Kemajuan zaman ibarat pisau bermata dua bagi masyarakat adat. Kemajuan memang memudahkan kehidupan, tetapi di sisi lain berpotensi menggerus eksistensi budaya. Masyarakat adat sering mengalah dan menyesuaikan, tetapi tidak berarti menyerah.
Hari masih pagi, tetapi Imah Gede Kasepuhan Sinar Resmi di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, sudah ramai, Jumat (4/1/2019). Sejumlah orang sibuk mencatat bantuan untuk penyintas longsor Kampung Garehong di desa itu. Imah gede ibarat aula dengan beragam fungsi, mulai dari tempat bermusyawarah hingga menampung tamu. Saat bencana datang, imah gede menjadi pos logistik.
Di sudut ruangan, sesepuh Kasepuhan Sinar Resmi Abah Asep Nugraha ikut mengawasi. Ikat hitam terlilit di kepala. Di sampingnya, ada buku dan telepon genggam. Walau ketat menerapkan nilai adat, warga Kasepuhan Sinar Resmi tak menutup diri dari kemajuan zaman.
”Pengaruh teknologi tidak bisa dihindari. Selama tak bertabrakan dengan nilai adat, masih boleh digunakan,” ujarnya.
Asep mencontohkan, telepon genggam sangat membantu komunikasi. Namun, jika berlebihan, bisa membuat orang menjadi tak peka kepada orang di sekitarnya.
Karena itu, Asep selalu mengingatkan para orangtua untuk membatasi penggunaan gawai oleh anak- anak. Orangtua didorong ajak anak sejak dini ke sawah. ”Bumi adalah punya Allah. Manusia hanya dititipi. Jadi, wajib menjaganya,” ucapnya.
Padi sejak lama menjadi penempa rasa kemanusiaan. Setiap rumah wajib memiliki leuit sebagai tempat penyimpanan padi hasil panen.
Tumpukan hasil panen bukan untuk pamer kekayaan, melainkan simbol kesejahteraan dan penjaga rasa berbagi. Padi tidak boleh dijual sebelum kebutuhan warga di sekitarnya terpenuhi.
Sebanyak 10 persen hasil panen wajib dialokasikan sebagai bagi hasil panen untuk anak yatim, fakir miskin, janda, dan orang yang dalam kesusahan. Dahulu, leuit dibangun minimal 50 meter dari rumah.
Namun, saat ini banyak leuit dibangun dengan jarak tak sampai 10 meter dari rumah. Hal itu dimaklumi karena keterbatasan lahan.
Enih (55), warga Desa Sirnaresmi, menuturkan, masyarakat tak bisa menghindari perkembangan teknologi. Namun, nilai adat tak boleh ditawar. Salah satunya, kewajiban punya leuit di setiap rumah.
”Sekecil apa pun rumah, harus punya leuit. Ini untuk memastikan setiap warga bisa menolong orang lain,” katanya. Enih mengatakan, tidak ada warung nasi di desa itu. Nasi tidak boleh dijual untuk orang yang membutuhkan makanan.
Menurut Asep, warga Kasepuhan Sinar Resmi mempunyai filosofi nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mufakat jeung balarea. Artinya, patuh pada hukum, berpijak pada ketentuan negara, bermufakat bersama-sama.
Namun, dalam beberapa hal, kasepuhan tidak mau menerima bantuan dari pemerintah. Misalnya, bantuan bibit padi yang dapat dipanen dalam 100 hari.
”Aturan adat jelas, panen sekali setahun. Agar lahan punya masa istirahat. Jadi, kami hanya menggunakan bibit sendiri yang panen enam bulan sekali,” ujarnya. Ada 68 bibit lokal yang boleh ditanam.
Untuk program pemerintah konversi bahan bakar ke gas, kata Asep, kasepuhan masih dapat mengikuti program itu. Namun, gas tidak boleh digunakan untuk memasak beras.
”Kasepuhan Sinar Resmi memuliakan padi. Jadi, memasak harus menggunakan tungku. Padi tidak digiling, melainkan ditumbuk,” ujarnya.
Tantangan
Seiring waktu, pertumbuhan penduduk tak dapat dihindari. Saat ini, jumlah warga Kasepuhan Sinar Resmi sekitar 3.000 orang. Berada di perbatasan tiga daerah, mereka tersebar di Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bogor (Jabar), dan Kabupaten Lebak (Banten).
Adat mengatur syarat membuka permukiman dan mata pencarian, yakni tidak boleh menebang pohon di hutan larangan. Mereka juga pantang membangun rumah di dekat mata air dan di atas nusa atau daratan di antara aliran sungai.
Lokasi penanaman padi juga diatur. Asep memaparkan, leluhur berpesan agar lereng bukit tak diganggu. Namun, keterbatasan lahan datar membuat banyak warga terpaksa bertani di lahan miring. Syaratnya, menerapkan terasering untuk meminimalkan longsor.
Sumar (35), seorang penyintas longsor, menuturkan, telah menerapkan sistem terasering dan hanya sekali menanam dalam setahun. Rumahnya juga dibangun jauh dari sumber air. Dia pun memenuhi kewajiban bagi hasil panen. Namun, kehendak alam tak bisa dicegah. Bencana tetap datang.
Sawah di lereng bukit di Kampung Garehong, Desa Sirnaresmi, longsor setelah diguyur hujan dalam sepekan, akhir 2018. Permukiman warga tertimbun. Hingga Jumat, 22 warga tewas dan 11 orang belum ditemukan.
”Sekitar 20 tahun lalu, ada longsor kecil, tetapi tidak ada korban jiwa. Ada ternak yang mati. Mungkin itu peringatan dari alam. Kami akan mengkaji apakah ada hukum adat yang dilanggar,” ujar Asep.
Perkembangan zaman tak bisa ditolak. Di antara keterbatasan pilihan, warga adat berusaha menyesuaikan diri. Namun, jalannya tak pernah mudah.(Tatang Mulyana Sinaga)