Hoaks Merusak di Negara Berkembang
Hoaks di media sosial menjadi masalah di negara maju dan negara berkembang. Selain merusak tatanan politik elektoral, hoaks juga menimbulkan kerusuhan yang menyebabkan korban jiwa. Bisa menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia.
Pada saat gelombang Musim Semi Arab di akhir tahun 2010 menumbangkan rezim otoritarian, media sosial dipuji sebagai kekuatan baru demokrasi; menjadi alat mobilisasi gerakan sosial. Tak sampai satu dekade setelahnya, muncul fenomena baru; penyebaran hoaks dan disinformasi yang menggoyang fondasi demokrasi, sekaligus menjadi pemicu kerusuhan dan hilangnya nyawa tak bersalah.
Beberapa hari terakhir, di Indonesia muncul hoaks terkait keberadaan tujuh kontainer berisi jutaan surat suara yang sudah dicoblos di Bea dan Cukai Tanjung Priok, Jakarta Utara. Informasi ini segera dipatahkan Komisi Pemilihan Umum. Selain menyambangi Kantor Bea dan Cukai Tanjung Priok, KPU juga menjelaskan bahwa surat suara bahkan belum dicetak karena proses lelang baru selesai dan masih masuk masa sanggah. Namun, disinformasi itu sudah menyebar luas. Bagi sebagian orang, seperti terlihat dari cuitan di linimasa, klarifikasi faktual tak dianggap sebagai kebenaran, tetapi justru dilihat secara sinis. Di era pasca- kebenaran, rasionalitas terkadang dikalahkan emosi. Informasi dianggap benar jika mengonfirmasi keyakinan.
Di negara-negara maju, hal serupa juga terjadi. Contoh paling klasik, masifnya informasi palsu saat Pilpres AS tahun 2016, yang disebut mengantar Donald Trump menjadi presiden ke-45 AS. Di negara-negara anggota Uni Eropa, isu media sosial dan informasi palsu juga mewarnai pemilihan di tingkat nasional.
Namun, di negara-negara berkembang, dampaknya dianggap lebih mengerikan. John Naughton, guru besar di Open University, Inggris, dalam kolom opininya, ”Facebook’s Global Monopoly Poses a Deadly Threat in Developing Nations” yang dimuat di The Guardian (29/4/2018), menuturkan, masyarakat demokrasi liberal masih punya imunitas dalam kadar tertentu dari serangan disinformasi. Hal ini dimungkinkan karena ada kebebasan pers, peranan parlemen yang kuat, peradilan yang independen, universitas, dan juga badan-badan profesional.
”Masyarakat lain, utamanya negara berkembang yang menjadi target Facebook, hanya punya sedikit institusi semacam itu,” tulis John.
Penyedia media sosial sudah berupaya mengatasi penyebaran disinformasi, tetapi dinilai masih belum cukup.
Kisah-kisah ”seram” disinformasi yang menyebar luas di media sosial mencuat di beberapa negara, seperti Myanmar, India, dan Sri Lanka. Di negara itu jatuh korban jiwa karena ujaran kebencian dan disinformasi.
Di India, kepolisian setempat menyebut, 20 orang terbunuh dalam serangan kelompok karena dituduh sebagai penculik anak-anak pada pertengahan 2018. Saat itu muncul ketakutan warga akibat pesan berantai di Whatsapp tentang penculikan anak-anak. Misalnya, pada Juli 2018, seorang pegawai Google di Negara Bagian Assam, India, yang hendak memberikan cokelat kepada anak-anak, tewas dipukuli massa karena disangka hendak menculik anak-anak.
Di Sri Lanka, seperti dilaporkan The New York Times (21/4/2018) dalam ”Where Countries are Tinderboxes and Facebook is a Match”, mengungkapkan informasi palsu yang menyebar luas di Facebook menyulut kerusuhan berbasis agama. Berawal dari tewasnya seorang sopir truk karena dipukuli akibat perselisihan di jalan, beberapa bulan kemudian muncul informasi palsu bahwa orang itu dibunuh karena basis konflik agama. Di Myanmar, media sosial juga dinilai menjadi salah satu sarana penyebaran ujaran kebencian oleh seorang tokoh agama yang ultrakonservatif sehingga memantik amuk massa terhadap etnis minoritas Rohingya.
Di Indonesia juga muncul kasus serupa. Kerusuhan berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan di Tanjung Balai, Sumatera Utara, misalnya, dipicu disinformasi. Berawal dari teguran seorang warga terhadap seorang pengurus masjid terkait pengeras suara masjid yang tak jauh dari rumahnya, muncul informasi pelintiran yang menyulut emosi masyarakat. Sebuah wihara lalu dibakar massa.
Media sosial, seperti disampaikan Swati Bute (2014) dalam tulisannya, The Role of Social Media in Mobilizing People for Riots and Revolutions; Four Case Studies in India (2014), sudah mengingatkan bahwa media sosial bisa digunakan positif untuk memobilisasi massa guna membuat perubahan sosial, tetapi juga bisa digunakan memobilisasi warga untuk rusuh.
Dalam kerusuhan di Assam tahun 2012 dan Muzzafarpur tahun 2013, yang menewaskan puluhan orang itu, Swati menemukan adanya rangkaian pesan menyesatkan dan gambar-gambar palsu yang menyebar di telepon pintar.
Mozaik dampak merusak disinformasi terhadap politik elektoral ataupun terhadap relasi sosial masyarakat bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia. Seperti hukum ekonomi, selalu ada aspek pasokan dan permintaan. Jika di negara berkembang, seperti Indonesia, aspek permintaan lebih sulit diubah karena harus melalui pendidikan yang terus-menerus dan lama agar masyarakat imun menghadapi hoaks, maka jalur pasokan bisa ditempuh untuk mengatasi persoalan ini dalam jangka pendek.
Pasokan bisa bermakna upaya cepat menurunkan konten hoaks, tetapi juga bisa bermakna keran ditutup dari produsennya. Jika elite bisa bijak memikirkan dampak merusak hoaks dan tidak menggunakannya untuk kepentingan jangka pendek, maka masyarakat selangkah lebih jauh dari dampak hoaks yang menyeramkan.