Sekolah Pun Dihantui Bencana
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 37.408 sekolah terpapar risiko bencana alam. Modul pendidikan mitigasi bencana telah disusun di level pemerintah pusat. Sudah saatnya menerapkan di setiap wilayah dan diadaptasi dengan spesifikasi risiko masing-masing.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana (Seknas SPAB) menyilangkan data pokok pendidikan dengan peta bencana milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Terungkap, 37.408 sekolah terpapar risiko setidaknya salah satu dari lima bencana berbahaya, yaitu gempa bumi, tanah longsor, banjir, tsunami, dan letusan gunung berapi. Satu sekolah dasar umumnya memiliki rata-rata siswa 200 orang. Bagi SMP dan SMA jumlah siswanya bisa diatas 500 orang per sekolah.
Artinya, ada jutaan siswa yang terpapar risiko bencana berbahaya.
Bahkan, sebanyak 2.892 sekolah terletak 500 meter di kanan ataupun kiri sesar gempa bumi.
"Sekolah-sekolah tersebut sudah dibangun semenjak tahun 1980-an. Jika mau direlokasi, ada kendala bagi pemerintah daerah untuk mencari lokasi baru. Apalagi kini dengan populasi padat semestinya tidak hanya sekolah yang direlokasi, tetapi juga semua permukiman di wilayah berbahaya," kata Direktur Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Kemdikbud Poppy Dewi Puspitawati ketika dihubungi dari Jakarta, Jumat (4/1/2019).
Poppy yang merupakan Ketua II Seknas SPAB Kemdikbud menambahkan, sekolah baru direlokasi apabila wilayab tersebut benar-benar tidak aman. Proses mencari lokasi baru juga memakan waktu lama.
Mitigasi
Poppy menuturkan, pendidikan mitigasi bencana merupakan keniscayaan. Hal ini karena posisi Indonesia di tengah Cincin Api memang mendatangkan berbagai risiko bencana alam. "Kita mencontoh Jepang yang juga kerap dilanda bencana alam, tetapi segenap masyarakat melaksanakan mitigasi bencana sehingga bisa menghindari adanya korban jiwa," ujarnya.
Modul mitigasi bencana Kemendikbud sudah diluncurkan sejak tahun 2015. Modul juga bisa diakses dan diunduh secara gratis melalui laman simpatik.belajar.kemdikbud.go.id. selain itu, Poppy mengatakan pemerintah di daerah yang pernah mengalami bencana mulai mengoordinasikan dinas pendidikan dengan dinas pekerjaan umum untuk membangun gedung-gedung sekolah tahan bencana.
Meskipun begitu, inisiatif pemda masih sporadis. Tercatat, baru provinsi DKI Jakarta, Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur yang memiliki aturan sekolah aman bencana. Di tingkat kabupaten/kota baru Pidie Jaya (Aceh), Rembang (Jawa Tengah), Bandung Barat (Jawa Barat), Klaten (Jawa Tengah), dan Sukoharjo (Jawa Tengah) yang memiliki peraturan.
"Modul pendidikan mitigasi bencana hanya sebagian kecil dari program mitigasi yang seharusnya dilakukan oleh semua aspek masyarakat. Penegakan larangan membangun dan mengeksploitasi daerah rawan, menjaga kelestarian alam, dan pemberdayaan masyarakat mengenai pengelolaan lingkungan harus dijalankan," kata Poppy.
[video width="1920" height="1080" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2019/01/20190102_132418_001_001.mp4"][/video]
Integrasi
Pakar pendidikan dari Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-Anak (UNICEF) Nugroho Indera Warman mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan Kemendikbud melakukan pelatihan dan peningkatan kapasitas bagi sekolah-sekolah. Ia mencontohkan kasus 2.700 sekolah di Sulawesi Tengah yang hancur akibat gempa dan likuefaksi.
"Setelah diteliti, ternyata mayoritas memang tidak memenuhi standar bangunan yang aman," katanya. Pendampingan dilakukan dalam pembangunan kembali sekolah untuk memastikan pondasi yang kokoh, pintu-pintu membuka keluar, dan ada cukup ruang gerak untuk evakuasi.
Pendidikan mitigasi di sekolah, lanjut Nugroho, tidak hanya berbentuk simulasi bencana, melainkan menyusun secara cermat penempatan perabotan di kelas, menentukan guru dan siswa yang bertugas memimpin evakuasi, lokasi titik kumpul, serta jalur evakuasi. Seluruh proses ini sangat bergantung pada kesiapan warga di sekitar sekolah. Oleh sebab itu, RT dan RW juga harus dilibatkan.
Setiap mata pelajaran pasti membahas mengenai bencana alam pada momen tertentu dalam pembelajaran. Kesempatan ini bisa dimanfaatkan untuk mendiskusikan dengan siswa mitigasi bencana yang berisiko melanda wilayah tersebut.
"Ekstrakurikuler seperti Pramuka dan Palang Merah Remaja juga berpotensi besar menerapkan mitigasi bencana dalam latihan rutinnya. Mulai dari cara memelihara lingkungan hingga praktik tanggap darurat," ucap Nugroho.
Ia menekankan pentingnya konteks lokal pada pendidikan mitigasi bencana. Sudah ada beberapa sekolah yang mulai melakukan pendidikan mitigasi bencana, namun beberapa melakukannya demi menempelkan semboyan
"Sekolah Aman Bencana" di depan pagar. Padahal, tujuan pendidikan mitigasi bencana bukan pengakuan, melainkan penjaminan seluruh isi sekolah beserta warga di sekitarnya memiliki kemampuan menjaga lingkungan dan cepat tanggap dalam keadaan bencana.
"Simulasi evakuasi untuk mengasah keterampilan bisa dilakukan rutin seperti satu akhir pekan dalam satu semester atau bisa juga seminggu dalam setahun. Hal terpenting adalah membiasakan mitigasi," ucapnya.
Menurut Nugroho, pemda membutuhkan payung hukum untuk memberi kesan aturan daerah mengenai mitigasi bencana mendesak dibuat. Aturan pendidikan mitigasi bencana sebenarnya sudah ada di Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, UU Penanggulangan Bencana, dan Peraturan Kepala BNPB 4/2012 tentang Penerapan Sekolah/Madrasah Aman Bencana.
Sejauh ini, pemerintah provinsi Maluku Utara, Bangka Belitung, dan Kalimantan Timur tengah menyusun aturan. Harapannya, apabila ada Peraturan Mendikbud, pemda lebih cepat bergerak.
Langkah itu juga dipertimbangkan oleh Kementerian Agama. Oman Fathurahman, Staf Ahli Menteri Agama yang ditunjuk menjadi Ketua Tim Penanggulangan Bencana Kemenag mengungkapkan, belum ada data jumlah madrasah dan pesantren yang berada di wilayah rawan bencana.
"Pendekatan selama ini masih konvensional, baru bertindak setelah bencana terjadi. Sekarang akan disusun sistem mitigasi untuk lembaga-lembaga pendidikan dan ibadah di bawah Kemenag," tuturnya.