Siapa bilang tak ada masalah ketahanan energi di Indonesia? Ketersediaan bahan bakar minyak secara rata-rata tak sampai 30 hari. Begitu pula elpiji. Kita hanya beruntung tak ada peristiwa darurat semacam perang dan sejenisnya.
Sebagian pihak mengatakan Indonesia sudah ada dalam krisis, bukan lagi di ambang. Beberapa ukurannya adalah status Indonesia sebagai negara pengimpor bersih minyak mentah dan BBM. Separuh dari 1,6 juta barel konsumsi BBM nasional per hari harus diimpor lantaran kemampuan produksi minyak dalam negeri kurang dari 800.000 barel per hari.
Nasib elpiji pun sama. Dari konsumsi nasional yang hampir 7 juta ton per tahun, sekitar 70 persennya juga diperoleh lewat impor. Volume konsumsi yang terus naik dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan memberikan pukulan besar terhadap fiskal Indonesia. Satu-satunya sumber energi primer yang bisa diandalkan sampai beberapa tahun ke depan tinggal batubara.
Sumber energi primer yang bisa diandalkan tinggal batubara.
Apa yang harus dilakukan untuk memperkuat ketahanan energi Indonesia? Kuncinya ada di investasi. Negara memerlukan dukungan swasta nasional atau investor asing untuk menyokong investasi. Uang APBN belum terlalu cukup.
Bagaimana agar investasi di Indonesia menarik di mata investor? Salah satunya adalah butuh kepastian hukum dan kemudahan berusaha. Kepastian ini menyangkut jaminan berbisnis yang stabil lewat aturan yang tak mudah berubah. Sementara kemudahan berusaha menyangkut perizinan dan birokrasi yang sederhana.
Di hulu migas, misalnya, ada 300-an izin baik di tingkat pusat atau di daerah yang mesti diurus investor. Menurut penuturan salah satu pengusaha migas nasional, yang menjadi soal bukan banyaknya jumlah izin, tetapi kepastian dan kecepatan waktu untuk memproses izin itu sendiri. Apa gunanya izin hanya 10 jenis tapi tak ada kepastian kapan selesainya?
Secara ekstrim, pengusaha itu mengilustrasikan bahwa lebih baik ada ratusan izin tapi ada kejelasan dan kecepatan dalam penyelesaiannya. Tidak dibuat menggantung. Sebab, kata pengusaha itu, time is money. Tak ada pekerjaan di lapangan bukan berarti tak ada ongkos untuk membayar karyawan.
Apa gunanya izin hanya 10 jenis tapi tak ada kepastian kapan selesainya?
Belum lagi perubahan kebijakan. Ini yang cukup bikin pusing investor. Dua mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, dalam sebuah diskusi di Jakarta, sama-sama mengakui hal itu. Contoh yang paling banyak diperbincangkan waktu itu adalah keputusan pengelolaan gas Blok Masela, Maluku.
Sebelumnya, sudah diputuskan di tingkat kementerian teknis bahwa gas dikelola di laut lepas (off shore) dengan fasilitas terapung. Demi efisiensi, daratan terdekat dari sumur gas berjarak ratusan kilometer. Namun, pemerintah kemudian, oleh Presiden langsung, mengubahnya menjadi di darat (on shore). Dampaknya adalah rencana produksi menjadi mundur dan uang beserta waktu menjadi terbuang percuma.
Tak hanya itu, di sektor tambang mineral dan batubara pun serupa. Kebijakan tarik ulur ekspor mineral yang belum dimurnikan di dalam negeri membingungkan para pemangku kepentingan. Tadinya boleh diekspor, kemudian dilarang, lalu diperbolehkan kembali.
Bahkan dari sisi perundangan, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sudah diusulkan direvisi. Padahal, umur kedua UU tersebut belum sampai 10 tahun saat dimasukkan dalam program legislasi nasional.
Sektor migas dan tambang mineral atau batubara punya peran vital menggerakkan ekonomi nasional. Penerimaan negara bukan pajak dari kedua sektor itu jadi penopang penting dalam postur APBN kita. Investasi di sektor tersebut butuh kepastian dan kestabilan.