Aksi Protes Terus Menekan Presiden Bashir
Unjuk rasa besar-besaran selama dua pekan terakhir akibat kenaikan harga roti telah menekan kekuasaan Presiden Sudan Omar al-Bashir.
CAIRO, JUMAT—Kelompok oposisi Sudan terus menyerukan protes besar-besaran menuntut Presiden Sudan Omar al-Bashir mundur. Aksi protes selama dua pekan terakhir di sejumlah kota di Sudan itu telah mengancam kekuasaan Bashir yang telah berkuasa sejak 1989.
Dalam pernyataan bersama, berbagai kelompok oposisi menyerukan agar rakyat turun ke jalan dari Jumat (4/1/2019) sampai Minggu di istana kepresidenan dan di gedung parlemen di Omdurman.
Pemerintah Khartoum telah menerapkan UU darurat dan jam malam di sejumlah kota menyusul unjuk rasa dalam dua pekan yang telah menewaskan puluhan orang. Khartoum menyebutkan, jumlah yang tewas 19 orang, tetapi Amnesty International menyebutkan jumlah yang tewas sedikitnya 37 orang. Sekjen PBB Antonio Guterres telah meminta dilakukan penyelidikan mengenai kekerasan tersebut.
Aksi protes dimulai dua pekan lalu ketika pemerintah menaikkan harga sepotong roti dari 1 pound Sudan jadi 3 pound. Kemarahan rakyat diwujudkan melalui unjuk rasa dan perusakan sejumlah gedung milik partai berkuasa Sudan, Partai Kongres Nasional (CNP). Para pengunjuk rasa juga meneriakkan slogan-slogan yang digunakan dalam gerakan Musim Semi Arab 2011, yaitu ”rakyat menginginkan kejatuhan rezim”.
Bashir, yang dikenai tuduhan genosida oleh Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag pada 2010, menerapkan pemerintahan tangan besi dengan memanfaatkan Badan Keamanan dan Intelijen Nasional (NISS) yang membungkam semua gerakan oposisi, termasuk jurnalis dan aktivis HAM.
Bashir dalam pidatonya, Kamis lalu, yang disiarkan secara nasional, menjabarkan kemajuan pembangunan infrastruktur yang dicapai Sudan sejak ia berkuasa pada 1989 melalui kudeta militer. Menurut dia, sanksi internasional yang diterapkan terhadap Sudan telah menyebabkan mandeknya pertumbuhan ekonomi negeri itu.
”Negeri kita terkena dampak perang (perang saudara dengan Sudan Selatan) dan sanksi internasional. Namun, Sudan tetap berkembang,” kata Bashir yang berjanji akan menaikkan upah minimum pekerja, memperbaiki layanan kesehatan.
Sudan terus mengalami stagnasi ekonomi terutama setelah Sudan Selatan yang menguasai tiga perempat wilayah yang mengandung minyak melepaskan diri dan menjadi negara independen pada 2011.
Tidak diduga
Kemarahan rakyat yang muncul akibat kenaikan harga roti tidak diantisipasi oleh pemerintah dan oleh partai berkuasa. ”Protes yang terjadi jauh lebih besar dan kuat dibandingkan demonstrasi yang pernah terjadi di negeri ini,” kata Eric Reeves, peneliti di Universitas Harvard.
Konflik yang terjadi, juga lepasnya Sudan Selatan, telah membuat Khartoum kekurangan cadangan devisa. Inflasi melejit sampai 70 persen, kebutuhan roti dan BBM tak terpenuhi di sejumlah kota. Padahal, Sudan dikenal sebagai negeri penghasil roti.
Khalid Tijani, editor ekonomi mingguan Elaff,menyebutkan, protes kali ini menjadi tantangan terbesar bagi Bashir.
”Aksi-aksi unjuk rasa telah melemahkan posisi Presiden Bashir yang berniat mengubah konstitusi sehingga ia bisa mencalonkan diri lagi sebagai presiden pada 2020. Namun, perkembangan politik saat ini membuat dirinya harus mempertimbangkan kembali ambisinya,” ungkap Tijani.
Sejumlah pejabat militer di tingkat menengah dan bawah ditengarai mulai memihak oposisi dan pengunjuk rasa. Bahkan, 22 kelompok politik pro pemerintah telah meminta Bashir mundur.
Meskipun opsi perubahan rezim dinilai masih jauh kemungkinannya, sejumlah pengamat menilai Bashir akan mendapat tekanan permanen. Sebab, ia tidak menemukan jalan keluar untuk mengatasi persoalan kebutuhan dasar rakyat.
Sanksi
Krisis politik di Sudan terjadi di saat Bashir berupaya melobi negara-negara tetangga untuk membujuk Washington agar menghapus Sudan dari daftar ”negara pendukung terorisme”. Sudan sejak dua dekade lalu masuk dalam daftar itu bersama dengan Suriah, Iran, dan Korea Utara. Sanksi ekonomi telah membuat Sudan lumpuh.
Dalam kunjungan ke Damaskus, Desember lalu, Bashir meminta bantuan Rusia dengan cara memperbaiki hubungan Sudan-Suriah. Bashir juga mencoba meminta bantuan dari Arab Saudi dan Uni Emirat Arab dengan memutuskan hubungan dengan Iran, dan bergabung dengan pasukan koalisi Arab Saudi ke Yaman.
”Kebingungan dalam kebijakan luar negeri Sudan yang beralih dari satu aliansi ke aliansi yang lain disebabkan oleh krisis ekonomi Sudan yang sangat dalam dan Presiden Bashir menginginkan bantuan ekonomi yang instan,” ujar Faisal Mohammad Saleh, jurnalis dan pengamat politik di Khartoum.
(AP/AFP/REUTERS/MYR)