 terjadi pada 11 Oktober, yakni Rp 15.253 per dollar AS.
Bank Indonesia (BI) berupaya menjaga stabilitas rupiah, antara lain dengan menaikkan suku bunga acuannya. Pada 2018, BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 175 basis poin atau 1,75 persen menjadi 6 persen. Kenaikan suku bunga acuan akan berdampak pada kenaikan suku bunga simpanan dan kredit.
Jika suku bunga kredit naik, beban biaya yang ditanggung debitor bertambah. Mereka akan cenderung menahan belanja, menunda atau mengurangi modal pengembangan dan ekspansi usaha, serta lebih berhati-hati dalam berinvestasi.
BI optimistis pertumbuhan ekonomi tahun ini akan semakin baik dan stabilitas tetap terjaga. Pemangku kepentingan terkait, terutama BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan pemerintah, pasti akan mempertahankan dan membuat berbagai kebijakan untuk menumbuhkan dan menjaga stabilitas ekonomi di tengah volatilitas ekonomi global.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan, ada tiga pelajaran penting dalam perjalanan ekonomi 2018 yang dapat dilanjutkan untuk 2019. Pertama, stabilitas dan ketahanan perekonomian perlu terus diperkuat. Kedua, daya saing dan produktivitas harus terus ditingkatkan untuk mendorong momentum pertumbuhan ke tingkat yang lebih tinggi. Adapun ketiga, sinergi kebijakan antar-otoritas menjadi kunci untuk memperkuat struktur ekonomi nasional.
BI memperkirakan, tahun ini volatilitas ekonomi global masih akan berlanjut. Kendati tekanannya diperkirakan melemah, kejutan kebijakan dari Amerika Serikat dan China, serta persoalan ekonomi dan geopolitik di sejumlah negara, berpotensi menyebabkan ketidakpastian. Tren kenaikan suku bunga acuan global, proteksionisme sektor perdagangan, dan pengetatan likuiditas global masih akan terjadi.
Menurut Perry, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 diperkirakan pada kisaran 5-5,4 persen. Inflasi 2019 tetap terkendali pada kisaran 3,5-4,5 persen dan stabilitas rupiah akan terjaga dengan baik.
Defisit transaksi berjalan 2019 juga akan turun menjadi sekitar 2,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). ”Hal itu akan ditopang langkah-langkah pengendalian impor, peningkatan ekspor dan pariwisata, serta mendorong intermediasi perbankan dan pembiayaan ekonomi dari pasar modal,” ujar Perry.
Tahun ini, BI akan menyasar dan memperkuat tujuh area kebijakan melalui bauran kebijakan internal dan eksternal. Ketujuh area itu adalah moneter, makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar keuangan, ekonomi dan keuangan syariah, usaha mikro kecil dan menengah, serta kerja sama internasional.
Menumbuhkan kredit
Di sektor perbankan, pertumbuhan kredit pada 2019 diperkirakan 10-12 persen dan dana pihak ketiga perbankan 8-10 persen. Untuk menumbuhkan kredit, BI dan OJK menempuh langkah-langkah konkret agar sektor riil turut tergerak.
Langkah itu di antaranya pelonggaran giro wajib minimum (GWM) rata-rata. Dengan demikian, giro yang wajib disetor ke BI berkurang sehingga likuiditas bank lebih longgar dan bank lebih leluasa memanfaatkannya.
BI juga melonggarkan aturan rasio pinjaman terhadap aset (LTV). Dengan pelonggaran ini, masyarakat yang ingin mengajukan kredit bisa memperoleh keringanan uang muka.
Sementara, OJK mendorong pertumbuhan kredit melalui Program Kluster dengan sasaran utama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Program Kluster merupakan penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) dari perbankan kepada pelaku usaha mikro, petani, dan nelayan.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, untuk meningkatkan ekspor, empat sektor utama akan disasar, yaitu perikanan, perkebunan, pariwisata, dan pertambangan melalui Program Kluster berorientasi ekspor.
Sementara, tahun ini perbankan memasang target bisnis konservatif untuk menjaga kualitas kredit serta mengantisipasi pengetatan likuiditas. Perbankan juga menilai Pemilu 2019 tidak akan berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan kredit.
Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja meyakini penyaluran kredit perbankan pada 2019 akan lebih baik. Namun, BCA konservatif dengan menargetkan pertumbuhan kredit 10-12 persen.
Menurut Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Suprajarto, melihat target pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 yang lebih baik dari 2018, permintaan kredit tahun ini akan cukup besar.
Namun, menurut dia, pertumbuhan kredit sangat tergantung pada kondisi likuiditas atau pertumbuhan dana. Jika pertumbuhan dana tidak membaik, pertumbuhan kredit pada 2019 bisa lebih rendah dari 2018.
Chief Executive Officer Citibank NA Indonesia Batara Sianturi menuturkan, tahun ini banyak faktor yang memengaruhi, antara lain politik. ”Pada tahun politik perbankan akan lebih berhati-hati menyalurkan dana,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Maryono menyampaikan, perseroan akan tetap fokus di sektor perumahan dan properti. Langkah BI yang diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga acuan akan memengaruhi beban debitor. ”Bank akan sangat selektif menyalurkan kredit untuk menghindari risiko yang cenderung meningkat,” ujar Maryono.
Sejumlah bank bermodal kecil menilai tantangan pada 2019 semakin berat. Hal itu setidaknya diakui Direktur Utama PT Bank Dinar Indonesia Tbk Hendra Lie dan Direktur Utama PT Bank Ina Perdana Tbk Daniel Budirahayu.
Berbagai tantangan itu mesti dihadapi dengan hati-hati.