Komedi dalam Rumah
Lebih dari seabad yang lalu Anton Chekhov menulis The Proposal, sebuah drama komedi satire yang sederhana. Tahun 2019, sutradara Abu Bakar mementaskannya sebagai teater rumahan yang rumit dan penuh kejutan. Ia mengasah bakat para penyandang tunanetra menjadi aktor-aktor andal yang mengatasi batas-batas diri sebagai difabel.
Drama satu babak ini diadaptasi oleh Suyatna Anirun dan Jim Adi Limas dengan tajuk Pinangan, dengan nama-nama tokoh yang berbau Sunda. Di tangan Abu Bakar, lakon ini menjelma drama antar-tetangga dengan konflik berputar-putar, nyaris tanpa ujung.
Abu cuma perlu mengadaptasi latar peristiwa yang menimbulkan konflik, yakni lapangan Sari Gading menjadi lapangan Renon. Selebihnya ia sangat taat pada naskah, bahkan untuk dialog-dialog percekcokan antara tokoh Ratna Kholil (Putu Ayu Asvina) dan Tubagus Jaya Sasmita (Putu Yogantara).
Ketaatan pada teks tidak lantas membuatnya terjebak pada pementasan yang kaku, kering, dan miskin kreativitas artistik.
Sejak beberapa tahun lalu Abu menjadikan rumahnya di Jalan Suli Gang Sakura, Denpasar, sebagai panggung pementasan. Ia bahkan menjadikan kamar tidur dan dapur sebagai bagian dari panggung pementasan. Sementara halaman rumah ia jadikan panggung utama dan ruang tamu sebagai tempat para penonton.
”Ini pentas yang benar-benar rumahan,” kata Abu Bakar.
Pada pentas Pinangan dari Kostra Bali (Komunitas Seni Teratai/Tunanetra), Rabu (2/1/2019), itu ruang tamu rumah Abu dipenuhi lebih dari 50 penonton, termasuk di dalamnya para pelaku seni pertunjukan seperti I Made Bandem dan I Wayan Dibia, kritikus sastra Nyoman Darma Putra, dan kurator Warih Wisatsana. Hadir juga Ketua Listibiya (Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan) Bali Komang Astita.
Menurut Abu, karya-karya Chekhov meski ditulis sudah berabad lalu selalu menjadi potret sosial terkini dari sebuah masyarakat. Pinangan bermula dari keinginan Tubagus Jaya Sasmita melamar Ratna Kholil, putri satu-satunya dari Rukmana Kholil (IB Surya Manuaba).
Rukmana dengan senang hati menerima keinginan Tubagus, tetapi ketika dipertemukan dengan Ratna, kisah berkembang ke arah perdebatan siapa yang berhak atas tanah di Renon. Ratna dan Tubagus yang awalnya saling bercakap baik-baik kemudian terlibat perdebatan sengit yang berujung saling menjatuhkan.
Ketika Rukmana mencoba menengahi, semua sia-sia. Ia malah kemudian mengusir Tubagus yang dianggap telah melecehkan keluarga Rukmana. Ketika Tubagus pergi, ia menyinggung soal kedatangannya yang tadinya mau melamar Ratna.
Mendengar itu, Ratna meradang. Ia merasa kesempatannya untuk menikah terhalangi. Ia meminta ayahnya menyusul Tubagus kembali. Ketika Tubagus benar-benar kembali, kisah pun tak menjadi lebih baik. Pertengkaran keduanya beralih dari soal hak atas tanah ke soal-soal sepele: kucing siapa yang lebih cerdik.
”Bukankah itu cermin dari masyarakat kita sekarang?” kata Abu Bakar.
Sindiran
Sebagaimana karakter kisah-kisah Chekhov, kisah yang ia kemukakan bukan tragedi yang merintih-rintih, apalagi berdarah-darah. Chekhov selalu punya cara menyindir perilaku masyarakat kelas menengah Rusia pada awal abad ke-19.
Kerumitan-kerumitan segala urusan bermula dari persoalan-persoalan kecil, yang kemudian diperumit oleh egosentrisme para tokohnya. Kerumitan relasi antar-manusia itu terasa pas dipanggungkan di halaman rumah, di mana para tokoh hampir tidak berjarak dengan penonton. Bukankah sebuah drama selalu terjadi di dalam ruang tamu kita?
Drama di ruang tamu dalam imajinasi Chekhov terasa makin mencekam di tangan Abu Bakar. Ia melibatkan dua aktor tunanetra, yang dilekati stigma memiliki berbagai keterbatasan. Darma Putra memberikan komentar, ”Aktor-aktor difabel, tetapi kapabel.”
Putu Yogantara hanya memiliki penglihatan 5 persen, sementara Surya Manuaba menderita buta total. Abu membatasi pergerakan para aktor di sekitar kursi tempatnya bermain. Pergerakan bila tidak benar-benar dibutuhkan tidak diharuskan.
”Saya fokus menggarap karakter dan dialog sehingga mereka benar-benar bisa menghidupkan para tokohnya,” kata Abu.
Putu Ayu Asvina, satu-satu pemain yang bukan tunanetra, kemudian memang hadir sebagai jangkar dari dinamika pementasan. Ia secara leluasa bergerak dari dapur keluarga Abu Bakar, kemudian berganti pakaian ke lantai dua. Ia bahkan menaburkan surat-surat bukti kepemilikan atas tanah dari lantai dua.
Seluruh pergerakan Asvina itu berhasil ”memanipulasi” kondisi sesungguhnya yang ada di atas panggung. Meski tergolong aktris baru, Asvina benar-benar menguasai seluruh sudut rumah Abu Bakar, di mana ia secara bebas berekspresi.
Realitas virtual
Abu juga menangkap gejala di mana realitas nyata semakin tersingkir oleh kuasa realitas virtual. Media sosial semakin hari semakin menjadi penentu kebenaran.
Banyak orang menyebut era ini sebagai era post-truth. Kebenaran tidak lagi ditentukan oleh pengujian atas realitas nyata, tetapi oleh ujaran-ujaran di media sosial yang banal.
Disrupsi yang disebabkan oleh teknologi digital telah memicu konflik-konflik horizontal. Di tengah kesemrawutan itu, sering kali relasi-relasi antar-manusia menjadi lebay, persoalan sederhana bisa menjadi sangat rumit dan bertele-tele.
Chekhov selalu menangkap fenomena itu sebagai komedi satire, penertawaan diri dengan cara-cara yang getir. Ia mengandung ”kelucuan”, tetapi sebuah kelucuan yang menyiksa.
Karakter Pinangan yang demikian itu diterjemahkan secara baik oleh Abu Bakar dengan aktor-aktor yang memiliki keterbatasan secara fisik. Di situlah pula teater memiliki fungsi pencerahan, bukan hanya kepada penontonnya, melainkan juga terutama terhadap para aktornya.
”Kami ingin mengatasi keterbatasan dengan cara-cara yang artistik,” kata Ketua Kostra Bali Didon Kajeng.
Komedi dalam rumah itu kemudian berubah menjadi arena untuk saling meneguhkan di antara sesama kaum difabel, yang malam itu juga turut bermain musik.