Jaga Legitimasi Pemilu 2019
Munculnya sejumlah polemik dan informasi tak benar terkait pemilu, berpotensi mengancam legitimasi pemilu.
Jakarta, Kompas - Pemilu 2019 akan menentukan kualitas dan masa depan konsolidasi demokrasi Indonesia. Oleh karena itu, legitimasi pemilu perlu dijaga bersama sehingga apapun hasilnya, bisa diterima oleh semua pihak.
Upaya menjaga legitimasi pemilu ini, kini makin mendesak dilakukan di tengah munculnya sejumlah polemik dan informasi, yang seringkali tidak benar terkait pemilu. Hal itu misalnya tentang polemik seputar daftar pemilih, kotak suara dari karton kedap air, dan terakhir tentang informasi adanya tujuh kontainer surat suara dari China yang telah dicoblos.
Terkait hal itu, anggota KPU Wahyu Setiawan, Jumat (4/1/2018) di Jakarta melihat, ada gejala untuk mendelegitimasi pemilu. Caranya, antara lain dengan mendelegitimasi penyelenggara pemilu.
“Jika ada pihak yang menganggu pemilu, maka hakikatnya menganggu kepentingan nasional. Pemilu merupakan hajatan bersama dan menjadi tugas bersama untuk menyelamatkannya," kata Wahyu.
Secara terpisah, Ketua DPR Bambang Soesatyo menuturkan, meski kabar tentang tujuh kontainer berisi surat suara yang telah dicoblos adalah bohong, KPU dan Bawaslu tetap harus mengantisipasi potensi kebocoran surat suara. Langkah ini penting agar pemilu berjalan jujur dan adil, tidak ternodai dengan pelanggaran apapun.
Di sisi lain, semua pihak, juga harus menahan diri, tidak menyebarkan berita bohong atau hoaks. Polisi juga harus mengusut tuntas beredarnya hoaks. Ini karena hoaks tidak hanya meresahkan, tetapi juga berpotensi merusak legitimasi pemilu dan akhirnya juga demokrasi.
Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Henri Subiakto, mengatakan, penyebaran hoaks di medsos telah menjadi bagian dari permainan politik. Fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia, namun juga negara lain seperti Amerika Serikat dan Brazil. “Ada kecenderungan hoaks dipakai untuk menyerang sejumlah lembaga tertentu, selain kandidat yang menjadi pesaing. Lembaga-lembaga itu seperti media massa dan penyelenggara pemilu, diserang untuk merusak legitimasi mereka dan meraih dukungan dalam kontestasi politik,” jelas Henri.
Pemerhati media sosial Nukman Luthfie mengatakan, hoaks harus segara diatasi. “Kalau ada hoaks yang terkait pemilu, KPU dan Bawaslu harus cepat bertindak. Selain itu, harus ada follow up dari kedua kandidat, baik Jokowi maupun Prabowo," katanya.
Dalam jangka panjang, hoaks bisa dicegah, antara lain dengan membuat regulasi yang meminta pertanggungjawaban platform. Terkait hal ini, misalnya Twitter, Facebook, dan Instagram, harus ikut bertanggung jawab bila ada kontennya yang memuat hoaks.
Komitmen
Juru bicara Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, Ahmad Basarah, menegaskan, “Sedikit saja negara memberikan toleransi kepada pelaku hoaks, apalagi yang dilakukan secara sistematis dan masif, maka itu akan menjadi rujukan anggota masyarakat lain untuk meniru perbuatan itu.”
Juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade menuturkan, timnya selalu melakukan klarifikasi ke penyelenggara pemilu, ketika memiliki data yang berbeda dengan KPU dan pemerintah. Ia mencontohkan, ketika pihaknya menerima data ada 31 juta pemilih ganda, tim BPN langsung bertemu dengan KPU untuk mengklarifikasi. “Hasilnya, kami dan KPU menghapus 25 juta data pemilih ganda, dan hanya 6 juta data pemilih yang benar," jelasnya.
Catatan Kompas, Kementerian Dalam Negeri pernah menyatakan ada sekitar 31 juta penduduk yang masuk daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4), tetapi diduga belum sinkron dengan daftar pemilih tetap hasil perbaikan (DPTHP). Setelah dianalisis, menurut anggota KPU Viryan Azis, sekitar 6 juta pemilih dimasukkan ke DPTHP II. Sisanya tak dimasukkan karena sejumlah hal seperti penduduk itu sudah meninggal atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai pemilih.
Ketua KPU Arief Budiman menambahkan, jika kelak masih ditemukan pemilih ganda atau tidak sah di DPTHP II, KPU akan mencoretnya. (Kompas, 16/12/2018).
KPU juga memastikan, kotak suara dari karton kedap air yang akan dipakai di Pemilu 2019, sudah mulai digunakan di Pemilu 2014 serta pilkada serentak tahun 2015, 2017, dan 2018. (Kompas, 20/12/2018).
Dua orang ditangkap
Badan Reserse Kriminal Polri telah menetapkan dua tersangka terkait penyebaran hoaks tentang tujuh kontainer berisi jutaan surat suara yang telah tercoblos. Mereka adalah HY yang diamankan di Bogor, Jawa Barat, serta LS yang ditangkap di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo menjelaskan, HY dan LS disangka ikut menyebarkan konten hoaks itu di media sosial dan sejumlah grup WhatsApp.
“Mereka tidak melakukan verifikasi tetapi langsung menyebarkan konten itu,” ujar Dedi. Kini, polisi juga tengah mengusut pihak lain yang diduga terlibat dalam pembuatan dan penyebaran pesan itu.
Dedi juga memastikan, polisi tidak menggerebek rumah yang disebut milik Wakil Sekjen Partai Demokrat Andi Arief di Lampung. Bahkan, tim Kepolisian Resor (Polres) Bandar Lampung mendatangi rumah yang berada di wilayah Kedaton, Bandar Lampung, setelah pernyataan Andi di Twitter menjadi viral.
Kemarin pada pukul 11.32, Andi Arif di akun twitternya menyatakan ada penggerudukan rumahnya di Lampung. Menyusul kabar itu, Wakil Sekjen Partai Demokrat Rachland Nashidik minta Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, menjelaskan percobaan penjemputan paksa oleh polisi terhadap Andi Arief di Lampung.
Terkait hal itu, Dedi menuturkan, polisi tidak punya keperluan menggerebek rumah Andi Arief karena penyidik masih fokus mengungkap pemilik suara dari rekaman yang jadi dasar hadirnya hoaks surat suara tercoblos itu.