Pameran "Titik Balik" untuk Mengubah Stigma Publik
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS—Anak dengan down syndrome mampu melakukan sesuatu sama seperti anak-anak pada umumnya. Bahkan, memiliki kemampuan khusus yang lebih, seperti menghasilkan karya seni. Dukungan keluarga dan lingkungannya memunculkan potensi besar itu.
Pameran bertajuk “Titik Balik” yang menampilkan karya Putri Pertiwi (27), seorang anak berkebutuhan khusus di Bentara Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, Sabtu (5/1/2019), adalah perwujudan kelebihan itu. Pameran itu sekaligus menghapus stigma negatif yang disematkan kepada anak berkebutuhan khusus.
Putri memamerkan sebanyak 90 karya seni berupa lukisan dan sketsa. Karya tersebut dibuat dalam jangka waktu kurang lebih dua tahun sebelum pameran itu digelar. Media lukisnya kertas dan cat akrilik, sedangkan pewarna menggunakan krayon, pensil, dan cat akrilik.
Ini menjadi catatan bahwa setiap anak punya potensi yang bisa dikembangkan jika diberi ruang yang cukup.
Tema lukisan Putri bermacam-macam, mulai dari kartun hingga potret keluarganya. Garis yang digoreskan dalam lukisannya tegas. Warna cerah menghiasi setiap lukisan yang mengesankan suasana ceria dan gembira. Keberaniannya memadukan beragam warna membuat karyanya kuat dan mencolok.
Satu sketsa karya Putri tampak menonjol, mengenai suasana pemakaman ayahnya sebelum diberangkatkan dari rumah. Dalam gambar itu, ia sangat mengingat situasi di sekitar keranda ayahnya. Padahal, gambar itu ia buat tahun 2014, setahun setelah pemakaman ayahnya.
Oei Hong Djien, kolektor seni rupa, menyatakan kekagumannya setelah melihat lukisan Putri. Ia mengungkapkan, bila poster pameran itu tidak menginformasikan pembuatnya seorang penyandang down syndrome, ia tak akan tahu seniman itu memiliki sindrom tersebut.
“Kekurangan di masyarakat kita, masih sering memberikan stigmatisasi pada orang. Pameran ini penting sekali. Ini membuka pikiran kita. Semua bisa dicapai asal ada kemauan dan dibantu oleh orang-orang di sekitarnya,” kata Hong Djien.
Kuss Indarto, kurator pameran, menyatakan, dari pameran itu dapat dipelajari bahwa setiap orang mempunyai jiwa seni dan bisa menghasilkan karya seni. Ruang pameran tak lagi jadi panggung bagi seniman ternama. Seorang anak berkebutuhan khusus dengan kumpulan karyanya pun bisa turut memamerkan karyanya di ruang tersebut.
“Ada hal penting yang harus dimiliki anak, yaitu ia merasa dilihat, dipunyai, dan diapresiasi oleh lingkungannya. Ini menjadi catatan bahwa setiap anak punya potensi yang bisa dikembangkan jika diberi ruang yang cukup,” kata Kuss.
Terkait hal itu, Joelya Nurjanti, guru lukis Putri, mengungkapkan, dukungan dari orang tua dan saudara-saudara Putri untuk berkembang itu sangat tinggi. Pihak keluarga menerima Putri dan tidak membandingkannya dengan anak-anak lain.
“Siapa pun, setiap anak, punya kesempatan. Ibu Mbak Putri sangat kuat dan membuatnya jadi pribadi yang unik seperti sekarang. Dia tidak pernah putus asa dan membandingkan anaknya dengan yang lain. Itu semua tinggal usaha kita untuk mau menggali potensi (anak) itu. Saya berharap pameran ini menginspirasi anak-anak yang lain untuk mau semangat dan berkarya,” kata Joelya.
Titiek Broto, orangtua Putri, juga rela pensiun dini untuk mengurus anak ketiganya yang memerlukan perhatian ekstra itu. Ia bersama almarhum suaminya mendidik dua kakak Putri untuk menyayangi adiknya sepenuh hati.
“Kami semua sekeluarga mendukung penuh apa yang ingin dilakukan Putri. Waktu itu, Putri senang menggambar, kami fasilitasi dia untuk menggambar. Ternyata, bisa seperti ini. Ini membuat kami lebih bahagia,” kata Titiek.
Sementara itu, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian UGM Eni Harmayani, yang mewakili Rektor UGM Panut Mulyono, mengungkapkan, keterbatasan yang disandang Putri tidak membatasi kreativitasnya. Ia memiliki daya juang tinggi untuk menampilkan bakat-bakatnya.
“Saya berharap pameran ini tidak hanya titik balik bagi Putri. Tetapi, juga pada lingkungannya. Bukan hanya bagi anak-anak berkebutuhan khusus, tetapi juga bagi masyarakat luas,” kata Eni.