JAKARTA, KOMPAS—Penanggulangan bencana saat ini identik dengan tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. Padahal, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengamanatkan pentingnya mengintegrasikan perencanaan pembangunan dengan pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan bencana.
"Dimensi bencana amat kompleks dan jadi bagian hidup masyarakat kita. Dimensinya tak hanya tanggap darurat, justru yang paling penting mitigasi dan pencegahan untuk mengurangi jumlah korban," kata Henny Warsilah, profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yang juga Tim Pengarah Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana, di Jakarta, Jumat (4/1/2018).
Menurut Henny, wacana untuk mejadikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di bawah Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), akan mempersempit penanggulangan bencana pada dimensi tanggap darurat dan pemulihan pascabencana.
Ketua Program Magister Kebencanaan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta Eko Teguh Paripurno mengatakan, saat awal penyusunan Undang-Undang Penanggulangan Bencana tahun 20007, dipilih BNPB dalam bentuk badan terpisah dan tak dijadikan satu dalam kementerian. "Ini karena untuk mengurusi bencana banyak sektor akan terlibat. Jadi, kalau sekarang mau dimasukkan di bawah kementerian, justru kemunduran," ungkapnya.
Untuk mengurusi bencana, banyak sektor akan terlibat. Jadi, kalau sekarang mau dimasukkan di bawah kementerian, justru kemunduran.
Menurut Eko, dalam UU Penanggulangan Bencana itu telah diamanatkan bahwa penanggulangan bencana melibatkan perencanaan pembangunan, pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, penanganan darurat, rehabilitasi, dan rekontruksi. "Namun, sampai kini, diakui atau tidak, urusan bencana masih kental di penanganan tiga hal terakhir. Sikap Presiden juga menunjukkan itu," katanya.
Dalam Pasal 6 UU ini disebutkan, tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan, dan perlindungan warga dari dampak bencana.
Fungsi koordinasi
Eko juga mengingatkan, UU itu memandatkan BNPB bisa memerankan fungsi koordinasi dan mengomando penanggulangan bencana dengan berbagai dimensinya. "Melihat bencana Palu dan Selat Sunda, besarnya dampak dan korban karena kebijakan tata ruang yang salah dan tidak mempedulikan kajian bahaya dan kearifan lokal, selain ada kekurangan pada sistem peringatan dini," ujarnya.
Kenyataannya, fungsi koordinasi penanggulangan bencana ini belum berjalan baik. Mandat itu kian sulit dilaksanakan jika posisi BNPB dikecilkan di bawah kementerian.
Henny menyebut, posisi BNPB saat ini tereksklusi sosial dan terjepit di antara berbagai kepentingan, terutama kepentingan pembangunan yang abai dengan risiko. "Pada posisi ini, produksi pengetahuan kebencanaan tersendat dan peran BNPB sebatas pemulihan serta tanggap darurat," kata dia.
Seiring kompleksnya ancaman bencana di Indonesia, upaya pengurangan risiko bencana harus mendapat prioritas dengan melibatkan peran serta warga. Jadi edukasi dan pembangunan budaya kesiapsiagaan bencana amat penting.